Jejak Tasawuf (2): Masa Pertumbuhan

Dalam sejarahnya, zuhud sebagai pola hidup juga mengalami masa pertumbuhan, perkembangan bahkan era kemunduran. Di masa pertumbuhannya, zuhud lahir dari gaya hidup Nabi yang kemudian diteladani oleh para sahabat belaiu. Lalu disusul era berikutnya, prilaku zuhud masih bertahan dan bahkan dijadikan sebagai corak khusus dalam sistem pendidikan Islam.

Terbukti pada abad pertama dan kedua Hijriyah, semakin hari ajaran zuhud kian mengalami perkembangan cukup pesat. Tidak sedikit pula masyarakat yang kemudian menerima, bahakan mengikuti gaya kehidupan ini. Hal ini dilihat dari banyaknya sekolah-sekolah yang beralirkan zuhud bermunculan.

Diantara sekolah-sekolah tersebut adalah

Sejak dalu, di Madinah telah muncul para zahid. Mereka kuat berpegang teguh pada ajaran al-Qur’an dan Sunnah. Mereka nenetapkan Rasulullah sebagai panutan kezuhudannya, terutama dalam hal menyedikitkan makan dan minum serta beramal untuk mengejar keselamatan dan kenikmatan akhiratnya. Hal itu berlangsung sampai pergantian masa khilafah (kepemimpinan) dari Madinah ke Tanah Damasykus (Syiria).

Diantara mereka dari kalangan sahabat adalah Abu ‘Ubaidah ibn al-Jarrah (w. 18 H), Abu dzar al-Ghifariy (w. 22 H), Salman al-Farisiy (w. 32 H). Sementara dari kalangan Thabi’in diantaranya adalah Sa’id ibn al-Musayyab (w. 91 H) dan Salim ibn Abdullah (w. 106 H). Aliran Madinah ini lebih cenderung pada corak pemikiran periode pertama keum muslimin (salaf), dan berpegang teguh terhadap kehidupan zuhud serta kerendahan hati Nabi saw. Selain itu, aliran ini tidak begitu terpengaruh oleh perubahan-perubahan sosial yang berlangsung pada masa Dinasti Umayyah.

Baca juga:  Ketika Nabi Dicurhati Masalah Ekonomi

Louis Massigon mengemukakan dalam karyanya Tashawwuf, dalam Ensiklopedi Islam bahwa pada abad pertama dan kedua Hijriyah, terdapat dua aliran zuhud yang menonjol. Satunya di Bashrah dan yang lainnya di Kufah. Menurut Massignon, orang-orang Arab yang tinggal di Bashrah berasal dari Bani Tamim. Corak mereka terkenal dengan sikapnya yang kritis dan tidak percaya, kecuali pada hal-hal yang riil (nyata).

Mereka pun terkenal menyukai hal-hal yang logis dalam nahwu, hal-hal yang nyata dalam puisi, dan kritis dengan hadits. Mereka adalah penganut aliran Ahlu As-Sunnah, tapi cenderung pada aliran Mu’tazilah dan Qodairyah. Tokoh mereka dalam zuhud adalah Hasan al-Bashriy (w. 110), dan Malik bin Dinar (w. 131 H).

Corak yang meninjol dari para zahid Bashrah ialah zuhud dengan pondasi sifat Khauf (takut), kesedihan hati, dan tafakur untuk ushul kepada Allah. Dalam hal ini Ibn Taimiyah berkata, “Para sufi pertama-tama muncul dari Bashrah. Yang pertama mendirikan duwairoh (rimah-rumah pedepokan keci) para sufi ialah sebagian teman Abdul Wahid ibn Zaid, salah seorang teman Hasan al-Bashri. Para sufi di Bahrah terkenal berlebih-lebihan dama hal zuhud, ibadah, rasa takut mereka, dan lain-lainnya lebih dari apa yang terjadi di kota-kita lain”. Menurut Ibn Taimiyah, ini terjadi karena persaingan anatara mereka dengan para zahid Kufah.

