John Steinbeck, Sastra, dan Emansipasi Kesadaran

Dalam kaitannya dengan kebesaran karya sastra yang turut berjuang dalam pembangunan tatanan sistem bernegara, saya mencoba mengupas salah satu karya adihulung dari novelis Amerika Latin, John Steinbeck yang juga pernah meraih nobel kesusastraan dunia (1962). Karya-karyanya terbilang fasih menuturkan pemberontakan terhadap kaum kapitalis, dengan menampilkan loyalitas pahlawan dari kalangan rakyat jelata yang menjadi korban langsung dari iklim kapitalisme. Di antara tokoh-tokoh unik yang ditampilkannya adalah kaum pengangguran, gelandangan, pelacur, pencopet, hingga bandit pemabuk yang sering disebut sebagai “sampah masyarakat”.

John Steinbeck tidak menampilkan tokoh-tokohnya dalam anggapan masyarakat umum yang sering menilainya secara hitam-putih belaka. Kritikus sastra terkemuka, F.W. Watt pernah menyebut bahwa “Dataran Tortilla” (Tortilla Flat), sebagai salah satu karya Steinbeck memang secara jujur menggambarkan realitas kehidupan orang Amerika itu sendiri. Dataran Tortilla mengungkap kehidupan rakyat jelata blasteran Indian, serta macam-macam keturunan darah marginal, para pengangguran yang pemalas dengan sisi-sisi gelap yang amoral, namun tidak sedikit juga yang berjiwa solider, setiakawan, bahkan rela merampok dan mencuri dari orang-orang borjuis untuk membantu para fakir miskin yang serba kekurangan.

Salah satu pengecualian pada tokoh Danny, pengangguran yang tiba-tiba kaya mendadak karena mendapat warisan rumah mewah. Penokohan ini bisa dibandingkan dengan Pak Majid dalam novel Perasaan Orang Banten, yang sewaktu mudanya gandrung pada organisasi politik berhaluan kiri. Tetapi ketika masuk dalam jaring-jaring kapitalisme, dia pun tidak tahan untuk hidup bergelimang harta dan wanita yang kelak membuatnya terperangkap ke jurang yang mempersulit geraknya untuk menjadi manusia bermartabat. Sedangkan tokoh Danny (Tortilla Flat) pada akhirnya tidak tahan dan menolak paradigma hidup dalam genangan kapitalisme, hingga ia merindukan kawan-kawan senasib dan ingin pulang kembali ke dunia lamanya.

Baca juga:  HTI versus NU: Lalu Lainnya Melakukan Apa?

Dalam penggambaran novel lain yang berjudul “Cannery Row”, Steinbeck melihat suatu paradoks dalam masyarakat modern yang mengalami krisis. Meskipun masih menghargai adanya sifat baik pada orang-orang sukses dan kaya-raya. Ia hanya menggugat kaum borjuis yang hidupnya serba glamor, enak-enakan, adem-ayem, bahkan sibuk mengoleksi barang-barang antik yang harganya mencapai milyaran. Dalam gugatannya itu, Steinbeck bersuara lantang, “Jangan-jangan mereka yang kita sebut sampah masyarakat, kaum gelandangan, pencuri dan pelacur itu justru lebih mulia dan lebih dekat di mata Tuhan, ketimbang para penguasa, kaum borjuasi, priyai maupun mubalig yang kelihatannya terhormat, namun dibayar dan disponsori oleh uang kapitalisme itu.”

Di sini mencuat lagi adanya kesenyawaan dengan karya peraih nobel sastra kelahiran Mesir, Najib Mahfudz (1988). Salah satu novelnya yang terkenal berjudul “Midaq Alley” (Gang Midaq) menggambarkan adanya pelacuran terselubung di perkampungan Mesir, yang secara implisit dia menunjuk ulah kaum politisi dan penguasa yang salah urus dalam penataan sistem bernegara.

Di sisi lain, Mahfudz pun menggugat tanggung jawab masyarakat agar bangkit dari ketidaksadarannya. Baginya, tak akan ada perubahan radikal apabila seluruh lapisan masyarakat (termasuk intelektual dan agamawan) tidak ada kemauan untuk merubah paradigma berpikirnya menuju rasionalitas dan religiusitas yang otentik.

Baca juga:  Kepongahan Masyarakat Jahiliyah Modern

Lalu, apakah karya-karya Steinbeck maupun Najib Mahfudz menganjurkan vandalisme ataupun makar terhadap pemimpin yang sedang berkuasa? Tentu saja tidak segampang itu disimpulkan seenaknya. Sebab, dunia sastra harus dipahami secara integral, harmonium, menyeluruh, bukan seperti dalil-dalil ilmiah yang disimpulkan secara hitam-putih. Dari kodratnya setiap karya sastra berkualitas mesti melibatkan wilayah imajinasi dan penggugahan cita-rasa maupun hatinurani yang mendalam.

Sastrawan lainnya, Heinrich Boell dalam novelnya, Serangan Pengepungan masih secara eksplisit menunjuk “itulah akibat dari sistem kapitalisme”. Tetapi, hebatnya Steinbeck dan Mahfudz tidak mau menunjuk langsung ke muka kapitalisme. Tak beda jauh dengan novel Perasaan Orang Banten, ia hanya melukiskan apa adanya tentang kehidupan sehari-hari orang-orang Banten, tanpa perlu menyebut nama dan istilah. Kemudian, pembaca berimajinasi bahwa apa-apa yang digambarkan itu mewakili zamannya dan dirinya sebagai warga Indonesia sekaligus warga dunia.

Sedangkan, kapitalisme yang tergambar dalam tipikal Doktor Faust (Wolfgang Goethe) mengidentikkan kesuksesan hidup dengan menjual jiwa-jiwa manusia pada Iblis Mefisto. Di sinilah tema antik mencuat dari karakter Steinbeck yang menggugat kredo United States (American Creed), bahwa suatu bangsa yang mendasarkan dirinya pada aktivitas ekonomi, politik dan budaya, sebagai simbol panglima peradaban dunia, tidak sepantasnya memberikan contoh buruk seakan-akan kesuksesan duniawi hanya diniscayakan dengan perwujudan monster-monster terselubung dalam bentuk dinas-dinas rahasia, CIA, NSA, Pentagon, Zionisme dan seterusnya.

Baca juga:  Pemetik Puisi (23): Pahit Kehilangan Mesra

Pada dasarnya di dunia hiper modern ini, tema-tema besar dari karya sastra adihulung Heinrich Boell, John Steinbeck, Goethe hingga Najib Mahfudz merupakan tambang-tambang inspirasi bagi bangsa yang sedang berkembang. Terutama bangsa-bangsa yang masih kaya sumber daya alam dan manusia, yang menjadi pelampiasan iri hati dari negeri-negeri industri maju yang semakin menyadari dirinya tengah terperangkap dalam belagerung (pengepungan). Dari suasana kota metropol yang diserang musuh-musuh tak kasatmata, tetapi faktual sudah nampak di muka pintu, bahkan sudah hadir di tengah-tengah kita semua. *

https://alif.id/read/muhamad-thorik/john-steinbeck-sastra-dan-emansipasi-kesadaran-b240807p/