Kambing Jantan Bergigi Poel

Cerpen: Muji Prasetyo
Sudah lima belas menit lebih, Camat Giyo memandangi hamparan sawah dari jendela mobil dinasnya. Petak-petak sawah itu tak begitu luas dan tampak belum lama dipanen. Dari jendela yang terbuka kacanya, ia menyapa sekelompok petani yang tengah membakar sisa jerami. Asapnya mengepul, sebagian terbawa angin dan menerpa wajah sang camat. Namun, ia bergeming dan tetap melambaikan tangan, membiarkan sebagian asap itu masuk ke kabin mobil. Supri, sang sopir terbatuk-batuk. Sejenak ia menoleh sembari menepis asap itu. Namun sejurus kemudian kembali fokus mengendalikan kemudi, melibas jalan desa yang terjal dan berliku.

 

Giyo belum setahun menjabat camat Pandanwangi. Namun ia sudah dikenal masyarakatnya dengan baik. Ia juga dekat dan rajin koordinasi dengan kepala desa dari delapan desa di bawah wilayah pemerintahannya. Pagi ini usai apel pagi, ia akan menyambangi Dusun Kepingit, sebuah wilayah terpencil di kecamatan Pandanwangi yang dikenal bergunung-gunung.

 

Ikhwal yang mendorongnya datang ke Kepingit, sebenarnya sederhana. Bermula dari postingan seorang warga di grup Facebook yang menggelitik. Di video pendek berdurasi kurang dari semenit, terlihat seorang lelaki tua tengah menangisi seekor kambing jantan. 

 

Dipeluknya erat-erat kambing jenis Jawa Randu yang terbujur kaku itu. Mulutnya terus menghiba, “Duh Gusti, apa salah dan dosaku? Kambing ini mau kusembelih di Hari Raya Kurban minggu depan. Ini kambing sudah kupelihara hampir dua tahun. Sudah cukup umur dan giginya sudah poel. Lah kok malah mati? Terus bagaimana ini?” 

 

Dari komentar si pengunggah video, diduga kambing jantan gagah dengan bulu hitam kombinasi putih itu mati keracunan, diduga setelah melahap daun lamtoro. Daun lamtoro tua konon mengandung senyawa beracun yang dapat meracuni kambing. 

 

“Kasihan Lur…, kambing mau buat kurban malah mati keracunan. Padahal Kang Karsam sudah pengin banget kurban. Sudah nunggu dua tahun. Eh, titi mangsane kesembadan bisa kurban malah kambingnya mati. Tuh kambingnya gagah banget, bandhot lanang dan giginya sudah poel. Gimana nih Pak Camat, tolong dibantu warganya yang lagi menderita,” ujar si pengunggah video sambil mendekatkan kameranya ke arah si kambing dan tuannya yang sama-sama tak berdaya. Dibukanya mulut kambing yang sudah mati itu, di antara barisan gigi yang rapi, tampaklah satu yang poel. Gigi poel menandakan kambing  sudah berumur dua tahun atau lebih, dan menunjukkan tanda-tanda pergantian gigi seri depan atau gigi susu menjadi gigi permanen.

 

Meski gambarnya goyang-goyang dan acak-acakan, video singkat itu telah ditonton puluhan ribu orang dengan ribuan emot sedih dan simpati. Ratusan komentar ala netizen kampung pun riuh menghiasi postingan di pagi buta itu. Tak sedikit warganet yang mencolek akun pribadi Camat Pandanwangi yang selama ini dikenal cepat tanggap.

Sebagai pejabat pemerintah zaman sekarang, Camat Giyo aktif bermedsos. Bukan buat narsis, tapi lebih untuk memudahkan komunikasi dan mendekatkan pelayanan dengan warganya. Di era informasi, pejabat yang tak mengikuti isyu di media sosial bakal ketinggalan. Dinamika kehidupan di desa hilir mudik memenuhi berandanya.

 

Warga desa sudah piawai memanfaatkan gawai dan bermedsos ria. Manfaatnya banyak, kadang hal penting cepat tersampaikan melalui medsos seperti ketika ada seorang ibu yang keburu melahirkan tapi bidan tak keburu datang, sehingga terpaksa melahirkan mandiri di rumah. Untunglah, ia dan bayinya selamat. Tentunya si pengunggah hanya mengabarkan lewat suara dan hanya sekelebatan video kegawatan itu. 

 

Di luar peristiwa penting seperti itu, lebih banyak warga dan komunitas yang hanya bercanda dengan keceriaan dan kerecehannya. Namun, kabar seorang lelaki yang kelayu ditinggal kambing jantan kesayangannya ini, sangat menggelitik hati Camat Giyo untuk mendatanginya langsung ke Dusun Kepingit.

 

Camat Giyo menghela nafas panjang. Dirinya ingat celetuk teman-teman sesama camat. Ada benarnya bahwa camat itu menang celuk kalah beruk. Hanya menang nama, kalah dalam ekonomi. Tentu berbeda dengan pejabat di pusat pemerintahan kabupaten yang banyak bergulat dengan birokrasi, camat adalah pejabat sosial yang harus siap mengurusi ribuan warga di wilayahnya. Banyak dikenal warga, sehingga dari acara hajatan pernikahan hingga berita lelayu, sedapat mungkin dihadirinya. Namun Giyo menikmati perannya sebagai Camat Pandanwangi ini. Baginya, stigma pangreh praja telah berganti pamong praja. Jadi, pegawai seperti dirinya memanga pelayan masyarakat.

Dusun Pingit sudah dekat, namun jalan masih terjal. Ia melirik Supri yang asyik mengendalikan kemudi. Biasanya sang sopir selalu ramai mengobrol. Dari masalah kondisi jalan, tentang mobil-mobil jadul kegemarannya, hingga masalah politik paling mutakhir.

