JPPRA: Kasus Kekerasan dan Kekerasan Seksual Coreng Citra Pesantren

Jakarta, NU Online

Kasus kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan, termasuk di pondok pesantren masih menjadi momok dan perhatian banyak pihak. Seperti Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA) yang menegaskan bahwa kasus kekerasan seksual maupun kekerasan fisik yang terjadi di pesantren cukup mencoreng citra pondok pesantren. JPPRA yang dideklarasikan pada 2023 merupakan respons atas maraknya kekerasan yang terjadi di sejumlah pondok pesantren.

“Fenomena kekerasan, termasuk kekerasan seksual, telah mencoreng citra pesantren yang sebenarnya memiliki peran besar dalam membentuk generasi muda yang berbudi pekerti luhur,” ujar Ketua Tim Inisiasi JPPRA KH Sobih Adnan kepada NU Online, Ahad (20/10/2024).

Gus Sobih, sapaan akrabnya, menyampaikan Kementerian Agama (Kemenag) sudah memiliki pedoman pesantren ramah anak. Tetapi tantangannya menerjemahkan pedoman tersebut ke lingkungan pesantren yang memiliki karakteristik dan budaya unik yang juga beragam. Menurutnya, pesantren ramah anak harus dimulai dari pimpinan pesantrennya.

“Penerapan konsep ramah anak harus dimulai dari komitmen pimpinan pesantren untuk melindungi santri dari segala bentuk kekerasan, terlebih lagi pelecehan seksual. Pesantren harus mengadopsi kebijakan yang jelas dan transparan mengenai perlindungan anak, mulai dari sosialisasi aturan, pelatihan bagi pengasuh, pengurus, dan pengajar, hingga pembentukan mekanisme pelaporan yang aman dan rahasia dengan harapan santri dapat melapor tanpa rasa ketakutan,” ungkapnya.

Ia menambahkan JPPRA rutin melakukan sosialisasi kepada pesantren-pesantren untuk memastikan mereka memahami dan menjalankan pedoman, tidak hanya dari Kemenag, tetapi juga dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) maupun modul-modul internal yang dihasilkan dari sejumlah diskusi, riset, maupun Focus Group Discussion (FGD) yang dirumuskan JPPRA.

“Kami juga terlibat dalam pelatihan langsung yang memberikan panduan teknis bagaimana menciptakan lingkungan yang ramah anak, mulai dari aspek fisik, psikologis, hingga sosial,” ujarnya.

Gus Sobih menjelaskan berdasarkan data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPPA) Kemen PPPA pada 14 Oktober 2024, tercatat 19.813 kasus kekerasan telah menyasar anak-anak di sepanjang 2024. Mirisnya, sebanyak 1.117 kasus dengan 1.447 korban anak justru terjadi di lembaga pendidikan, termasuk lembaga-lembaga yang mengategorikan diri sebagai pondok pesantren.

“Untuk mengatasi ini, JPPRA berupaya keras membangun kesadaran di kalangan pesantren bahwa transparansi dan keterbukaan dalam menangani kasus kekerasan adalah langkah penting untuk melindungi santri dan memperbaiki citra pesantren di mata masyarakat,” ungkapnya

Ia juga mendorong pihak pesantren membentuk mekanisme pelaporan yang aman dan melibatkan pihak eksternal, seperti lembaga perlindungan anak atau pihak berwajib, guna memastikan setiap kasus dapat diproses secara adil.

https://www.nu.or.id/nasional/jppra-kasus-kekerasan-dan-kekerasan-seksual-coreng-citra-pesantren-a1FN2