Laduni.ID, Jakarta – Ketika seseorang meninggal dunia, kita seringkali terpaku pada kenangan indah yang pernah dilalui bersama. Namun, di balik kesedihan yang menyelimuti setiap kepergian, tentu terdapat kekuatan yang luar biasa dalam tindakan sederhana yang dapat dilakukan, yaitu dengan berdoa untuk mereka yang telah pergi.
Mendoakan orang yang telah meninggal bukan hanya sekadar tradisi keagamaan, tetapi juga sebagai bukti kecintaan dan penghormatan yang mendalam. Karena itu sangat penting mendoakan orang-orang yang telah berpulang untuk menggali makna spiritual di baliknya. Dan secara tidak langsung dapat memberikan kenyamanan bagi kita yang masih berada di dunia ini.
Terdapat suatu kisah di dalam kitab yang berjudul Mawaidhul ‘Ushfuriyyah pada Hadis yang ke-15. Suatu ketika ada seorang ulama bernama Syaikh Tsabit Al-Banani. Beliau sangat alim dan juga mempunyai sebuah amalan yang dilakukan dengan sangat istiqomah. Setiap malam Jumat, beliau pergi ke kuburan untuk melakukan ziarah kubur. Di tempat itu, beliau berdoa sampai menjelang subuh.
Pada suatu malam Jumat, beliau merasa sangat lelah. Ketika itu beliau tertidur lelap di pemakaman tersebut. Lalu di dalam mimpinya, beliau menemukan seluruh penghuni kubur yang telah meninggal keluar dari kuburannya masing-masing. Syaikh Tsabit melihat mereka dengan pakaian yang bagus-bagus, wajah-wajah mereka pun terlihat ceria dan bercahaya, lalu mereka semua menerima nampan-nampan yang berupa hidangan yang bercahaya.
Namun dari seluruh penguni kuburan yang kondisinya demikian ceria itu, ternyata terdapat seorang penghuni kuburan yang menarik perhatian Syaikh Tsabit di pojok pemakaman tersebut. Salah seorang penghuni itu dengan kondisi wajah yang pucat, rambut yang kusut berantakan, pakaiannya kusam, bersedih hatinya, menundukkan kepala sambil menangis, dan ia pun tidak mendapat nampan hidangan seperti yang dimiliki penghuni lainnya.
Akhirnya seorang pemuda itu didekati oleh Syaikh Tsabit, lalu beliau menanyakan, “Siapa kamu dan mengapa kamu memiliki kondisi seperti ini?”
Pemuda itu pun bercerita, “Wahai Imamul Muslimin, sesungguhnya saya adalah orang asing dibanding mereka, saya tidak memiliki orang yang mengingat saya, tidak ada yang mengirimkan kebaikan dan doa. Sedangkan mereka semua memiliki kerabat, anak, serta keluarga yang mendoakan mereka. Keluarga mereka selalu mengirimkan kebaikan, doa , dan sedekah setiap malam Jumat. Makanya kebaikan dan sedekah itu sampailah kepada mereka. Sementara saya, pada suatu waktu saya pergi menunaikan ibadah haji bersama ibu saya. Saat kami ingin menunaikan haji, ketika kami memasuki kota Mesir ini, saya mengahadapi salah satu takdir dari Allah SWT (pemuda itu meninggal). Ibu saya menguburkan saya di pemakaman ini. Lalu ibu saya menikah lagi dengan seseorang, lalu ia melupakan saya, dan juga tidak mengingat untuk memberikan doa, serta kebaikan terhadap saya, sehingga saya memiliki kondsi seperti ini. Sesungguhnya saya menjadi sangat putus asa dan susah di sepanjang waktu.”
Setelah mendengar cerita itu, Syaikh Tsabit Al-Banani mananyainya kembali, “Wahai pemuda, beritahukan aku tempat tinggal ibumu, lalu aku akan ceritakan kepada dia kondisimu yang seperti ini.“
Pemuda tersebut memberitahukan alamat rumah ibunya. Ia lalu berkata, “Wahai Imamul Muslimin, ibu saya berada di tempat tersebut, dan tolonglah beri tahu beliau tentang kondisi saya yang seperti ini. Andaikan ibu saya tidak percaya dengan kisahmu, beri tahu dia bahwa di saku baju yang terakhir saya pakai, terdapat uang simpanan saya. Uang itu adalah pemberian ayah saya dahulu sebelum meninggal. Maka dia pasti akan percaya dengan hal ini.“
Setelah itu, tiba-tiba Syaikh Tsabit Al-Banani bangun dari tidurnya. Beliau langsung mencari di mana alamat ibu dari pemuda itu. Dicarinya terus sampai pada akhirnya bertemulah ia dengan ibu si pemuda tadi.
