Perkembangan dan perubahan zaman tidak akan pernah berhenti, apalagi kembali ke masa lalu. Perubahan zaman akan terus berjalan sampai hari kiamat tiba. Akibatnya, semua tatanan kehidupan manusia juga pasti berubah mengikuti perkembangan zamannya, tidak terkecuali hukum Islam.
Hukum Islam yang notabenya ‘pedoman’ bagi kehidupan manusia khususnya seorang muslim, harus selalu relevan bagi umat islam, dan hal itu menuntut hukum islam harus selalu ‘direfresh’ atau istilahnya di ijtihadi sesuai kondisi masyarakatnya. Dan pendekatan yang dipakai dalam mengkaji hukum Islam selain dari dalil naqli (al-Qur’an dan hadits), tetapi juga memakai dalil ‘aqli, seperti qiyas, istihsan, dan lain-lain. Dan penggalian dengan naqli yang kadang sering terlupakan dalam penggaliannya, yang mengakibatkan seakan-akan banyak persoalan yang tidak ada dalilnya atau tidak ditemukan dalilnya.
Pertanyaannya adalah: apakah memang benar tidak ada dalilnya atau kita saja yang belum tahu dalilnya?
Hukum Islam selalu relevan
Hukum Islam memiliki karakter dinamis dan fleksibel. Karakter inilah yang mengindikasikan kemampuan hukum Islam merespon dan menjawab setiap permasalahan yang baru muncul yang hukumnya tidak terdapat dalam al-Quran dan hadits. Dengan metode ijtihad, para ahli fikih dan cedikiawan Muslim dari berbagai disiplin ilmu berkumpul dan membahas permasalahan umat yang tidak ditemukan hukumnya dalam al-Quran dan hadits. Mereka mengunakan segala daya upaya untuk menghasilkan hukum baru dan merekontruksi hukum yang pernah dihasilkan ulama sebelumnya untuk disesuaikan dengan kondisi zaman.
Elastisitas dan fleksibilitas hukum Islam dalam praktik menunjukkan bahwa hukum Islam bisa beradaptasi dengan perubahan sosial. Tanpa adanya upaya pembaharuan dan perubahan hukum Islam, maka akan kesulitan dalam menerapkannya. Di era global seperti sekarang ini, perubahan perilaku sosial masyarakat cepat sekali terjadi sehingga perlu adanya satu tatanan hukum Islam yang mengatur perilaku sosial di masyarakat sesuai dengan tuntutannya. Maka, para ulama harus merespon untuk membuat rumusan hukum Islam sesuai kondisi sosial masyarakat.
Hukum Islam yang bersifat dinamis ini akan selalu relevan dengan tuntutan zaman kapanpun dan dimanapun, seperti kaidah yang berbunyi:
لاينكر تغير الاحكام بتغير الازمنة والامكنة
“ Tidak diingkari bahwa perubahan hukum disebabkan oleh perubahan zaman dan tempat “
Atau kita bisa menemukan pendapat yang serupa seperti menurut Ibnu Qoyyim Al Jauzi yaitu “Sesungguhnya fatwa bisa berubah dan berbeda karena perbedaan atau perubahan waktu, tempat, keadaan atau kondisi dan adat istiadat “
Perubahan hukum ini bukan tanpa sebab tetapi memang tuntutan zaman dari kondisi masyarakat yang berbeda, adat istiadat yang berbeda, dan lain-lain.
Menurut Wahbah al-Zuhaily, ada beberapa faktor yang menyebabkan hukum bisa berubah karena perubahan tempat, waktu dan keadaan. Faktor tersebut adalah: (1) perubahan ‘urf (adat kebiasaan), (2) perubahan mashlahah umat, (3) untuk menjaga dharurah (keniscayaan), (4) kerusakan akhlak umat manusia dan lemahnya pemahaman agama, (5) perubahan tatanan sosial masyarakat.
Pada kondisi tersebut, maka hukum Islam harus berubah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan serta untuk menciptakan kebaikan dan kebenaran.
