Kaidah-Kaidah Fikih dalam Kelakar Hamzah Sahal

Tulisan humor memang sangat banyak dan jamak kita temui sebagai kelakar-kelakar kritik maupun media argumentatif. Namun berbeda dengan Hamzah Sahal. Ia menjadikan sebuah humor sebagai teori fan ilmu keagamaan. Selipan humor mendapat ruang  sepersekian untuk landasan teori kaidah yang dipatoki masyarakat.    

Hamzah Sahal, seorang kader muda NU yang cum penulis juga praktisi humoris kalangan sanrtri. Menginternalisasikan kaidah-kaidah fikih lewat kelakar santrinya yang telaten. Teori dasar syara’ yang lumayan njelimet itu diformulasikan menjadi narasi cerita yang asyik dibaca.

Tak terelakan bahwa santri alumnus pesantren Krapyak tersebut memiliki citra kepenulisan yang kental dengan pesantren. Tekad mondok Hamzah Sahal atas motivasi orang tua, menggemblengnya menjadi pribadi yang ulet menjaga tradisi pemikiran kaum sarungan.  Lingkungan dengan sistem tata kelola pendidikan yang integral sedikit banyak membentuk keilmuan agama Hamzah Sahal yang kuat. Namun bagaimana cara penyampaiannya kepada umat, tak melampaui kadar keresahan-keresahannya sendiri.

Buku “Humor Ngaji Kaum Santri” adalah salah satu karya tulisnya yang cukup mewakili kegundahan awam persoalan hukum yang pelik dan sulit diterka titik terangnya. Dengan menggunakan humor, sisi-sisi paling humanis manusia bakal terbidik dengan tepat.

Memang tak menepis kemungkinan bahwa sesuatu yang disampaikan dengan secara ilmiah itu lebih berkesan dan formil. Namun ada problema ketika kaidah-kaidah fikih yang pada dasarnya berbahasa Arab yang kadangkala dialih bahasakan justru membuat rancu pemahaman seseorang, maka lewat karya tangan ini muncul pencerahan lewat teori-teori syar’i yang berlatar belakang dan bernarasaikan cerita.

Baca juga:  Ini Buku Puisi Sapardi Djoko Damono yang Terbaik di ASEAN

Terkait isi, Hamzah Sahal memasukkan kaidah yang dirumuskannya Imam as-Suyuthi melalui percakapan-percakapan. Diskusi yang tergambar melaui beberapa tokoh memperlihatkan betapa asyik dan seriusnya titik pembahasan fikih yang terjadi. Problema masyarakat yang kompleks terjawabkan melalui tindakan tokoh dan hasil pembicaraan mereka.

Tokoh Ngalim adalah tokoh sentral yang dibuat Hamzah Sahal sebagai sorotan masalah. Pemeran utama yang menjadi ruh dari buku ini mempraktikkan langsung kaidah fikih dan sesekali berdalil ketika bercakap-cakap. Kegiatan-kegiatan yang sudah terbiasa Hamzah Sahal temui sewaktu di Pesantren, menjadi bahan bakar penyelesaian bukunya. Panorama pesantren, seperti kegiatan ngaji, sholat, roan, sowan kiai dan lain sebagainya terceritakan dengan jelas.

Dalam buku ini sekurang-kurangnya terdapat 50 judul kaidah, yang terdiri dari 5 kaidah pokok dan 40 kaidah umum yang muttafaq ‘alaih. Sisanya, 5 kaidah adalah turunan dari kaidah al-yaqinu la yazalu bi asy-syakk, kaidah at-tabi’u tab’i’un, dan kaidah yang semakna dengan kaidah al-maisuru la yasquthu bi al-ma’sur sebagaimana dikatakannya sendiri dalam pengantar.

Kejadian-kejadian dari setiap peristiwa yang erat kaitannya dengan kaidah fikih tersebut disuguhkan berdasarkan kejadian nyata dan sering kita temui di lapangan. Namun Hamzah Sahal juga memodifikasi cerita dengan gaya futuristik yang semakna dengan kaidah fikih yang berhubungan. Kelakar-kelakar yang dibangun lewat cerita tersebut bisa saja nonfiksi maupun fiksi belaka. Karena  kaidah fikih yang dirumuskan oleh ulama-ulama bila mana tidak dicontohkan, maka mau tidak mau kita akan mencoba mengangan-angankannya sendiri.

Baca juga:  Usmar Ismail dan Nahdlatul Ulama: Estetika, Wacana, dan Gerakan

Seperti judul kaidah 4 yang berjudul “Ngalim Nyontek”. Terjadi dialog antara Ngalim yang berposisi sebagai murid dan Pak Ahmad seorang guru (pada halaman 5-6).

Ngalim: “Maaf Pak, boleh saya minta waktu sedikit?”

Pak Ahmad: “Boleh, ada apa kelihatannya kok serius banget?”

Ngalim: : “Anu… Pak, mmm… saya mau nanya, kenapa nilai kaidah fikih saya kok jelek. Padahal jawaban yang saya tulis persis seperti yang ada dalam kitab?”

Pak Ahmad: “Sebelum saya jawab pertanyaan itu, saya mau nanya dulu sama sampen. Benar sampean nyontek?”

Ngalim: ”Sebetulnya tidak tepat kalo Bapak pakai istilah nyontek. Wong saya tidak sembunyi-sembunyi. Karena saya kira kemaren itu open book.”

Pak Ahmad: “Nah itu sebabnya, Lim. Saya juga tak habis pikir, kenapa sampean berani membuka buku dengan terang-terangan begitu. Padahal nilai harianmu kan bagus.”

Ngalim: “Begini, Pak. Sebenarnya saya tidak bermaksud nyontek. Tapi karena dalam lembar soal tidak ada keterangan ujian ini tertutup, maka saya buka kitab. Kan al-ashlu fi al-assyai al-ibahah hatta yadulla ‘ala at-tahrimi; asal sesuatu itu boleh sampai ada petunjuk yang melarangnya?

Pak Ahmad: “kalau ceritanya begitu, saya minta maaf, Lim. Dalam masalah ini, saya tidak makai kaidah yang sampean sebut tadi. Saya memegangi kaidah yang sebaliknya, yang dipakai Imam Abu Hanifah, al-ashlu fi al-assyai at-tahrimu hatta yadulla dalilun ‘ala al-ibahah; asal sesuatu itu haram sampai ada dalil yang membolehkannya. Dan dari dulu kaidah itu tidak pernah saya tulis.”

Baca juga:  Sabilus Salikin (92): Tarekat Khalwatiyah

Ngalim: “Oooh… kalau begitu, saya permisi, Pak.”

Obrolan-obrolan yang disertai kaidah fikih tersebut mengundang gelak tawa bagi kalangan santri yang sepaham. Tentang kelucuan yang dianggap atau tidak dari humor-humor tersebut tergantung selera humor masing-masing. Namun inti dari pada cerita tersebut adalah pembelajaran kaidah fikih dalam bentuk praktik tindakan nyata.

Genre folklor santri yang diangkat Hamzah Sahal menjadi pembeda dari humor-humor pesantren lainnya, karena menggunakan kaidah fikih sebagai acuan untuk menulis. Bahwa dapat ditegaskan kekhazanahan pesantren itu luas, dan humor adalah salah satunya.

  

https://alif.id/read/acd/kaidah-kaidah-fikih-dalam-kelakar-hamzah-sahal-b245062p/