Bahasa Arab yang kita kenal sekarang sebagai bahasa al-Qur’an merupakan puncak dari kefasihan dan kematangan bahasa. Kematangan bahasa ini tentu tidak terbentuk secara tiba-tiba, tetapi melalui berbagai proses panjang berabad-abad lamanya, seolah bahasa ini memang sejak awal ditakdirkan agar kelak menjadi bahasa peradaban penting sekaligus bahasa kitab suci paling agung.
Hanya saja, menurut Jurji Zaidan, tak ada satu pun sejarawan atau linguis yang mampu melacak secara detail bagaimana proses terbentuknya bahasa Arab, hingga menjadi bahasa yang kita kenal sekarang dengan segala kefasihan dan kematangannya. Hal ini disebabkan karena minimnya peninggalan sejarah pra-Islam yang bisa dijadikan rujukan untuk membangun konstruksi dasar yang mapan bagi historiografi bahasa Arab secara memadai.
Para sejarawan umumnya membagi sejarah bahasa dan sastra Arab ke dalam dua periode, periode pertama adalah al-jahiliyyah al-ula (periode Jahiliyah pertama). Periode ini dihitung dari dua abad pra-Islam hingga membentang ke periode paling awal sejarah manusia. Ada yang menyebut hingga ke masa Nabi Adam, ada yang menyebut sampai masa Nabi Nuh, ada juga yang mengatakan sampai ke masa Hamurabi.
Ada sebagian peneliti yang meyakini bangsa Hamurabi merupakan nenek moyang bangsa Arab, seperti yang disebutkan oleh Muhammad Kurd Ali dalam bukunya, al-‘Arab Qabla al-Islam. Hamurabi sendiri adalah raja keenam dari Kekaisaran Babilonia pertama yang berkuasa kurang lebih selama 42 tahun dari 1792-1750 SM. Meski sebenarnya tak ada data-data valid yang bisa diandalkan untuk memastikan periode kekuasaan Hamurabi dan Kekaisaran Babilonia pertama (Wolfensohn 1929, 26–27).
Kalaupun benar bangsa Hamurabi adalah leluhur bangsa Arab, tetapi mereka tidaklah mewariskan peradaban mereka yang gemilang pada bangsa Arab 2000 tahun kemudian. Bangsa Hamurabi pada zamannya sudah bertamadun dan mengenal konsep dan tata kelola perkotaan, serta mampu melahirkan hukum Hamurabi (Code of Hammurabi) yang menjadi salah satu warisan terbesar mereka bagi peradaban manusia setelahnya.
Sedangkan bangsa Arab pra-Islam hidup dengan tradisi yang jauh berkebalikan dari bangsa Hamurabi, yaitu hidup secara nomaden dan nyaris tak mengenal konsep menetap dalam apa yang kita sebut sebagai rumah atau tempat tinggal. Bahasa yang digunakan oleh bangsa Hamurabi juga lebih mirip dengan bahasa Asyuriyah dari pada bahasa Arab al-Qur’an yang kita kenal saat ini (Shalahuddin 2017, 95–96).
Periode kedua adalah 150-200 tahun pra-Islam, atau yang disebut dengan al-jahiliyyah al-tsaniyah (periode Jahiliyah kedua). Periode kedua ini berbeda dari periode pertama, jejak-jejak kebudayaan bangsa Arab masih bisa dilacak dengan baik, terutama melalui khazanah syair-syair Arab klasik yang cukup melimpah. Setidaknya, bahasa yang kita kenal sekarang melalui berbagai khazanah klasik seperti puisi, pribahasa (amstal), ungkapan-ungkapan kebijaksanaan (hikam), orasi, (khithabah), prosa (natsar) dan lainnya berasal dari periode kedua ini. Pada periode 200 tahun pra-Islam inilah bahasa Arab dianggap sudah berada dalam fase kematangannya.
Bagi para peneliti bahasa dan sastra Arab, masa 150-200 tahun pra-Islam adalah periode yang sangat berharga. Karena seluruh objek kajian mereka di masa-masa awal proses kodifikasi bahasa Arab berasal dari periode ini. Rujukan-rujukan paling awal tentu saja adalah puisi-puisi Imrul Qais dan Muhalhil bin Rabi’ah. Dengan mengandalkan bahasa yang digunakan oleh kedua penyair besar pra-Islam ini, para peneliti bisa mengetahui karakteristik bahasa Arab beserta struktur dan metrum-metrumnya yang sangat mengesankan. Sementara dari sebelum periode ini, menurut Syauqi Dhaif, adalah periode yang majhul, tak diketahu alias tak terlacak.
Bangsa Arab periode al-jahiliyyah al-ula dan bangsa Arab periode al-jahiliyyah al-tsaniyah memiliki banyak perbedaan, dari segi bahasa, agama, tradisi dan peradaban (Zaidan 2013, 37). Perbedaan ini tentu saja alamiah karena bahasa manusia selalu berkembang sesuai dengan pengetahuan, kebudayaan dan peradaban para penuturnya. Bahkan Jurji Zaidan memberi perbandingan bagaimana perbedaan antara bahasa Arab di masa Imrul Qais dengan bahasa Arab yang kita kenal sekarang, dengan mengutip tulisan pada nisan sang penyair besar ini:
تي نفس مر القيس بن عمرو ملك العرب كله ذو أسر التاج.
Tulisan bahasa Arab dengan khat Nabath tersebut ditemukan di nisan Imrul Qais. Baru dua abad berikutnya muncul penjelasan dengan menggunakan bahasa Arab fasih yang bisa kita pahami:
هذا قبر امرئ القيس بن عمرو ملك العرب كلهم الذي تقلد التاج.
Artinya: Ini adalah nisan Imrul Qais bin ‘Amr, raja seluruh bangsa Arab yang bertatahkan mahkota.
Meskipun Imrul Qais hidup dalam periode al-jahiliyyah al-tsaniyah yang merefleksikan kematangan bahasa Arab, dan terpaut hanya 150-an tahun pra-Islam, namun pada kenyatannya keterpautan ini cukup membuktikan bagaimana perbedaan bahasa bisa terjadi dalam waktu yang tak begitu lama. Sehingga sangat wajar jika para peneliti dan para sarjana klasik tak bisa melakukan penelusuran lebih jauh untuk melacak akar-akar sejarah bahasa Arab dari periode al-jahiliyyah al-ula. Wallahua’lam.
https://alif.id/read/musyfiqur-rahman/jejak-kematangan-bahasa-arab-b247240p/