Laduni.ID, Jakarta – Kisah ini disarikan dari berbagai sumber kitab tarikh/sejarah, seperti Kitab Tarikh Dimasyqi karya Ibnu Asakir, Tarikh Baghdad karya Khatib Al-Baghdadi, dll. Tapi tentu tidak terlepas dengan sedikit tambahan tanpa merubah substansi.
Dikisahkan, ada orang tua yang menghabiskan sebanyak 30.000 dinar hanya untuk biaya menuntut ilmu anaknya. Jika 1 dinar setara 4 juta rupiah saja maka 30.000 dinar sama dengan 120 Miliar! Luar biasa, uang sebesar itu dialokasikan hanya untuk biaya pendidikan seorang anak. Tentu orang tua tersebut mempunyai pertimbangan besar dalam hal itu. Lalu bagaimana mungkin demikian itu dilakukan?
Begini ceritanya:
“Wahai musuh Allah, siapakah engkau yang telah berani memasuki rumahku ini?!”
Tiba-tiba seorang pemuda telah berdiri gagah menghadang laki-laki tua asing yang lancang memasuki rumahnya. Pemuda tersebut menatap tajam setelah membentaknya.
“Tidak, aku bukan orang jahat. Justru engkau adalah musuh Allah yang telah berani memasuki rumahku ini!” jawab orang tua tersebut tidak kalah gertak.
Terjadilah perselisihan yang cukup serius antara orang tua asing dan pemuda penghuni rumah tersebut. Keduanya mengaku pemilik rumah yang sah dan menuduh yang lain sebagai penjahat yang lancang memasuki rumah orang lain.
Masyarakat mulai berkerumun mendengar keributan tersebut. Akhirnya ibu dari pemuda tersebut juga keluar dan berteriak setelah melihat wajah orang tua asing itu.
“Hentikan anakku! Dia adalah bapakmu, Farrukh. Hentikan suamiku! Dia adalah anakmu yang dulu engkau tinggal ketika masih di kandungan!”
Mendengar itu, orang tua tersebut tanpak terkejut kemudian menatap lembut wajah anak muda di hadapannya. Tidak disangka, janin yang ditinggal dalam kandungan istrinya dua puluh tujuh tahun yang silam telah menjadi pemuda yang besar dan gagah. Ada rasa haru dan bahagia bercampur aduk jadi satu.
Farrukh adalah suami dari perempuan penghuni rumah tersebut. Dua puluh tujuh tahun yang lalu dia meninggalkan istrinya yang sedang mengandung anaknya. Farrukh pergi ke Khurasan demi memenuhi panggilan perang untuk membela agama Islam. Bertahun-tahun dia tidak pulang dan tidak ada kabar. Hingga di saat semua orang melupakannya, dia datang kembali layaknya orang asing yang tidak dikenal. Meski sempat membuat ribut dan menimbulkan salah paham, namun akhirnya mengharukan dan membahagiakan.
Demi melihat kebahagiaan keluarganya yang kembali utuh, istri Farrukh mengajak suami dan anaknya masuk kembali ke dalam rumah dengan diliputi kebahagiaan baru. Kerumunan warga juga telah selesai dan mereka kembali ke rumah masing-masing.
Dalam sebuah kesempatan, Farrukh menanyakan uang 30.000 dinar yang dulu ia berikan kepada istrinya sebelum berangkat perang untuk dipakai seperlunya. Farrukh meminta istrinya agar mengeluarkan uang tersebut dan menggabungkan dengan uang yang baru ia bawa.
Mendengar hal tersebut, istrinya kaget dan gelisah. Bagaimana tidak, semua uang tersebut sudah ludes dipakai untuk biaya pendidikan anaknya. Tidak tersisa sedikitpun.
“Apa yang akan kusampaikan pada suamiku tentang uang itu? Bagaimana nanti sikapnya jika ia tahu uangnya habis? Percayakah jika nanti kukatakan uangnya habis untuk biaya pendidikan anaknya?” gumam sang istri dalam hatinya.
“Uang itu masih kusimpan, nanti akan kuberikan kepadamu. Sekarang berangkatlah terlebih dahulu ke Masjid Nabawi untuk menunaikan shalat berjamaah. Anakmu sudah dari tadi berangkat,” jawab istrinya untuk sedikit mengalihkan suaminya dari topik uang tersebut.
