Islam dan Negeri di Bawah Angin

Pengaruh Hindu-Budha merupakan aspek penting dalam pembentukan karakter masyarakat Nusantara karena dari sini sistem politik, ekonomi, sosial dan keagamaan terhubung dengan proses yang terjadi di dunia Internasional. Berikutnya muncullah kerajaan-kerjaan mulai Kutai di Kalimantan, Tarumanegara, Melayu, Sriwijaya dan berbagai kerjaan-kerjaan lainya di Bali, hingga sampai dengan Majapahit.

Proses masuknya Islam di mulai dari abad VII hingga ke Abad XIII tidak terlepas dari beberapa faktor. Dalam buku yang ditulis oleh Bahtiar Effendy dan Fachry Ali mengatakan, “Sebagaimana awal masuknya Islam di Sumatra Utara yang menggunakan jalan, laut penyeberan di kepulauan Indonesia lainya menggunakan jalan serupa: melalui perdagangan jalan laut. Pada abad kelima belas Masehi, para pedagang arab dan negara-negara lain mendarat di Jawa.”

Berkembangnya perdagangan laut yang dilakukan oleh kelompok muslim tidak terlepas dari perannya sebagai Sufi. Selain itu, Uka Tjandrasasmita dalam makalah Seminar on Islam in Southets Asia, Jakarta, 1982 yang berjudul The Arrival and Exspansion of Islam in Indonesia. Beliau mengatakan bahwa, “Terdapat kontak dagang yang dilakukan tiga dinasti kuat, yakni Umayyah (660-749) di Asia Barat, Kerajaan Sriwijaya (abad 7-14)  di Asia Tenggara, dan Dinasti T’ang (613-907) di Asia Timur.”

Dalam perjalanan sejarahnya komunitas muslim tidak hanya sebatas berdagang dan berdakwah namun juga membawa sebuah perubahan sosial-budaya, sehingga komunitas muslim membentuk struktur pemerintahan. Dalam buku Ulama dan Kekuasaan yang ditulis oleh Jajat Burhanuddin disebutkan bahwa Islam Nusantara masa pra-kolonial, ketika ulama memainkan peranan penting guna memperkuat pelaksanaan Islam di dalam kerajaan.

Baca juga:  Berpakaian Islami di Masa Kolonial

Proses penyebaran Islam di Sumatra Utara menjadi pondasi awal terbentuknya kerajaan Samudra Pasai, hingga pamor dari kedua kerajaan besar mulai luntur, yakni Sriwijaya dan Majapahit. maka situasi yang demikian ini kelompok umat Muslim juga menyebarkan luas jaringan pedagangannya hingga kepedesaan dan juga mambentuk sebuah struktur pemerintahan sehingga melahirkan banyak kerajaan Islam.

Terlepas dari latarbelakang sejarah perkembangan Islam di Nusantra. Islam sejak awal lahir sebagai jalan alternatif untuk menyelesaikan segala persoalan umat manusia sehingga melahirkan nilai yang universal, tentu hal ini berkaitan dengan sifatnya yang lebih fleksibel yang dalam artian tidak menuntut diluar jangkauan manusia.

Alam pikiran masyarakat Nusantara pra Islam memiliki daya pikiran yang menarik terbukti dalam banyak manuskrip yang menjadi bukti dari khazanah pemikiran yang membentuk struktur sosial-masyarakat yang mapan. Hal ini dapat kita lihat bagaimana Kerajaan sriwijaya menjadi pusat pendidikan pada masa silam.

Dalam hal ini pembentukan kerajaan Islam yang dilakukan oleh komunitas muslim tentunya disertai oleh gagasan, meminjam istilah yang disebutkan oleh Prof. Jajat Burhanuddin dalam bukunya Ulama dan Kekuasaan mengatakan adanya gagasan berkeyakinan Sufi atau yang disebut dengan Insan Kamil. Sebab ide Insan Kamil sesuai dengan gagasan politik berorientasi dengan raja di Nusantara sehingga merumuskan raja sufi.

Baca juga:  Menilik Keistimewaan Nabi Muhammad Lewat Peristiwa Isra Mi’raj

Kehadiran Islam di bumi Nusantara bukan merubah budaya yang ada, akan tetapi Islam hadir di Nusantara mencoba mencari sintesis yang cocok dengan masyarakat Nusantara. Adapun hal yang menjadi isu penting yang membawa perkembang Islamisasi yang cepat, seperti yang dikatakan, Prof. Jajat Burhanuddin, “Salah satu isu penting dalam pembentukan kerajaan adalah perumusan ideologi politik yang berhubungan dengan meningkatnya jumlah pemeluk Islam.”

Jaringan perdagangan global melahirkan kota-kota tepian di Nusantara menjadi pusat perdagangan diantara kota-kota tepian yang menjadi pusat perdagangan yang memainkan peran penting yakni, Malaka dan Banten. Dua kota tersebut membawa Nusantara dalam arus utama dalam perdagangan Internasional.

Berdasarkan peneliti Fatimi (1963: 121-140) terdapat dua surat-menyurat antara dua Dinasti besar Sriwijaya yang dipimpin oleh Sri Indrawarman dengan Dinasti Umayah yang dipimpin oleh Umar bin Abdul Aziz. Hal ini menjadi bukti kuat adanya awal kontak dengan timur tengah dan sekaligu bahwa istilah Arab sudah akrab pada masyarakat nusantara.

Kontak awal dengan timur tengah membawa titik puncak hubungan tersebut. Terbukti bahwa para ulama nusantara membentuk Komunitas Jawi di Mekkah. Karya Azyumardi Azra yang berjudul Jaringan Ulama Nusantara abad ke 17 dan 18. Menyebutkan sejumlah tokoh ulama antara lain al-Ranniri (wafat. 1608), Abdurrauf al-Sinkili (1615-1693), dan Yusuf al-Maqassari (1627-1699). Meraka bertanggung jawab mendifinasikan perkembangan pemikiran Islam ke Nusantara.

Baca juga:  Gaji Abu Bakar Ketika Menjadi Khalifah

Mekkah yang menjadi metting point para ulama nusantara yang sedang melakukan studi memainkan peran penting dalam membentuk kembali isu tasawuf atau istilah ini disebut oleh Fazlur Rahman mendefinisikan dengan Neo-Sufisme. Istilah ini baginya untuk membangun sebuah kerangka yang utuh dan bersifat menyeluruh serta mencerminkan nilai-nilai al-Qur’an dan teladan Nabi, sehingga mampu merespon zaman modern.

Dalam konteks ulama Nusantara, pemikiran Neo-sufisme ini bersifat untuk membangun kerajaan sebagai pusat dimana ulama terlibat dalam bidang sosio-relegius dan politik. Hal ini terlihat bagaimana ulama menjadi penasihat raja dan hakim. Sehingga menciptakan arah politik kerajaan Islam nusantara.

https://alif.id/read/rard/islam-dan-negeri-di-bawah-angin-b240031p/