Kita semua pasti sudah hafal di luar kepala dari bunyi QS. Ar-Rum: 41 (ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ). Yang artinya: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Ayat di atas betapa menyentil manusia supaya menyadari bahwa perbuatan membuang sampah sembarangan, menggunduli dan membakar hutan, hingga mendirikan pemukiman di bantaran sungai termasuk tindakan yang tidak benar. Karena kita sama saja tidak menghargai lingkungan. Dengan begitu, manusia pasti akan mengalami problematika yang berasal dari krisis spiritual dan pengenalan diri.
Dalam buku “Teologi Inklusif Cak Nur” yang ditulis oleh Sukidi, krisis spiritual dan krisis pengenalan diri perlu mendapat perhatian khusus dari manusia. Pentingnya membentuk karakter spiritualitas dan memahami diri sendiri menjadi acuan penting untuk manusia hidup di alam semesta ini. Sehingga, mereka bisa memahami gelar khalifah fi al-ardh yang ditanggungnya. Di samping itu, mereka dapat memberikan perhatian serius pada kelestarian ekologi di bumi.
Dari sinilah peran agama sangat diperlukan untuk membentuk pengetahuan dasar bagi manusia, di mana mereka perlu mengupayakan pentingnya manifestasi kelestarian ekologi yang berpengaruh di masa mendatang. Ayat-ayat suci juga telah menjelaskan mengenai pentingnya untuk tidak bersikap apatis terhadap lingkungan. Pada dasarnya, manusialah yang membutuhkan lingkungan sebagai tempat bertahan hidup.
Sejatinya, agama telah berperan besar dalam memberikan peringatan kepada manusia mengenai pentingnya kesadaran menjaga kelestarian ekologi. Anjuran untuk tidak melakukan perusakan di alam telah jauh-jauh hari disebutkan dalam teks suci buatan-Nya. Tidak hanya itu, anjuran untuk cerdas mengelola hasil sumber daya alam juga telah diuraikan dengan lengkap dalam kitab-Nya. Bukan tanpa sebab jika anjuran menjaga lingkungan telah ada sejak zaman dahulu, mengingat kerusakan alam juga telah menimpa umat-umat terdahulu sebelum pengikut Nabi Muhammad SAW. ada. Sebagai contoh, musibah awan beracun yang menimpa suku Madyan.
Bencana ini berawal dari keadaan suhu bumi yang mengalami kenaikan drastis selama tujuh hari berturut-turut. Keadaan ini juga diikuti dengan sebagian langit yang ditutupi oleh awan tebal. Sontak saja, situasi seperti ini membuat suku Madyan beranggapan bahwa awan-awan tebal yang menutupi langit ialah suatu pelindung yang datang kepada mereka. Lantas, mereka pun berlarian untuk berteduh di bawah awan tersebut. Akan tetapi, awan yang semula mereka yakini sebagai pelindung justru menjadi bumerang tersendiri. Pasalnya, awan-awan tadi berubah menjadi kilatan dengan radiasi dan bunyi ledakan yang menggemakan. Tidak berhenti di situ, kejadian ini dilanjutkan oleh gempa tektonik dengan kekuatan tinggi yang mampu memporak-porandakan keadaan di sekitarnya.
Beralih pada fenomena yang terjadi saat ini. Misalnya, pupuk pestisida yang digunakan untuk menyuburkan tanah pertanian tentu mengandung zat-zat kimia yang berdampak jangka panjang pada kesuburan tanah. Lambat laun, tanah akan kehilangan unsur penyubur alami yang dimilikinya karena terdistraksi oleh bahan kimia tersebut. Bahkan, ancaman ini tidak hanya menyerang kelestarian tanah saja. Akan tetapi, serangga-serangga ataupun hewan yang hidup di alam bebas bisa saja merasakan dampak serupa. Di mana akibat terburuknya ialah rantai makanan pada ekosistem alam menjadi terganggu karena aktivitas ini. Fatalnya, salah satu tingkatan ekosistem akan mengalami kenaikan populasi yang justru semakin membahayakan alam sekitar.
Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyaknya generasi-generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu), telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir dibawah mereka, kemudian kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain. (Al-An’am/6: 6)
Pada dasarnya, ayat-ayat Tuhan telah nyata adanya sebagai teguran bagi makhluk-Nya untuk senantiasa menjaga kelestarian ekologi. Meski disanggah dengan beragam alasan, kerusakan lingkungan telah ada jauh sebelum sekarang. Barang kali sebagai teguran bagi kaum yang menyekutukan-Nya, maupun sebagai teguran atas kelalaian manusia dalam menjaga alam.
Maka, sudah sepatutnya sebagai hal mutlak bagi manusia agar menjaga kelestarian ekologi, di mana tindakan ini tentu menuai daya guna di masa depan. Apalagi diperkuat oleh firman-firman Tuhan untuk selayaknya dijadikan alasan agar manusia bersikap bijaksana pada lingkungan. Dengan kata lain, melalui peran besar dari ayat-ayat inilah yang sepantasnya mampu menyadarkan manusia tentang manifestasi mengelola ekologi sesuai anjuran-Nya.
https://alif.id/read/mfa/jaga-bumi-jaga-lingkungan-pesan-ekologi-dari-langit-b240526p/