Jejak Sang Diplomat Cerdik Haji Agus Salim

Udara panas menambah suasana semakin panas di atas kapal USS Renville milik Amerika Serikat yang berlabuh di Tanjung Priok Jakarta, siang 8 Desember 1947. Kapal USS Renville lepas jangkar di perairan tersebut lantaran sedang berlangsung perundingan antara Indonesia dan Belanda untuk menuntaskan sengketa. Sengketa tersebut membuat kondisi dua negara saling memanas lantaran Belanda ingin kembali menguasai Indonesia pasca deklarasi kemerdekaan.

Di sela-sela perundingan di atas kapal USS Renville itu, dia merasa kehausan dan segera meminta air es. “Hampir saya jatuh pingsan ,” katanya kepada pelayan kapal seorang perempuan Amerika serikat. Pelayan menyahutnya, “kalau nanti tuan jatuh pingsan, tentu tuan akan saya peluk.” Agus Salim cepat membalas,” buat apa dipeluk kalau saya sudah pingsan” (Tempo, 2013:47).

Ketika saya hendak mencari buku untuk bahan bacaan di rak buku teman saya, saya menemukan majalah Tempo edisi kemerdekaan, agustus 2013. “Diplomat Jenaka Penompang Republik” , begitu kira-kira judulnya. Saya tertarik dengan judul majalah tersebut kemudian mencoba menjelajah isinya. Hingga menemukan sosok pahlawan yang kritis juga seorang diplomat cerdik.  Ia adalah  Haji agus Salim.

Iklan – Lanjutkan Membaca Di Bawah Ini

Melalui artikel, jurnal, buku-buku sejarah dan sumber lain kita banyak menemukan tokoh pejuang bangsa dari Sumatera. Sumatera memang banyak melahirkan tokoh pahlawan nasional diantaranya Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim dan lain-lain.

Baca juga:  Mbah Maimoen Zubair Melindungi Anggota PKI dan Memberi Zakat

Haji Agus Salim lahir 8 oktober 1884 di Koto Gadang, Sumatera Barat. Ia terlahir dari pasangan Sultan Mohammad Salim dan Siti Zaenab. Ayahnya merupakan seorang jaksa semasa pemerintahan kolonial Belanda.  Dengan jabatan ayahnya tersebut ia  dapat menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) dan Hoogere Burger School (HBS) di Batavia yang menurut kebiasaan hanya menerima anak-anak keturunan Eropa saja (Tanzil, H 1984:36). Meski demikian, Haji Agus Salim membuktikan diri dengan menjadi lulusan terbaik di seluruh Hindia Belanda mengalahkan pelajar Eropa.

Namun, ia ditolak pemerintah kolonial ketika mengajukan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di Nederland pada bidang kedokteran. Akibatnya ia memilih hijrah ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja sebagai konsultan Belanda (1906-1911).

Pria dengan ciri khas jenggot putih dan selalu memakai kopiah serta kacamata itu sangat religius. Hal itu lantaran ia pernah berguru pada Syech Ahmad Khatib Al Minangkabawi yang merupakan pamannya sendiri. Ia belajar sembari bekerja jadi penerjemah, mengurusi jemaah haji di Makkah lalu memanfaatkan kesempatan itu untuk mendalami ilmu agama Islam (Hartini: 1984:19).

Saat kembali ke tanah air ia lalu menjadi anggota Sarekat Islam (SI). Ia juga sempat menjadi anggota Mohammadiyah meski pada akhirnya lebih memilih aktif di Sarekat Islam. Ketika menjadi anggota Sarekat Islam Haji Agus Salim dipercaya sebagai penasihat HOS. Cokroaminoto, ketua umum Sarekat Islam kala itu.

Baca juga:  Gus Dur, Quraish Shihab, dan Sepak Bola

Nampaknya hubungan antara Haji Agus Salim dan HOS. Cokroaminoto terjalin baik. Namun, pada tahun 1920 mulai timbul perpecahan dalam tubuh Sarekat Islam. Sarekat pun pecah menjadi SI merah dan SI putih.

Puncaknya saat kongres SI tahun 1921 berlangsung muncul dua perbedaan pendapat mengenai ideologi yang dianut Sarekat Islam. Peristiwa ini dapat kita tengok lewat buku karangan Nasihin berjudul Sarekat Islam Mencari Ideologi 1924-1945 (Pustaka Pelajar, 2012).

SI pusat yang didukung oleh Cokroaminoto, Agus Salim, Moeis, dan Suryopranoto berpegang teguh pada ideologi awal berdirinya SI yaitu Islam. Hal itu ditentang dengan oleh SI merah bahwa ideologi yang dipakai adalah komunis.

Haji Agus Salim juga memiliki kiprah sebagai diplomat, diantaranya ketika perundingan Renville antara Indonesia –Belanda tahun 1947. Ia menjadi utusan delegasi Indonesia untuk menuntaskan konflik tersebut bersama Ali Sastroamidjojo, Dr. Tjoa Sik Len, Mohamad Roam, Narsum, dan Ir Juanda.

Pada tahun yang sama Haji Agus Salim yang menjabat sebagai menteri luar negeri (1946-1950) berkunjung ke Kairo, Mesir. Kunjungan tersebut bertujuan meminta dukungan diplomatik atas kemerdekaan RI. Hasilnya, Mesir mengakui kedaulatan RI yang kemudian diikuti negara-negara Timur Tengah lain seperti Lebanon, Suriah, Irak, Arab Saudi, dan Yaman.

Perjalan hidup memang tidak terlalu mulus, pasalnya pria yang mendapat julukan “The Grand Old Man” oleh bung Karno tersebut sempat dibuang oleh tentara Belanda pada tahun 1949 bersama Sukarno, Roem, dan Ali Sastroamidjojo. Ia diasingkan ke Bangka Belitung saat terjadi agresi militer Belanda. Pada tahun 1953 kecerdasan membawanya ke Amerika Serikat untuk menjadi dosen di Cornell University sekaligus juga mengajar agama Islam.

Baca juga:  Kisah-Kisah Istimewa Kiai Idris Marzuki Lirboyo

Selain itu, ia sempat menjadi redaktur Harian Neratja, Harian Hindia Baru, dan mendirikan surat kabar Fajar Asia. Kemudian, pada tahun 1952 Haji Agus Salim menjabat sebagai ketua Dewan Kehormatan PWI. Sebagai seorang jurnalis ia menulis beberapa buku diantaranya adalah Pesan-Pesan Islam Rangkaian Kuliah Musim Semi 1953 di Cornell University, Amerika (Penerbit Mizan, 2011), Keterangan Filsafat Tentang Tauhid, Takdir, dan Tawakal (1987), dan Ketuhanan Yang Maha Esa (1953).

Salim pernah berjanji menikahi seorang gadis muda bernama Zaitun Nahar selepas pulang dari Jeddah. Haji Agus Salim pun menepati janjinya, ia menikah pada 12 agustus 1912 di Koto Gadang. Pasangan itu hidup bahagia hingga akhir hayat.  Mereka dikaruniai 8 orang anak.

Haji Agus Salim tutup usia pada 4 November 1954. Sedangkan Istrinya  meninggal 20 tahun kemudian tepatnya pada 2 Desember 1977. Agus Salim telah berpulang namun jasa dan dedikasinya bagi bangsa Indonesia akan selalu dikenang. (MAAL)

https://alif.id/read/wbs/jejak-sang-diplomat-cerdik-haji-agus-salim-b238458p/