Jokpin dan Agus Noor: Tentang Karya Sastra yang Lahir Saat Pandemi

Sastra dan kebudayaan berkelindan erat, setiap sastra selalu lahir dengan kebudayaan. Sastra yang berkebudayaan akan peka pada kondisi sosial, seperti fenomena yang terjadi sejak kurun 2019, kebudayaan di ‘Rumah Saja,’ turut melahirkan karya-karya bernafaskan pandemik.

Istilah kebudayaan cukup erat kaitannya dengan istilah peradaban. Dilihat dari segi bahasa peradaban berasal dari kata pradaban (dari akar kata adab, bahasa Arab). Tradisi barat, mengenal peradaban sebagai civilization (dari akar kata civis atau civitas) berarti warga negara, negara kota.

Gampangnya, secara etimologis kita mesti sepakat bahwa kebudayaan dan peradaban itu serupa alias bersinonim. Kedua hal itu sama memiliki arti seluruh kehidupan masyarakat atau manusia. Kendati demikian, dalam perkembangannya peradaban mendapat definisikan sebagai bentuk kebudayaan yang paling tinggi, acap kali disematkan pada teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, sistem tata negara, dan sebagainya.

Iklan – Lanjutkan Membaca Di Bawah Ini

Guna memperkuat pendapat tersebut, saya coba mengutip beberapa tokoh lintas zaman. Definisi paling tua sekaligus paling luas bagi saya datang dari pendapat E.B. Tylor yang dikemukakan dalam bukunya yang berjudul Primitive Culture (1871). Taylor berpendapat jika kebudayaan merupakan keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan lain.

Lalu saya berangkat pada definisi kebudayaan versi mutakhir, sekaligus dengan memberikan peranan terhadap masyarakat, diberikan oleh Marvin Harris (1999: 19), ia mengartikan bahwa kebudayaan itu seluruh aspek kehidupan manusia dalam masyarakat, yang diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku.

Sementara Koentjaraningrat, yang kita kenal sebagai budayawan sekaligus penulis luhung menyatakan jika kata kebudayaan berasal dari buddhayah (Sansekerta), sebagai bentuk jamak dari buddhi yang berarti akal.  Kita dapat menyimpulkan secara serampangan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan lain yang memberikan peranan terhadap masyarakat dengan berlandasan pada akal budi manusia.

Baca juga:  Sufi, Tafsir Mimpi, dan Imaginasi (2)

Selanjutnya secara singkat, sastra selalu lekat dalam pemikiran saya perkataan seorang dosen yang katanya berasal dari kata ‘shas’ dan ‘tra’ sama sama berasal dari bahasa sansekerta berarti teks yang mengandung pedoman, atau instruksi, atau ajaran berguna bagi manusia.

Istilah sastra dan kebudayaan akan lebih berdekatan jika dilihat dari wilayah kajian, yaitu aktivitas manusia, meski keduanya memiliki cara berbeda dalam mengungkap. Sastra melalui kemampuan imajinasi dan kreativitas, sebagai kemampuan emosionalitas, kebudayaan lebih banyak melalui kemampuan akal, sebagai kemampuan intelektualitas.

Kebudayaan mengolah alam melalui kemampuan akal, melalui teknologi, termasuk ekonomi dan politik, sedangkan sastra mengolah alam melalui kemampuan tulisan. Mengolah dalam sastra,  dalam hubungan ini diartikan sebagai membangun alam, membangun dunia baru, sebagai ‘dunia dalam kata’. Hasilnya adalah jenis-jenis karya sastra, seperti halnya: prosa, puisi, novel, cerita pendek, dan sebagainya. Alam baru yang dibangun oleh kebudayaan, misalnya: perumahan, pertanian, hutan, kawasan pariwisata, kawasan elite, dan sebagainya.

Objek kajian sastra dan kebudayaan sama sama manusia. Artinya keduanya berhubungan erat karena memiliki perhatian pada akal budi manusia. Jika sastra melalui kemampuan imajinasi dan kreativitas, sebagai kemampuan emosionalitas manusia,  kebudayaan lebih banyak melalui kemampuan akal, sebagai kemampuan intelektualitas manusia.

