Suatu kali saat sedang berjalan-jalan di sekitar rumah, saya melihat sebuah pemandangan yang bagi saya agak janggal. Ada dua orang pria paruh baya yang tengah membawa kotak bertuliskan “sumbangan pembangunan masjid” sambil mengajukan kotak tersebut kepada para pengendara di jalanan.
Tepat di samping jalan, terdapat sebuah masjid besar nan megah yang menurut saya sepertinya tak memerlukan pembangunan lagi. Namun, kemegahan masjid itu terlihat begitu kontras dengan kondisi rumah-rumah warga yang berada di sekitarnya. Rumah-rumah tersebut tampak kecil dan kumuh. Saya lalu berasumsi bahwa orang-orang yang tinggal di sekitar masjid itu banyak dari kalangan orang miskin.
Saya kemudian sejenak mencermati hal ini. Bagaimana mungkin, sebuah masjid dibangun sebegitu besar dengan menggalang dana masyarakat sedangkan di sekitarnya masih banyak orang-orang kecil yang memerlukan bantuan? Apa yang kemudian mendorong banyak orang muslim, lebih memilih mendermakan hartanya pada pembangunan masjid daripada membantu ekonomi orang-orang miskin?
Lebih lanjut, apakah agama Islam yang selama ini kita anut dan yakini hanya menuntut kita untuk melakukan ibadah “ritual” seperti shalat, puasa dan haji saja tanpa memedulikan hubungan sosial kita? Saya kira pemandangan ini menjadi sebuah bahan introspeksi atas laku keberislaman kita hari ini.
Melihat Kembali Kanjeng Nabi
Nabi Muhammad adalah lukisan akhlak al-Qur’an dalam tubuh seorang manusia. Dari perbuatan dan perkataannya lah kita dapat memahami dan menikmati keagungan nilai-nilai ajaran Islam. Nabi Muhammad bukanlah seorang yang hari-harinya hanya diisi oleh ritual ibadah saja. Ia sebagaimana manusia biasa lainnya, makan, minum, berdagang, bercanda-tawa, dan berhubungan baik dengan sesama manusia.
Beliau diutus di tengah-tengah masyarakat Arab Jahiliyyah bukan hanya membawa perintah beribadah dan menyembah Allah SWT. Di samping itu, ia juga diutus sebagai pembebas manusia dari belenggu kebodohan dan kejahilan serta sistem sosial yang tak adil dan menindas.
Itulah mengapa dalam al-Qur;an dan hadis kita menemui banyak perintah yang berkaitan dengan hubungan sosial seperti, membantu kaum miskin, membela orang yang ditindas, memerdekakan budak, berdagang secara adil, dan lain sebagainya. Tak hanya itu, terdapat pula berbagai larangan yang berkaitan dengan praktik-praktik tak adil dan menindas, khususnya pada masyarakat Arab kala itu. Seperti perbudakan, penindasan, diskriminasi ras dan gender, dan lain-lain.
Sabda Nabi Muhammad, “Kamu sekalian, satu sama lain janganlah saling mendengki, saling menipu, saling membenci, saling menjauhi, dan janganlah membeli barang yang sedang ditawar orang lain. Dan jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain, maka tidak boleh menzaliminya, menelantarkannya, mendustainya dan menghinakannya.” (HR Muslim No. 2564).
Nabi mengajarkan kita laku keislaman yang tak hanya berkutat pada ibadah-ibadah ritual belaka seperti shalat, haji, dan puasa. Islam menekankan betapa pentingnya “kesalehan sosial” di samping “kesalehan ritual”. Seseorang tidaklah lengkap keislamannya jika tidak memedulikan lingkungan sosialnya sekalipun ia selalu taat beribadah.
Jebakan Atribut Belaka
Tak dapat dipungkiri, bahwa spirit religiositas umat Islam di Indonesia sangatlah besar. Suara dan aspirasi umat Islam bahkan sangat diperhitungkan sebab Islam menjadi agama mayoritas. Akan tetapi, hari ini Islam tampaknya hanya menjadi atribut spiritual belaka yang sewaktu-waktu dapat dikenakan dan dilepaskan.
Kita dapat melihat hal tersebut pada apa yang ditampilkan oleh para politikus dan pejabat. Tiap kali menjelang kontestasi pemilu, mereka melakukan pencitraan religius dengan cara-cara tertentu untuk menggaet suara umat Islam sebagai pemilih mayoritas.
Ashgar Ali Engineer dalam suatu pidatonya pada penganugerahan Right Livelihood Award pada 2004 pernah mengatakan,
I was told by my father, who was a priest, that it was the basic duty of a Muslim to establish peace on earth… I soon came to the conclusion that it was not religion but misuse of religion and politicising of religion, which was the main culprit.
Di samping itu, dalam keseharian, saya sendiri kerap kali menjumpai orang-orang yang secara penampilan sangat Islami dan taat beribadah, akan tetapi enggan membantu tetangga, teman, dan kerabatnya yang sedang memerlukan bantuan.
Islam pada akhirnya terjebak pada “masjid-masjid besar” dan “jubah-jubah panjang” yang semakin lama semakin enggan melihat jalanan, kawasan kumuh, rakyat kecil yang tertindas. Lebih buruk lagi, Islam malah dijadikan sebagai kendaraan politik bagi penguasa dan alat legitimasi bagi pengusaha. Perkara “Konsesi Tambang” yang akhir-akhir ini ramai, agaknya menggambarkan hal itu.
Islam patut diterapkan lagi sebagaimana Nabi Muhammad membawanya pertama kali. Selain membawa risalah Tauhid, Nabi Muhammad datang untuk membebaskan manusia dari belenggu penindasan dan kebodohan serta mengangkat derajat seluruh manusia agar hidup dalam sistem sosial yang adil dan setara.
…
Laku keberislaman kita hari ini lebih mementingkan penampilan dan atribut daripada pengamalan nilai dasar dari ajaran Islam itu sendiri. Mesjid besar di antara rumah-rumah kecil dan kumuh yang saya ceritakan di awal adalah gambaran bahwa kita lebih mementingkan “apa yang tampak” daripada “apa yang terjadi”.
Kini kita melihat begitu banyak masjid yang dibangun semegah mungkin. Sedangkan masyarakat yang hidup di sekitarnya dibiarkan miskin dan sengsara. Banyak yang lebih rela mendermakan hartanya untuk pembangunan masjid daripada membangun masyarakat di lingkungannya. Padahal kepekaan sosial dan kepedulian sesama manusia adalah dimensi yang sangat penting dalam ajaran islam.
“Tidaklah beriman orang yang selalu dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya mengalami kelaparan sampai ke lambungnya (sementara dia tidak peduli padanya.” (HR. Bukhari)
https://alif.id/read/abl/islam-masjid-dan-kaum-miskin-b249633p/