Kajian Hadits: 73 Pintu Dosa Riba, Bagaimana Maksudnya?

Hidup di era modern yang serba dinamis, kita menghadapi tantangan besar di sektor ekonomi yang kian rumit. Ketidakseimbangan dalam distribusi kekayaan dan keterbatasan akses terhadap modal usaha mandiri menjadi masalah krusial yang banyak dirasakan. 
 

Fenomena ketimpangan ekonomi ini semakin diperburuk dengan kehadiran sistem kapitalisme yang berpijak pada praktik ribawi. Praktik riba menjadi salah satu faktor yang mempertajam kesenjangan ekonomi.
 

Dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu, minimnya akses terhadap modal sering kali dijawab dengan solusi berupa pinjaman yang disertai dengan riba, atau pertambahan. Namun Solusi tersebut menimbulkan dilema lainnya yaitu si peminjam tidak mampu melunasi utang karena cicilannya hanya mampu membayar bunga saja.
 

Wasilul Chair dalam artikel jurnalnya “Riba dalam Perspektif Islam dan Sejarah” yang dimuat di jurnal Iqtishadia (Vol . 1, No. 1, Juni 2014: 6) menyebutkan, riba memiliki sejarah yang panjang dan telah lahir sejak lama sebelum Islam datang.
 

Menurut Chair, beberapa peradaban dan agama telah menentang praktik riba atau peminjaman berbunga. Di Yunani Kuno, Aristoteles menganggap bunga sebagai tindakan tidak adil. Kerajaan Romawi melarang pemungutan bunga dengan undang-undang ketat untuk melindungi peminjam, dan menjadi kerajaan pertama yang membuat regulasi tersebut. (Halaman 6).  
 

Agama Yahudi juga mengharamkan riba di antara sesama Yahudi, tetapi memperbolehkannya terhadap non-Yahudi. Hal ini kemudian dikritik dalam Al-Qur’an sebagai tindakan menzalimi pihak lain. Sementara itu, agama Nasrani menolak riba secara universal, baik terhadap sesama maupun pihak luar, sebagaimana dijelaskan dalam Perjanjian Lama dan Baru. (Halaman  7).  
 

Sebagai umat Muslim, tentu saja kita perlu berhati-hati terhadap segala jenis transaksi yang akan dilakukan. Rasulullah telah mewanti-wanti umatnya agar jangan terjerumus kepada riba, hingga pernah disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa riba memiliki 73 pintu. Berikut riwayatnya Imam Ibnu Majah:
 

عَنْ عَبْدِ اللهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اَلرِّبَا ثَلاثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا
 

Artinya, “Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, dari Nabi saw, beliau bersabda, ‘Riba memiliki 73 cabang [dosa]’.” (HR Ibnu Majah)
 

Hadits dengan riwayat semacam di atas tidak tunggal. Terdapat beberapa riwayat lainnya yang serupa. Misalnya riwayat Imam Al-Hakim An-Naisaburi dalam Al-Mustadrak:
 

عَنْ عَبْدِ اللهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا، أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ، وَإِنَّ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ
 

Artinya, “Diriwayatkan dari ‘Abdullah, bahwa Nabi saw bersabda: Riba terdiri dari tujuh puluh tiga pintu [dosa], yang paling ringan di antaranya seperti seorang laki-laki menikahi ibunya sendiri. Dan sesungguhnya riba yang paling besar adalah merusak kehormatan seorang muslim’.” (HR Al-Hakim).
 

Imam Ibnu Majah mengomentari hadits tersebut dalam Az-Zawa’id-nya sebagai hadits yang shahih. Begitu pun Al-Hakim An-Naisaburi dalam Al-Mustadrak-nya, menyebut bahwa hadits tersebut shahih berdasarkan standar penilaian hadits Bukhari-Muslim, meskipun kedua imam tersebut tidak meriwayatkan hadits tersebut dalam kitab hadits mereka. (Al-Mustadrak, (Beirut, Darul Ma’rifah: t.t), juz II, halaman 37).
 

