Kaji, Aji-Aji, Kajen

Dalam bahasa Jawa sehari-hari di masyarakat, Haji seringkali diucapkan dengan kata: Kaji. Huruf H ditukar dengan huruf K. Padahal, dalam aksara Carakan terdapat vokal Ha. Tapi begitulah yang terjadi. Maka, kita sering mendengar dalam percakapan di masyarakat Jawa: Kaji Sirin, Kaji Soleh, Kaji Suripan, dan kaji-kaji yang lain.

Dalam kosa kata Jawa, Kaji itu dekat dengan kata Aji, yaitu suatu yang berharga dan dihargai. Pun demikian dengan kata “Kaji” sebagai alih vokal dari Haji. Orang yang telah menunaikan haji, dipanggil Pak Kaji, karena di dalam dirinya diyakini memiliki kemuliaan alias sesuatu yang “aji”.

Panggilan ini, secara kultural di Jawa masa lalu, tidak ada urusannya dengan politik, tetapi lebih sebagai penghormatan dan pengagungan. Karena orang yang mampu menunaikan ibadah haji, bukan hanya memiliki kemampuan dan kesempatam secara ekonomi maupun kesehatan, tetapi juga kesediaan, niat dan keikhlasan. Oleh karena itu, di masa lalu, adalah pamali bila seseorang memakai kopyah putih, padahal dirinya belum ke tanah suci menunaikan ibadah haji. Kopyah putih telah dijadikan simbol bagi orang-orang yang telah menunaikan haji yang aji tersebut.

Niat yang tulus dan hasrat ibadah yang kuat itulah menjadi dasar utama seseorang memiliki aji-aji. Apa itu aji-aji? Di masyarakat Jawa, ia sering dipahami sebagai “cekelan” atau “genggeman”, yang di”ugemi” dan kemudian di”agem”. Persis dalam penggalan ayat dalam Alquran: wa atimmul hajj wa al-‘umrata lillah.

Aji-aji inilah yang menjadikan seseorang “aji”, alias berharga. Nilai diri yang berharga, di mata pandangan dunia manusia Jawa berada di dalam diri, bukan di luar. Oleh karena itu, jangan berencana mengubah kondisi atau diri orang lain, kalau kita belum bisa mengubah diri kita sendiri. Itulah sebabnya, para arif Jawa sering mengingatkan kita: “mandine dungo sebab bènère laku lan bèningè ati”. Ngelmu kalakone kanti laku. Laku menjadi lelaku. Visi menjadi rutinitas hidup, bukan sebatas the motion, tetapi action.

Kaji yang bisa melahirkan manusia-manusia yang memiliki “aji-aji” ini yang laik diajeni, sehingga menjadi “kajen”, dihargai dan memperoleh penghormatan. Tanda-tandanya bisa dilihat dari berbagai momentum di bawah ini:

Ketika pakaian ihram telah bertransformasi menjadi kesadaran kesetaraan dan menanggalkan beragam atribut keiblisan dalam kehidupan sehari-hari;

Ketika Ka’bah sebagai simbol tauhid ditransformasikan menjadi poros gerakan hidup sehari-hari; Ketika lemparan kerikil-kerikil di jamarat ditransformasikan sebagai keteguhan dan ketegasan perlawanan atas segala bentuk hasutan, tipu daya, caci-maki dan keangkuhan; Ketika mabit di padang Arafah ditransformasikan sebagai kesadaran keterbukaan, pengakuan, dan pembangunan visi hidup dan kepemimpinan menjadi lebih baik dan mulia di hadapan Tuhan;

Ketika sa’i di mina ditransformasikan sebagai etape hidup yang direncanakan dalam setiap etape adalah kesucian dan kebajikan; Ketika menyembelih hewan kurban, dagingnya ditransformasikan sebagai solidaritas sosial, aliran darahnya sebagai keikhlasan, dan ketajaman pisaunya sebagai kasih sayang dan keadilan.

Dan larangan wewangian ditransformasikan sebagai kesederhanan hidup serta larangan memotong tanaman sebaga visi ekologis dalam menjalani kehidupan.

https://alif.id/read/ig/kaji-aji-aji-kajen-b247974p/