Menurut Massignon, aliran Kufah ini berasal dari Yaman. Aliran ini bercorak idealistis, dan lebih cenderung pada pemikiran filsafat barat yang berpegang pada pemikiran Yunani, dan menyukai hal-hal yang aneh dalam nahwu, hal-hal gambaran dalam puisi, dan harfiyah dalam hadits. Dalam aqidah meraka cenderung pada aliran Syi’ah dan Rajaiyyah. Ini tidak lah aneh sebab Syi’ah pertama kali muncul di Kufah.

Baca juga:  Riwayat Asmara (3): Mahar Berdarah dan Minuman Beracun untuk Sang Ayah

Para tokoh zahid Kufah pada abad pertma Hijjriah ialah ar-Rabi’ ibn Khuaitsim (w. 67 H) pada masa pemerintahan Mi’awiyah, Sa’id ibn Jubair (w. 95 H) beliau seorang Thabi’in, Thawus ibn Kisan (w. 106 H) beliau juga golongan Thabi’in, kemudian Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H), dan Sufyan ast-Tsauriy (w. 161 H).

Pada abad pertama dan kedua Hijriah terdapat satu aliran zuhud lain yang dilupakan oleh para orientalis, dan aliran ini tampaknya bercorak salafi seperti aliran Mandinah di atas. Aliran tersebut adalah aliran Messir. Sejak penaklukan Messir, sejumlah sahabat telah memasuki kawasan itu. Misalnya, ‘Amar ibn al-‘ash, Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash yang terkenal kezuhudannya, Zubair ibn Awwam, dan tokoh zuhud lainnya.

Dari banyaknya aliran zuhud di atas, dapat difahami bahwa ada keinginan dari umat islam -yang hatinya memang tidak terpengaruh oleh kehidupan yang mulai berubah pada kurun kedua ini-untuk mengembalikan nilai-nilai kesederhanaan pada masyarakat sekitar yang sudah mulai terkena penyakit cinta dunia. Upanya ini terbukti berhasil dengan munculnya aliran-aliran kezuhudan tersebut.

Dari doktrin abad pertama dan kedua ini, at-Tafrazaniy menyimpulkan bahwa, zuhud pada abad tersebut mempunyai beberapa karakteristik tersendiri. Pertama, kehidupan zuhud berdasarkan ide menjauhi hal-hal duniawi demi meraih pahala akhirat dan memelihara diri dari adzab neraka. Ide ini berakar dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan sunnah.

Baca juga:  Pertemuan Tasawuf dengan Filsafat

Kedua, zuhud pada abad itu bercorak praktis dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip-prinsip teoritis zuhud. Zuhud ini mengarah pada tujuan moral.

Ketiga adalah motivasi zuhud yakni rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh. Sementara itu, pada akhir abad II H, di tangan Rabi’ah al-‘Adawiyah muncul motivasi cinta kepada Allah yang dibersihkan dari rasa takut terhadap adzab dan berharap pada-Nya.

Keempat, menjelang akhir abad II H, pada sebagian zahid, khusunya di daerah Khurasan dan sufi perempuan Rabi’ah al-‘Adawiyah, ditandai dengan kedalaman menganalisa. Ini bisa dipandang sebagai fase pendahuluan tasawuf semi falsafi atau sebagai cikal bakal para sufi abad III dan IV H.

Maka dapat disimpulkan bahwa dalam perjalanan sejarahnya, mulai dari abad I dan II H, tasawuf mengalami perubahan yang luar biasa, yaitu dari kehidupan zuhud menuju tasawuf. Ini menurut pendapat sebagian sejarawan sekaligus mengindikasikan bahwa tasawuf memiliki kepedulian terhadap keinginan zaman. Ia senantiasa berjalan dan berperoses serta berubah bersama dengan denyut jantung kehidupan manusia.

At-Taftazani, Abu Nasr Al-Wafa Al-Ghanamiy, Madkhal ilat Tasawuf Al-Islam, H. 72-81.

https://alif.id/read/bus/jejak-tasawuf-2-masa-pertumbuhan-b239979p/