Indonesia ‘Ala Minhajin Nubuwwah

INDONESIA
‘ALA MINHAJIN NUBUWWAH

Oleh Ayik
Heriansyah

khilafah ala minhajin nubuwwah berlangsung selama, derajat hadits khilafah ala minhajin nubuwwah, hadits tentang khilafah 30 tahun, apa yang dimaksud dengan khilafah ala minhajin nubuwwah, arti tsumma takunu khilafatan ala minhajin nubuwwah, masa nubuwwah artinya, dalil khilafah ajaran islam, takhrij hadits khilafah, masa nubuwwah artinya, nubuwwah adalah, gerakan nubuwwah, khilafah 'ala minhajin nubuwwah berlangsung selama, minhajin nubuwwah, minhajin nubuwwah artinya, ala minhajin nubuwwah, khilafah ala minhajin nubuwwah hadits, khilafah ala minhajin nubuwwah hadith, khilafah minhajin nubuwwah, dakwah ala minhajin nubuwwah

        Di
antara metode-metode Nabi Muhammad saw dalam mendirikan Daulah Nabawiyah, satu
metode mendasar yang diikuti oleh para bapak bangsa kita ketika mendirikan
negara Indonesia, yang saya kemukakan pada tulisan ini, yaitu negara berdiri
atas dasar persatuan dan kesatuan. Bukan hasil dari sebuah gerakan separatisme.

        Indonesia
sebuah negara muslim terbesar di dunia lahir dari sebuah semangat
persatuan  dan kesatuan umat. Para
pendiri bangsa berhasil menyatukan seratus lebih kesultanan, ratusan suku dan
bahasa, serta beberapa agama dan kepercayaan. Integrasi kesultanan, suku dan
agama di Nusantara menjadi satu negara Indonesia dilakukan dengan penuh
kesadaran secara alami dan damai tanpa paksaan dari siapapun. Bukan karena
aneksasi dan invansi dari Jawa. Integrasi terjadi bukan di bawah todongan
senjata.

        Hal
ini mengingatkan kita perihal keberhasilan Rasulullah saw  menyatukan suku ‘Aus dan Khazraj dengan
Quraisy yang beragama Islam, beserta suku-suku lain yang ada di sekitar
Yatsrib. Rasulullah saw juga berhasil menyatukan empat suku Yahudi dan kaum
musyrikin dalam satu negara yang diikat dengan Piagam Madinah.

        Hal
ini diikuti oleh para pendiri bangsa kita mengikat persatuan dan kesatuan umat
dengan Pancasila. Pendiri bangsa berhasil menyatukan suku Jawa, Sunda, Melayu,
Batak, Banjar, Bugis, dan lain sebagainya menjadi satu bangsa, Indonesia.

          Daulah Nabawiyah mengakui
eksistensi, identitas, tradisi dan adat dari suku-suku dan agama-agama serta
kearifan lokal yang ada sebelumnya. Pemimpin-pemimpin suku dan agama tetap jadi
pemimpin. Mereka tidak di-reshuffle. Semua orang yang tinggal di wilayah
Madinah, semua berkedudukan sama sebagai warga negara Daulah Nabawiyah. Tidak
ada diskiriminasi. Hak dan kewajiban mereka sama, tanpa memandang suku dan
agama.

        Hal
yang bertolak belakang dengan proses pembentukan negara-negara Arab, yang mana
negara-negara tersebut merupakan hasil dari gerakan separatisme yang didukung
oleh negara-negara Eropa untuk memisahkan diri dari Khilafah Utsmaniyah.
Nasionalisme yang dihembuskan oleh Inggris, Perancis, Rusia, Italia dan Jerman
di wilayah Khilafah Utsmaniyah telah mencabik-cabik Khilafah Utsmaniyah sampai
tidak bersisa sedikit pun, hatta di Istambul sekalipun yang merupakan ibukota
Khilafah Ustmaniyah. Khilafah Utsmaniyah lenyap dari peta dunia 21 tahun
sebelum negara Indonesia lahir. 

Tentu saja, derajat Nabi Muhammad
saw jauh di atas para pendiri bangsa kita. Tidak mungkin dan tidak pantas
dibandingkan. Namun, yang menjadi perhatian kita adalah, apa yang dilakukan
oleh pendiri bangsa ternyata sesuai dengan metode Nabi saw ketika mendirikan
Daulah Nabawiyah di Madinah, yaitu 
mendirikan negara dengan cara menyatukan suku-suku dan agama-agama lalu
mengikatnya dengan sebuah piagam yang diterima oleh semua pihak.

        Kesesuaian
metode pembentukan negara Indonesia dengan Daulah Nabawiyah merupakan rahmat
dari Allah swt berkat keinginan yang luhur dari umat untuk merdeka dari
penjajahan negara asing. Kesadaran ruhiyah ini tertulis di dalam Pembukaan UUD
1945 alinea ketiga yang berbunyi “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan
dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang
bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”

        Sangat
disayangkan, para pejuang khilafah tahririyah menutup mata, telinga dan hati
atas kenyataan ini. Disebabkan oleh fanatisme kelompok yang sudah mendarah
daging. Mereka sebenarnya sudah mengetahui nasionalisme Indonesia berbeda
dengan nasionalisme Arab. Nasionalisme Indonesia berhasil menyatukan ratusan
kesultanan di Nusantara ke dalam satu negara, sedangkan nasionalisme Arab telah
memecah belah wilayah Khilafah Utsmaniyah menjadi puluhan negara-negara Arab
yang kecil-kecil.

        Trauma
terhadap kejatuhan Khilafah Utsmaniyah akibat nasionalisme Arab, membuat para
pejuang khilafah tahririyah alergi dengan kata nasionalisme. Mereka sebenarnya
bukan warga negara Khilafah Utsmaniyah. Mereka juga bukan sedang ingin
mendirikan kembali Khilafah Utsmaniyah, karena yang mereka mau adalah khilafah
tahririyah.

        Mereka
menghempuskan isu “nasionalisme pemecah belah umat” untuk mendelegitimasi
negara Indonesia. Mereka ingin melemahkan ikatan persatuan dan kesatuan umat di
Indonensia, Maklum mereka bukan WNI (warga negara Indonesia). Mereka adalah WNK
(warga negara khilafah) tidak berkewajiban, bahkan merasa berdosa dan haram
hukumnya mempertahankan eksistensi negara Indonesia.

        Isu
“nasionalisme pemecah belah umat” di Indonesia sejatinya salah alamat. Isu
tersebut seharusnya diopinikan di negara-negara Arab. Meskipun demikian, tujuan
akhir dari hembusan isu tersebut adalah ingin melemahkan persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia yang berujung pada kehancurkan negara Indonesia. Tujuan yang
sama ketika negara-negara Eropa menghembuskan isu nasionalisme di wilayah
Khilafah Utsmaniyah.

https://www.potretsantri.com/2021/08/indonesia-ala-minhajin-nubuwwah.html