Bertahun-tahun lalu, saya menemani sarapan Syaikh Fazal Ghani Kakar, seorang tokoh ulama Afghanistan yang menjadi pentolan Nahdlatul Ulama Afghanistan (NUA). Dengan bahasa Inggris ringkas dan sesekali bahasa Arab, kami berbincang tentang kondisi negeri itu, juga tentang Kabul, dan masa depan Afghanistan.
Dari Syaikh Kakar, saya mendapat sejumput informasi tentang bagaimana Afghanistan saat itu dan mimpi-mimpinya. Maka, ia bersemangat ketika belajar dari Nahdlatul Ulama dan kemudian mengadopsi model keislaman ala NU, ala pesantren.
Kondisi Afghanistan memang tidak sederhana, perlu kejelian memahami narasi dari beragam media yang ada. Baik dari sumber-sumber Eropa-Amerika, China maupun media-media di Indonesia.
Mendengar situasi saat ini di Kabul, saya teringat seorang teman. Nigin namanya.
Ia diplomat muda, perempuan cerdas, dan berpengetahuan luas. Karirnya di Kementerian Luar Negeri negeri itu juga bagus. Nigin lulusan kampus ternama, bidang international relations. Kemarin saya kontak untuk bertanya kabar.
Kami lumayan sering diskusi tentang Afghanistan dan geo-politik di kawasan itu. Niat saya belajar, agar ada sumber langsung dari mereka yang hidup di Afghanistan. Mengimbangi informasi yang terekstraksi dari media-media internasional, khususnya dari Eropa dan China. Saya hanya ingin melihat perspektif yang berbeda.
Sebelumnya, saya meminta pandangannya terkait Nahdlatul Ulama Afghanistan. Saya ingin melihat bagaimana negara melihat NU Afghanistan, juga di internal birokrasi negara khususnya terkait foreign policy.
Dari Nigin, saya juga dapat cerita tentang bagaimana padatnya urusan sebagai diplomat muda, di tengah situasi politik yang tidak stabil. Banyak hal yang harus dikerjakan. Di sisi lain, tentang perjuangan para perempuan Afghanistan juga menarik.
Saya bertanya bagaimana kondisinya saat ini, sekaligus melangitkan doa untuknya dan keluarganya.
“Thank you I am good so far. Please keep me in your prayers,” begitu jawabnya.
Saya sampaikan betapa sedih mendengar kabar dari Kabul, seraya mendoakan yang terbaik untuk masa depan negeri itu.
Mendengar dirinya dan keluarganya aman, saya merasa sedikit lega. Meski, tidak berani bertanya di mana ia sekarang dan bagaimana suplai kebutuhan makanan. Tidak, itu terlalu berat untuk ditanyakan. Ingin rasanya sampaikan ‘let me know if you need help or something else’, tapi ya sekali ya apa daya, apa yang bisa saya lakukan? Menggalang donasi? Mengirimkan bantun? Persiapan panjang, juga kompleksitas geopolitik yang tidak sederhana.
Akhirnya, doa menjadi pamungkas. Bersyukur jika ia merasa tidak sendiri, ada jutaan orang yang mendoakan untuk kebaikan.
https://alif.id/read/munawir-aziz/kabar-dari-afghanistan-b239494p/