Pemikiran manusia artinya budaya mencakup ide, pengetahuan, gagasan, dan konsep tentang keadaan lingkungan manusia serta sifat peralatan yang digunakan. Sistem pengetahuan ini meliputi tumbuhan dan binatang, ruang dan waktu, perilaku dan sifat manusia, ruang pengetahuan tentang alam, dan pengetahuan yang lain.

Baca juga:  Guru Penggerak demi Siswa Berkompeten dan Berkarakter

Sikap dan perilaku manusia,  artinya budaya sebagai serangkaian kegiatan atau tindakan yang dilakukan oleh manusia di lingkungan sekitar. Hal tersebut terbentuk dalam suatu bentuk sistem sosial, yang menyebabkan manusia dapat saling berhubungan dan berinteraksi atau bekerjasama melakukan suatu kegiatan dengan manusia lainnya sesuai dengan adat istiadat dan kebiasaan masing-masing dan hasil karya manusia.

Kebudayaan memahami kehidupan manusia secara objektif dan empiris, objektif artinya kebenaran atau hasil dari kebudayaan bersifat pemahaman secara umum yang diperoleh dari hasil pengalaman, penemuan, atau perbuatan. Sementara, sastra itu subjektif karena hasil atau karya sastra berasal dari pemahaman sendiri atau tidak bersifat pemahaman umum yang diperoleh dari imajinasi (bersifat khayalan individu).

Pandemi Covid-19

Sastra, kebudayaan, dan kepekaan sosial membentuk satu kesemestaan utuh. Sastra dan kebudayaan sama sama memiliki objek yang berupa manusia, sementara dalam mengarang karya pengarang memang harus peka pada lingkungan sosialnya.  Ketiga sub bagian tersebut berada dalam kelompok kata yang memberikan perhatian pada aspek rohaniah, sebagai pencerahan akal budi manusia.

Pandemi covid-19 membuktikan jika ketiga hal itu dimunculkan secara bersamaan oleh beberapa pengarang (baca: penulis karya sastra). Kepekaan tersebut menelurkan karya yang sekaligus berfungsi sebagai pencerahan rohaniah dikala kondisi tidak menentu akibat gempuran pandemi covid-19.

Kita lalu mengingat beberapa nama pengarang dalam memori pandemi saat kelak telah menjadi kenangan. Karya sastra yang lahir saat budaya diam di rumah tersebab pandemi. Karya Agus Noor misalnya, ‘Kisah Kisah Kecil dan Ganjil Malan 1001 Pandemi’ (Diva Press, 2020) membawa pembaca pada ironi, miris, sekaligus hendak reflektif.

Baca juga:  Mengenal Tradisi Bahtsul Masail di Lingkungan NU

Tak mau ketinggalan Joko Pinurbo menulis kumpulan Puisi berjudul ‘Salah Piknik’ (Gramedia, 2021) dan ‘Sepotong Hati di Angkringan’ (Diva Press, 2021) . Salah piknik banyak menulis fakta lockdown di Yogyakarta. Pada suatu malam yang nyaman/kau menemukan sepotong hati yang lezat/dalam sebungkus nasi kucing// Kau mengira itu hati ibumu atau hati kekasihmu/ Namun, bisa saja itu hati orang yang pernah kau sakiti/atau menyakitimu// Angkringan adalah nama/sebuah sunyi, tempat kau melerai hati/lebih-lebih saat hatimu disakiti sepi.

Puisi berisi kesepian seorang penulis saat melihat Angkringan tempat biasa bercengkrama di Yogyakarta kosong melontong. Jokpin membuat kita sadar kehangatan percakapan bersama sebungkus nasi kucing telah lama pergi semenjak pandemi bertandang.

Selain kedua pengarang yang tersebut tentu masih lebih banyak di luar sana. Hasil karya pengarang berarti hasil karya seorang manusia sekaligus merupakan karya yang dihasilkan oleh kegiatan serta aktivitas manusia, baik berupa fisik atau pun benda.

Hal tersebut disebabkan oleh adanya ide atau gagasan yang diterapkan dalam aktivitas manusia agar dapat dilihat, diabadikan dan diamati secara langsung dan nyata. Karena sejatinya kebudayaan, sastra, dan kepekaan sosial selalu berpadu padan. Jika peradaban tengah sakit, sastra jadi obat dengan baluran kepekaan sosial.

https://alif.id/read/maal/jokpin-dan-agus-noor-tentang-karya-sastra-yang-lahir-saat-pandemi-b238359p/