Mempertanyakan “mana dalilnya”
Di era sekarang ini banyak orang yang salah kaprah dalam memahami hukum Islam terutama masalah sumber-sumber hukum (mashadir al-Ahkam ) dan dalil – dalil hukum (al-Adillah Asy Syar’iyyah). Syeikh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya “Ushul Al Fiqh Al Islamy” yang dikutip oleh Prof. H. Nadirsyah Hosen, Ph.D atau yang akrab dipanggil Gus Nadir dalam bukunya “ Ngaji Fikih” menyebutkan beberapa salah kaprah saat bertanya mana dalilnya antara lain :
Kesalahan Pertama adalah menganggap dalil itu hanya Al Qur’an dan hadis padahal banyak sumber-sumber hukum (Mashadir al-Ahkam) lainya ada ijma’, qiyas, maslahah mursalah, istihsan, istihsab, qoul as shohabi, dan ‘urf. Beliau mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Muadz bin Jabal bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika akan mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman beliau bersabda: “Bagaimana engkau memberikan keputusan apabila ada sebuah peradilan yang dihadapkan kepadamu?” Mu’adz menjawab, “Saya akan memutuskan menggunakan kitab Allah.” Beliau bersabda: “Seandainya engkau tidak mendapatkan dalam kitab Allah?” Mu’adz menjawab, “Saya akan kembali kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Beliau bersabda lagi: “Seandainya engkau tidak mendapatkan dalam Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta dalam kitab Allah?” Mu’adz menjawab, “Saya akan berijtihad menggunakan pendapat saya, dan saya tidak akan mengurangi.” Dan Rosululloh menyetujui dan memuji jawaban itu. Ini menunjukan bahwa ketika ada suatu persoalan tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan hadis ada cara lain yaitu berijtihad.
Kesalahan yang kedua adalah cepat-cepat menolak suatu perkara karena tidak ada dalam al-Qur’an dan hadis. Dan kesalahan ini juga banyak terjadi sekarang karena tidak ada dalam al-Qur’an atau nabi tidak melakukannya langsung ditolak, tanpa dikaji ulang terlebih dahulu, padahal para sahabat nabi seperti Umar bin Khattab ketika ada persoalan yang seperti ini tidak langsung menghukumi tetapi berdiskusi dan bertukar pendapat dengan para sahabatnya cari jalan keluarnya atau solusinya tidak malah menuduh bid’ah. Kerena qoidah mengatakan :
تَرْكُ الشَّىْءِ لاَ يَدُلُّ عَلَى مَنْعِهِ
“Tidak melakukan sesuatu tidak menunjukkan bahwa sesuatu tersebut terlarang”.
At-tark yang dimaksud adalah ketika Nabi tidak melakukan sesuatu atau salaf tidak melakukan sesuatu, tanpa ada hadits atau atsar lain yang melarang (untuk melakukan) sesuatu (yang ditinggalkan) tersebut yang menunjukkan keharaman atau kemakruhannya. Jadi at-tark saja tidak menunjukkan keharaman sesuatu.
Kesalahan yang ketiga adalah menolak menghukumi suatu perkara berdasarkan akal. Seakan akan akal itu hal buruk. Padahal banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk mendayagunakan akal kita dengan maksimal. Karena menurut beliau dalil itu ada dalil naqli dan aqli. Contoh dalil aqli ada qiyas (analogi), maslahah mursalah, dan lain-lain. Yang pendekatanya sudah pasti dengan akal, dan dalil naqli seperti al-Qur’an dan hadits saja tidak dapat dipahami kecuali dengan akal dan perenungan. Dengan demikian sangat keliru ketika seorang menolak suatu perkara tanpa akal dan sesungguhnya dalil yang aqli seperti qiyas itu juga masih dalam petunjuk al-Qur’an tidak menggunakan akal-akalan belaka tetapi dengan menggunakan metode yang sudah jelas aturan mainnya.
Kesalahan terakhir adalah sering kali menganggap kalau sudah ada dalilnya kemudian tidak akan lagi ada perbedaan pendapat. Contoh yang Gus Nadir berikan adalah ayat al-Qur’an yang memerintahkan kita mengusap kepala saat wudhu ( wamsahu bi ru’usikum ). Timbul pertanyaan, seberapa banyak yang kita basuh? Apakah semuanya? Atau sebagian saja?.
Ayat Al Qur’an tidak menjelaskan dengan pasti batasan mengusap wajah maka para ulama menganalisis masalah ini. Ditemukanlah huruf “bi“ pada ayat tersebut. Ada yang mengartikan sebagian ada juga yang mengartikan keseluruan. Akibatnya meski dari dalil yang sama memberikan kesimpulan yang berbeda beda. Madzhab Syafi’i dan Hanafi mengatakan cukup sebagian kepala saja yang dibasuh. Sementara madzhab Maliki dan Hambali mengatakan harus seluruhnya. Perbedaan pendapat bukan karena tidak ada dalilnya, ada dalilnya tetapi kesimpulan yang bisa jadi berbeda beda.
Dengan demikian sebelum kita bertanya “mana dalilnya?” atau “ini tidak ada dalilnya!” meski kita pahami empat point tersebut yaitu :
- Dalil tidak hanya al qur’an dan hadis
- Kalau tidak ada dalam al qur’an dan hadis gunakanlah ijtihad
- Akal juga bisa diguanakan untuk dalil
- Berbeda pendapat para ulama bukan karena tidak ada dalil, ada dalilnya hanya kesimpulanya yang berbeda.
https://alif.id/read/amb/jawaban-ketika-ditanya-mana-dalilnya-b240575p/