Syaikh Tsabit Al-Banai lalu menceritakan kondisi si pemuda kepada ibunya sebagaimana yang diminta. Ketika mendengar cerita itu, ibu si pemuda tiba-tiba langsung pingsan, karena kaget atas semua kisah yang disampaikan.
Setelah siuman dari pingsan, ibu si pemuda langsung memberikan uang dari saku baju anaknya kepada Syaikh Tsabit Al-Banani untuk disedekahkan atas nama anaknya. Dan sebagaimana diminta, semua yang diberikan itu kemudian disedekahkan oleh Syaikh Tsabit Al-Banani atas nama pemuda dari seorang ibu tadi.
Setelah kejadian itu berlalu, di suatu malam Jumat kemudian, seperti biasanya Syaikh Tsabit pergi untuk berziarah mengunjungi pemakaman. Lagi-lagi beliau kelelahan dan tertidur lelap di pemakaman yang sama.
Saat itu, beliau kembali bermimpi. Dalam mimpinya itu, beliau tidak menemukan lagi si pemuda berada di pojok pemakaman. Tetapi ternyata beliau melihatnya sedang berada di tengah-tengah pemakaman dengan keadaaan yang sangat menakjubkan. Pakaian si pemuda itu sangat bagus dan bercahaya, wajahnya sangat ceria dan bercahaya, lalu terdapat nampan yang didalamnya terdapat hidangan yang sangat banyak. Bahkan kondisi pemuda itu paling baik dibandingkan dengan penghuni pemakaman lainnya.
Pemuda itu lalu berkata kepada Syaikh Tsabit, “Wahai Imamul Muslimin, semoga Allah SWT merahmatimu sebagaimana kamu mengasihiku.“
Kisah di atas menunjukan kepada kita, bagaimana gambaran penghuni kubur, orang-orang yang sudah meninggal itu ternyata tetap sangat membutuhkan doa-doa dan juga sedekah dari orang-orang yang hidup. Terkhusus dari keluarga si mayit.
Terkait kehidupan di alam kubur itu, terdapat sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang bersumber dari sayyidina Abu Hurairah r.a.
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَة أَشْيَآءَ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْعِلْمٍ يُنْتَفِعُ بِهِ، أَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ
“Ketika seorang manusia meninggal dunia, maka amalannya terputus kecuali tiga hal, yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakannya.”
Di dalam Kitab Daqoiqul Akhbar, terdapat keterangan sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas r.a bahwa ketika tiba waktu Hari Raya, Hari Asyura’, Hari Jumat yang pertama dari Bulan Rajab, malam pertengahan dari Bulan Sya’ban, dan Malam Qadr (Lailatul Qadr), serta malam Jumat, keluarlah ruh-ruh orang yang sudah meninggal dari kuburnya, yang kemudian mereka berdiri di pintu rumahnya masing-masing seraya berkata:
“Kasihanilah kepada kami di malam ini yang (penuh) berkah dengan bersedekah atau sesuapan (makanan untuk sedekah), karena sesungguhnya kami membutuhkan kepada sedekah. Kalau kamu bakhil dan tidak mau memberikan sedekah (yang ditunjukan kepada kami), maka ingatlah kepada kami dengan membaca Al-Fatihah di malam ini yang penuh berkah. Adakah dari seorang yang mengasihi kepada kami? Adakah dari seorang yang mengingat pengembaraan kami? Hai orang yang berdiam di rumah kami! Hai orang yang menikahi istri kami! Hai orang yang menempati luasnya gedung kami! Kami sekarang berada di dalam sempitnya kubur. Hai orang yang membagi harta kami! Hai orang yang masih mengingat pengembaraan kami, dan bukumu itu masih digelar. Tidak ada pakaian bagi mayit dalam kuburnya, maka kamu jangan lupa kepada kami dengan sepotong rotimu (untuk sedekah) dan doa kamu. Maka sesungguhnya kami ini membutuhkan kepada kamu untuk selamanya.”
Kisah-kisah di atas menunjukkan bahwa kehidupan di alam kubur itu masih ada kaitannya dengan orang yang masih hidup. Karena itu, jangan sampai terlupa untuk mendoakan orang-orang yang sudah meninggal dunia, apalagi mereka yang merupakan bagian dari keluarga kita. Bahkan, termasuk berbakti kepada orang tua adalah dengan senantiasa mendoakannya, meski telah meninggal dunia. Dan gambaran bagaimana kita bersikap dan berbakti kepada orang tua itu, kelak juga akan menjadi gambaran anak-anak kita.
Semoga kita menjadi anak-anak yang bermanfaat dan senantiasa mendoakan orang tua kita dan orang-orang tercinta. Amin. []
Penulis: Iqbal Rabbani
Editor: Hakim