I’tikaf Sepuluh Hari Terakhir Puasa dan Kesalehan Sosial

Laduni.ID, Jakarta – Salah satu ibadah yang disunnahkan untuk banyak dilakukan di bulan Ramadhan adalah i`tikaf, terutama pada sepuluh hari terakhir. Setiap memasuki sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, Rasulullah SAW memperbanyak i‟tikaf di masjid dan tidak selalu bersama untuk keluarganya, bahkan menyuruh keluarganya untuk melakukannya.

I‟tikaf adalah berdiam diri dalam masjid dengan niat ibadah kepada Allah SWT. Selama i‟tikaf, orang yang beri‟tikaf menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo‟a, berdzikir, bershalawat pada Nabi, membaca Al-Qur`ȃn dan mengerjakan amal kebaikan lainnya di dalam masjid. I‟tikaf memiliki makna yang mendalam bagi kehidupan seorang muslim apalagi di zaman yang penuh dengan godaan duniawi seperti sekarang ini. Pernak-pernik kehidupan duniawi mudah sekali melalaikan manusia kepada Tuhannya. Secara formal, banyak orang mengakui dirinya beriman kepada Allah SWT, tetapi ternyata keimanannya itu kadangkala baru di lisannya saja. Tidak ada singkronisasi antara kata “iman” dan “perbuatanya”. Godaan dunia mudah sekali menggelincirkan keimanannya.

Fenomena zaman sekarang masih banyak umat Islam yang sudah melakukan amal ibadah sunnah maupun yang wajib, tetapi masih melakukan kemaksiatan. Jamaah masjid semakin meningkat, demikian juga jamaah haji dan umrahnya. Tetapi kemaksiatan terus merajalela. Bahkan kemaksiatan yang berdampak kepada kerugian orang lain, seperti menipu dalam bisnis, korupsi dan lain-lain. Tentu, fenomena ini menimbulkan pertanyaan, kenapa ibadah yang dilakukan tidak berpengaruh terhadap karakter sosialnya. Di sinilah perlunya melakukan ibadah lain yang dapat memantapkan hati untuk istiqamah antara ibadah hablun minallah dan hablun minannas. Di bulan Ramadhan ini, ibadah i‟tikaf dapat menjadi ibadah tambahan yang jika dilakukan dengan baik akan dapat mengistiqamahkan karakter manusia.

I‟tikaf bukanlah ibadah yang hanya berdimensi hablun minallah saja. Betapapun orang yang beritikaf diperintahkan agar khusu` hanya berzikir kepada Allah SWT saja, tetapi bukan berarti dalam I‟tikaf ini mengajarkan manusia untuk jauh dari kehdupan dunianya. Justru pada saat-saat i‟tikaf itu, di mana hati dan fikiran hanya tertuju kepada Allah semata, orang yang beri`tikaf juga seharusnya berintrospeksi tentang dirinya dan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian orang yang beri‟tikaf dapat merubah sikap dan prilakukanya dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW menjamin orang-orang yang hatinya terikat dengan masjid di akhirat nanti akan mendapatkan perlindungan dari Allah SWT. Masjid lambang kesucian dan masjid juga lambang kedekatan dengan Allah SWT. Sehingga orang yang hatinya terikat dengan masjid tentu akan memiliki rasa takut untuk melakukan perbuatan-perbuatan maksiat dalam kehidupan sehari-hari.

Di sinilah i‟tikaf diharapkan mampu memberi bekas dalam hati setiap pelakunya bahwa berdiam diri di masjid bukan berarti keterikatan dengan masjid hanya pada saat I‟tikaf saja. Tetapi justru i`tikaf itu menjadi latihan agar orang yang melaksanakannya dapat melekatkan masjid itu sebagai pengendali dalam hidupnya. Sehingga setiap perilakunya dikendalikan oleh hati yang sudah dekat dengan Allah SWT yang ditempa melalui itikaf.

Semoga kita dapat memanfaatkan waktu senggang kita bahkan meluangkan waktu di bulan Ramadhan untuk beri‟tikaf terlebih disepuluh terakhir puasa Ramadhan ini agar dapat meraih pahala dan mengistiqamahkan hati antara kesalehan kepada Allah dan kesalehan terhadap sesama makhluk-Nya.


Source: Buku menyingkap tabir puasa Ramadhan (penulis KH. Cholil Nafis, Lc, Ph.D diterbitkan oleh Mitra Abadi Press, Jagakarsa Jakarta Selatan)

https://www.laduni.id/post/read/74886/itikaf-sepuluh-hari-terakhir-puasa-dan-kesalehan-sosial.html