Read Time:3 Minute, 23 Second
Oleh Masyhari, Dosen IAI Cirebon
Seorang guru, tidak seharusnya hanya fokus terhadap aspek kognitif peserta didiknya. Semestinya guru juga melihat dan mempertimbangkan faktor psikomotorik, dan utamanya aspek afektif peserta didik. Ketiga aspek ini adalah rukun pendidikan yang harus sama-sama diperhatikan. Konsep ini dikenal dengan Taksonomi Bloom yang pertama kali diperkenalkan oleh Benjamin Bloom dan kawan-kawannyalah pada 1956.
Inilah mengapa penulis termasuk sederetan orang yang getol menolak UN sebagai penentu utama kelulusan siswa. Tiada lain karena UN hanya bisa mengkafer satu aspek saja, yaitu kognitif. JK selaku Wapres saat itu yang paling keukeuh dengan UN. Katanya, tanpa UN, kita akan tertinggal oleh dunia Internasional. UN adalah instrumen standarisasi nasional pendidikan, katanya. “Tanpa UN, mau dibawa ke mana pendidikan kita?” lanjutnya.
Kini, setelah sejumlah penolakan tidak digubris oleh pemerintah, UN langsung sirna dihantam oleh Corona. Mau ketawa takut dosa. Tapi inilah bagian dari hikmah musibah.
Lantas bagaimana nasib ketiga aspek pendidikan tersebut di tengah Corona? Saya lihat, banyak guru yang kebingungan. Yang dilakukan tampaknya tidak ada lagi selain tugas. Parahnya, tugas yang ada masih terpaku pada satu aspek saja yaitu kognitif alias akademik. Tugas membaca dan mengerjakan soal latihan di BAJJ dan Buku LKS Tematik.
Aspek psikomotorik dan kognitif terlupakan atau diabaikan. Bisa jadi karena bingung bagaimana teknisnya, karena situasi yang serba mendadak. Apalagi, guru-guru yang ada saat ini memang disiapkan untuk mengajar secara tatap muka. Sehingga yang terjadi adalah mereka tidak siap atau gagap saat menghadapi situasi mengajar serba online.
Tapi, sebenarnya itu bukan penghalang. Segala hal bisa dikejar sambil jalan. Toh, Kemendiknas, dalam hal ini Mas Menteri Nadiem Makariem berkali-kali menegaskan: konsep merdeka belajar. Via webinar di kanal Youtube resmi, kebijakan-kebijakan disosialisasikan.
Tapi nyatanya masih saja begitu. Banyak guru yang kudet. Bisa saja ini karena lemahnya koordinasi dan kurangnya informasi yang diperoleh guru terkait kebijakan dari pusat. Padahal, informasi terbuka secara luas dan tak terbatas.
Lantas, mungkinkah pembelajaran online dengan tanpa mengesampingkan sisi afektif dan psikomotorik? Jawabnya, sangat mungkin.
Pertanyaannya sekarang: mau atau tidak? Guru kan harus inovatif, mudah beradaptasi dengan tuntutan jaman. Informasi secara online sangat mudah diperoleh dengan hanya modal smartphone di tangan dan sedikit kuota yang kini sudah disediakan oleh pemangku kebijakan. Ya, tinggal mau belajar atau tidak. Mau berinovasi atau tidak. Jangan malah tidak sabar, menuntut tatap muka di sekolah di tengah kondisi yang belum kondusif seperti ini.
Pagi tadi penulis pergi ke sekolah anak, mengantar BAJJ yang sudah dikerjakan anak di rumah, sekaligus mengambil buku tema yang baru. Saya minta sedikit waktu untuk ngobrol dengan guru kelas.
Saya bilang, agar anak tidak melulu diberi tugas akademik yang hanya fokus pada aspek kognitif. Ya, kalau bisa tugas-tugas itu jangan terlalu banyak, dikurangi sedikit. Memang, sedikit atau banyak itu relatif bagi setiap siswa dan orang tua.
Tapi, tidak semua ortu selalu siap menemani anak belajar di rumah setiap hari. Sebagian ada yang masih harus tetap bekerja di luar rumah. Selain itu, tidak semua orang tua, utamanya emak-emak, menguasai bidang pelajaran anak. Sehingga ini patut dipertimbangkan agar tidak terlalu banyak beban. Sudah income minim, bisnis dan usaha jatuh karena Corona, ditambah beban mengerjakan tugas anak yang bikin pusing.
Guru semestinya memperhatikan aspek afektif (sikap) dan psikomotorik anak, meskipun kondisi belajar secara online.
Kami sendiri menitipkan pendidikan anak di sekolah tidak terlalu berharap agar anak menjadi pintar di bidang akademik. Penulis tidak pusing kalau anak dapat peringkat satu dari akhir. Asalkan anak masih mau belajar dan suka membaca. Kalau tidak tahu sekarang, semoga ke depan akan tahu dengan sendirinya.
“Yang kami pusingkan sebagai orang tua adalah jika anak bersikap tidak baik, egois, tidak jujur, tidak bertanggung jawab, kasar, cuek, dan lain sebagainya. Ya, bukannya hendak mengajari Ibu guru, tapi sekadar sharing.
Teknisnya, ibu bisa memberi tugas kepada anak untuk melakukan tugas yang berkaitan dengan aspek afektif dan psikomotorik. Kami siap menyampaikan dan memantau anak kami. Misalnya, guru memberi contoh buku kontrol sikap anak di rumah seperti: berkata jujur, tanggung jawab, berbagi, membantu orang tua, peduli lingkungan, dsb.” Begitu yang penulis katakan kepada Si Ibu Guru. “Tapi, kita dikejar target kurikulum, Pak. Sebentar lagi mau UTS.” Balas guru itu. Hemmm. ***