Laduni.ID, Jakarta – Wakil Katib Syuriah PWNU DKI Jakarta masa khidmat 2016-2021, Kyai Taufik Damas mengingatkan kepada siapapun untuk tidak sembarangan memilih mursyid (guru), terutama bagi mereka yang ingin mendalami spiritualitas.
Di twitter pribadinya, @TaufikDamas, menjelaskan mengenai kriteria dalam memilih seorang mursyid. Penjelasannya itu menjawab pertanyaan seorang netizen yang menyampaikan pesan pribadi (direct massage/DM) kepada dirinya. “Ada yang DM nanya: orang dengan model seperti apakah yang pantas dijadikan guru spiritual?” tulis Kyai Taufik memulai rangkaian penjelasan (utasan) di twitternya, Sabtu, 22 Mei 2021.
Kriteria seseorang layak atau pantas dijadikan guru spiritual, menurut Kyai Taufik itu sedikitnya ada dua pertanda. Pertama, ia harus alim. “Alim di sini dapat dibuktikan melalui karya tulis (buku atau dalam bentuk apa pun). Tokoh-tokoh besar dalam tasawuf Ahlussunnah wal Jamaah adalah orang-orang yang telah berhasil melahirkan berbagai karya ilmiah di berbagai bidang. Sebut saja misalnya Sulthonul Awliya’ Abdul Qadir al-Jailani, Abu Hasan Asy-Syadzili, Imam Al-Ghazali dan lain-lain. Hal ini penting ditegaskan agar orang tidak mudah masuk dalam kubang “ketertipuan spiritual” yang cukup merebak akhir-akhir ini,” ulas Kyai Taufik.
Ia menuturkan, di kota besar seperti Jakarta tidak sedikit kelompok spiritualis dengan tokoh sentral yang dianggap sebagai guru spiritual. Tapi, tokoh-tokoh sentral tersebut tidak pernah diketahui rekam jejaknya dalam intelektualitas, apa lagi dalam spiritualitas. Mereka hanya mampu menyampaikan racikan spiritualitas instan secara oral dan tidak dapat menjelaskannya secara tertulis (ilmiah).
Ia melanjutkan, seorang mursyid harus memiliki akhlak mulia dan pengalaman spiritual yang sudah mendarah daging berkat riyadhoh-nya. Pengalaman spiritual tersebut memancar menjadi akhlak seperti sabar, syukur, tawakkal, yakin, pemurah, qanaah (tidak serakah), pengasih, tawadhu, shiddiq, pemalu (haya’), wafa’ (selalu menepati janji), dan wiqor (tenang). Akhlak ini sering disebut sebagai maqom-maqom (atau ahwal) dalam tradisi kesufian. Maqom-maqom tersebut bukan hanya ujaran teoritis, melainkan temuan intelektual-spiritual yang dalam dan panjang.
“Nah, seorang mursyid yang sudah mencapai maqom-maqom tersebut akan mampu membimbing muridnya untuk sampai pada maqom-maqom tersebut. Pengalaman spiritual tersebut memancar menjadi akhlak seperti sabar, syukur, tawakkal, yakin, pemurah, qanaah (tidak serakah), pengasih, tawadhu, shiddiq, pemalu (haya’), wafa’ (selalu menepati janji), dan wiqor (tenang). Akhlak ini sering disebut sebagai maqom-maqom (atau ahwal) dalam tradisi kesufian. Maqom-maqom tersebut bukan hanya ujaran teoritis, melainkan temuan intelektual-spiritual yang dalam dan panjang,” terang pria alumnus Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.
Bila seorang mursyid itu telah mencapai maqom-maqom tersebut, dirinya akan mampu membimbing muridnya untuk sampai pada maqom-maqom tersebut. Ibarat seorang pemandu wisata, ia mampu menjelaskan seluk-beluk lahiriah dan seluk-beluk batiniah yang dalam hingga para murid tidak kesasar. Ia sudah lebih dahulu mengetahui dan mengalami apa yang ia katakan. Itu sebabnya, dalam tariqat, seorang murid harus ber-baiat (janji setia) untuk siap menjalankan semua perintah mursyidnya dalam mencapai maqom-maqom tersebut.
“Penjelasan ini dapat ditelusuri dalam kitab Khazinatul Asrar Jalilatul Adzkar karya Muhammad Sayyid Haqqi An-Nazili, halaman 192. Dua tanda tersebut sudah cukup dijadikan standar untuk mengetahui bahwa seseorang sudah memenuhi syarat untuk menjadi mursyid/muqaddam,” sambung Kyai Taufik.
Menurutnya, dua kriteria itu dapat menjadi petunjuk bagi siapapun yang ingin mencari seorang guru spiritualitas serta tidak tertipu oleh “kepalsuan”, “citra diri” yang terlihat dari penampilan lahiriah semata.
“Paling tidak bisa dijadikan acuan agar kita tdk mudah tertipu dengan tawaran spiritualitas palsu yang dijajakan oleh orang-orang yang tidak jelas rekam jejak intelektual dan spiritual-nya. Apa lagi yang hanya mengandalkan pakaian (tampilan lahiriah) dalam upaya glorifikasi diri,” harapnya.
Sebagai penutup utasannya, Kyai Taufik mengutip syair yang masyhur dari Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani yang terdapat dalam kitab Futuhul Ghaib: “Jika takdir membantumu atau waktu menuntunmu kepada syeikh yang jujur dan ahli hakikat maka bergurulah dengan rela dan ikutilah kehendaknya Tinggalkan apa yang sebelumnya kau lakukan sebab menentang berarti melawan.”
“Dalam kisah Khidir yang mulia terdapat pelajaran. Dengan membunuh seorang anak dan Musa mendebatnya. Tatkala cahaya subuh telah menyingkap kegelapan malam. Dan seseorang dapat menghunus pedangnya, Maka Musa pun meminta maaf. Demikian keindahan di dalam ilmu kaum sufi,” tutupnya. (Editor: Ali Ramadhan)