Sampai di Masjid Nabawi, Farrukh langsung menunaikan shalat berjamaah. Betapa rindunya ia menunaikan shalat di masjid yang paling agung setelah Masjidil Haram itu. Maka ia sungguh-sungguh menikmati sampai selesai shalat dan memanjatkan semua doa-doanya.
Setelah merasa puas beribadah, Farrukh bermaksud pulang. Namun ia mengurungkan niatnya. Ia melihat majelis ilmu yang dihadiri oleh banyak sekali ahli ilmu. Jauh di depan sana di atas kursi duduk seorang syaikh (ulama besar) yang tidak terlalu jelas wajahnya. Namun ia sangat yakin syaikh itu adalah ulama besar yang sangat disegani. Ia merasakan dan bisa melihat dari semua orang yang duduk dengan penuh ta’dzim di hapadan syaikh tersebut. Bahkan yang duduk di barisan terdepan bukan dari golongan orang biasa, namun dari kalangan ulama besar seperti Imam Malik bin Anas, Hasan bin Zaid, dan para ulama besar Madinah waktu itu.
Sesampainya di rumah, Farrukh menceritakan apa yang ia lihat di Masjid Nabawi. Dengan penuh takjub ia menceritakan kehebatan syaikh yang ia dengarkan kajiannya di Masjid Nabawi tadi. Mendengar cerita itu, sang istri hanya bisa tersenyum sumringah.
“Suamiku, apakah engkau tahu siapa syaikh yang alim yang engkau kagumi itu?” tanya istrinya yang masih tersenyum.
“Dia adalah putramu sendiri!” tegas sang istri meyakinkan.
Farrukh tersentak dan hampir tidak mempercayainya. Ia terdiam takjub. Tidak disangkanya syaikh yang ia simak kajiannya tadi adalah putranya sendiri. Tidak henti-hentinya ia membaca tasbih dan tahmid sebagai rasa syukur dan haru setelah mendengar penjelasan istrinya tersebut.
“Suamiku, mana yang lebih engkau sukai, uang 30.000 dinar atau ilmu dan kedudukan yang dianugerahkan kepada putramu itu? tanya sang istri kepada Farrukh.
“Demi Allah, bahkan itu lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya!” jawab Farrukh dengan penuh bangga.
“Ketahuilah suamiku, aku telah menghabiskan semua harta yang engkau amanahkan kepadaku untuk biaya pendidikan anakmu hingga menjadi seperti sekarang ini.”
Lalu Farrukh menanggapinya, “Demi Allah, engkau tidak menyia-nyiakan harta yang telah kutitipkan kepadamu.”
***
Tahukah Anda siapa pemuda tersebut yang menjadi anak dari Farrukh? Tidak lain dia adalah Rabi’ah Arra’yi bin Abi Abdirrahman Farrukh, seorang mufti dan ahli fiqihnya kota Madinah, termasuk seorang tabi’in dan merupakan guru dari Imam Malik pendiri Mazhab Maliki.
Imam Rabi’ah menjadi ulama besar berkah ibunya yang totalitas dalam memfasilitasi anaknya dalam belajar. Tidak tanggung-tanggung, 120 Miliar dihabiskan untuk biaya anaknya menuntut ilmu hanya dalam waktu dua puluh tujuh tahun! Atau jika diperinci lagi, hal itu setara kurang lebih 370 juta setiap bulannya. Itupun jika dihitung sejak lahir.
Syaikhul Imam Sadiduddin As-Syairozi berkata sebagaimana dikutip oleh Syaikh Az-Zarnuji dalam kitabnya, Ta’lim Al-Muta’allim dalam “Bab Pentingnya Mengagungkan Guru”.
“Barang siapa yang ingin anaknya menjadi orang alim, maka dia harus peduli dan menghormati para ahli fiqih (ahli ilmu). Dan memberikan hadiah kepada mereka (meskipun sedikit). Jika ternyata anaknya tidak menjadi orang alim, maka kelak cucunya yang akan menjadi orang alim.”
Demikianlah, orang dahulu bisa menghabiskan 120 Miliar hanya untuk biaya belajar anaknya sampai selesai. Tapi ironisnya, lalu orang sekarang menuntut gurunya ikhlas hidup kekurangan tanpa memberikan bayaran yang layak. Sungguh menyedihkan! []
Penulis: Abul Faraj Mohammad Jazuli
Editor: Hakim