Al-Munawi memaparkan penjelasan hadits ini dengan cukup detail. Mengutip At-Thibi, Al-Munawi menjelaskan alasan dosa riba tingkatannya lebih parah dari dosa berhubungan badan dengan ibu sendiri adalah adanya unsur menentang hukum Allah dengan logikanya sendiri. Berikut penjelasannya:
 

إنما كان الربا أشد من الزنا لأن فاعله حاول محاربة الشارع بفعله بعقله
 

Artinya, “Riba dianggap lebih berat daripada zina karena pelakunya secara langsung menentang hukum Allah dengan logikanya sendiri.”

Argumentasi tersebut lahir dari komparasi yang dilakukan At-Thibi antara hadits di atas dengan ayat 279 surat Al-Baqarah yang menjelaskan perintah untuk meninggalkan sisa-sisa transaksi riba yang pernah dilakukan di masa lalu. Ayatnya yaitu:
 

فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖۚ وَاِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ اَمْوَالِكُمْۚ لَا تَظْلِمُوْنَ وَلَا تُظْلَمُوْنَ
 

Artinya, “Jika kamu tidak melaksanakannya, ketahuilah akan terjadi perang (dahsyat) dari Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi, jika kamu bertobat, kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan).” (QS Al-Baqarah: 279).
 

Kemudian dalam konteks dosa, riba yang paling berat diumpamakan sebagai menyerang kehormatan seseorang, Sebagaimana dikutip Al-Munawi dari Al-Qadhi, merenggut kehormatan seseorang lebih tinggi dosanya dibanding mengambil harta orang lain. Al-Qadhi menjelaskan:
 

الاستطالة في عرضه أن يتناول منه أكثر مما يستحقه على ما قيل له، وأكثر مما رخص له فيه. ولذلك مثَّله بالربا، وعدَّه من عداده، ثم فضَّله على جميع أفراده لأنه أكثر مضرةً وأشد فساداً، فإن العرض شرعاً وعقلاً أعزُّ على النفس من المال وأعظم منه خطراً. ولذلك أوجب الشارع بالمجاهرة بهتك الأعراض ما لم يوجب بنهب الأموال
 

Artinya, “Menghina kehormatan seseorang berarti melampaui batas dengan mengambil hak lebih dari yang pantas atau yang diizinkan kepadanya. Karena itu, tindakan ini disamakan dengan riba dan digolongkan sebagai salah satu jenis riba, bahkan dinilai lebih buruk dari semua bentuk riba lainnya karena lebih merugikan dan merusak.
 

Kehormatan seseorang, menurut syariat dan akal, lebih berharga bagi dirinya daripada harta dan lebih berbahaya jika dilanggar. Oleh sebab itu, syariat menetapkan hukuman yang lebih berat atas pelanggaran kehormatan daripada pencurian harta.” (Faidhul Qadir, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1994], jilid XIV, halaman 126).
 

Dalam konteks ekonomi modern, solusi alternatif untuk menghindari riba adalah menerapkan prinsip ekonomi syariah yang berlandaskan kerja sama tanpa bunga, seperti mudharabah (kerja sama bagi hasil), musyarakah (kerja sama modal), dan murabahah (pembiayaan jual beli). 
 

Sistem keuangan Islam ini telah diterapkan di berbagai negara untuk menciptakan keadilan ekonomi dan membantu masyarakat memperoleh modal tanpa riba. Alternatif ini tidak hanya sesuai dengan syariat, tetapi juga bertujuan mengurangi ketimpangan ekonomi yang ditimbulkan oleh sistem kapitalisme berbasis bunga
 

Sebagai umat Islam, penting untuk senantiasa menghindari segala bentuk transaksi yang mengandung unsur riba. Memahami hukum riba dalam syariat dan bersikap selektif dalam memilih transaksi keuangan menjadi langkah awal untuk menjauh dari praktik-praktik yang dilarang. Wallahu a’lam.

Ustadz Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta

https://islam.nu.or.id/ilmu-hadits/kajian-hadits-73-pintu-dosa-riba-bagaimana-maksudnya-ByTUX