 

“Tumben hari ini kamu nampak lesu, Pri. Apa kamu ngantuk?” dijulurkannya sebatang rokok ke bibir Supri, sembari menyalakan korek ke ujungnya. Hal seperti ini sering dilakukan sang camat pada sopir kesayangannya itu.

 

“Kesuwun, Pak Camat. Ngapunten saya cuma lagi suntuk saja. Biasa Pak, lagi banyak kebutuhan. Anak-anak saya pada mau piknik liburan sekolah dan sebentar lagi tahun ajaran baru juga butuh banyak lagi,” keluh Supri. Dihisapnya rokok pemberian atasannya itu. Asapnya terbuang lewat jendela mobil yang terbuka. Di wilayah pegunungan itu hawa memang dingin meski hari beranjak siang. Bahkan AC mobil pun tak perlu dihidupkan. Sehingga merokok seperti wajib bagi para sopir seperti Supri untuk penghangat badan.

 

“Ha ha ha…. itu masalah umum, Pri. Wong aku yang katanya camat saja sebenarnya lebih pusing dari kamu?” sahut Giyo.

 

“Tapi kan Bapak nggak punya utang. Paling mikirin pemerintahan?” kata Supri.

 

“Hutang? Nggak usah dipikir, Pri,” timpal Camat. “Jangan khawatir Pri. Hari ini Gaji 13 cair. Tadi saya tandatangani berkasnya. Bendahara kita sedang ngurus pencairan di kabupaten. Itu hak kita sebagai pegawai, penyemangat untuk kinerja kita.”

“Wah, alhamdulillah kalau gitu Pak. Bisa buat entheng-entheng. Tapi maksud Pak Camat tadi gimana, kok hutang nggak usah dipikir?” kata Supri.

“Lah, iya benar. Hutang itu nggak usah dipikir, tapi diicil, Pri. Dibayar!”

“Ha ha ha ha…..” kedua lelaki itu tertawa lepas seperti sahabat akrab, tanpa memandang atasan-bawahan. 

* *

 

Di gerbang dusun, kepala dusun dan seorang hansip sudah menyambut untuk menunjukkan jalan ke rumah Karsam. Mereka berboncengan sepeda motor. Sebelum berangkat, camat memang telah menghubunginya. 

“Bagaimana situasinya Pak Kadus, apa sudah terkondisikan?” tanya camat sembari turun dari mobilnya. 

 

“Ya, kalau kambingnya sudah terkondisikan, Pak. Wong sudah mati. Tapi itu, Kang Karsam masih nangis ngguling-ngguling,” jawab Kadus lugu.

Dari Kepala Dusun diketahui bahwa Kang Karsam, warganya itu telah lama berniat kurban. Dua tahun lalu, Karsam membeli seekor cempe berusia empat bulan dari Pasar Hewan di kota. Anak kambing jantan satu-satunya itu dipeliharanya dengan gemati. Tujuannya satu, untuk kurban dua tahun mendatang atas nama dirinya. Maka, pakannya hanya hijauan segar dari sekitar dusun, tanpa fermentasi buatan. Sesekali Karsam membuatkannya jamu beras kencur untuk kesehatan si kambing. Ia merawat cempenya dengan istimewa, menyayangi seperti anaknya sendiri.

Tiba di pelataran rumah Karsam, warga masih berkerumun. Beberapa lelaki memegangi tuan rumah yang masih merebah memeluk kambingnya. Lolonganya belum usai meratapi kematian ternak kesayangannya, ”Kambingku…. kambingku gemuk jantan perkasa. Giginya poel. Kamu jangan mati. Besok di akhirat aku tunggangi…. jangan mati, jangan mati!”

 

Kehadiran Camat menyita perhatian warga. Mereka berebut menyalami orang nomor satu di Pandanwangi itu. Di tengah warganya, lelaki itu begitu nyawiji tanpa kehilangan wibawa ketika berjalan mendekati Karsam dan kambingnya yang terkapar.

 

“Kang Karsam, ini saya Pak Camat, bangunlah,” nada suara camat yang berat kebapakan sesaat meredakan tangis Karsam. Lelaki itu masih saja meronta. Tali kekang yang terhubung leher kambing itu masih digenggamnya erat, Belum rela kehilangan harta yang paling berharga.

 

“Anakku.., Pak Camat. Anak lanangku…., kemarin masih segar bugar…. Kok pagi tadi mati. Tidaakkk…,” rontanya.

“Kang Karsam, anak lanangmu, eh… kambingmu, sudah mati. Aku bisa merasakan kesedihanmu. Aku dulu juga pernah ngingu kambing, juga mau dikorbankan eh…. ada yang nyolong. Saya sedih dan marah waktu itu. Jadi sudahlah, yang sudah pergi jangan ditangisi terus. Ikhlaskan saja,” bujuk Camat.

 

Karsam nampak tertegun menyimak cerita camat. Perlahan tangisnya berhenti sama sekali. Disekanya air mata dengan kaos lusuh. Sejurus kemudian terdengar napasnya mulai tenang. Tapi ucapnya masih terbata-bata.

“Saya ini sudah tua, Pak Camat. Mungkin hidupku tak lama lagi. Selama hidup, saya belum pernah sekalipun berkurban. Saya ingin sekali berkurban. Kelak di akhirat, dia yang mau kutunggangi melewati sirathal mustaqim. Saya dan dia masuk surga bersama-sama. Tapi sekarang mustahil. Dia mati, aku nunggangi siapa?” hibanya naif. Seumur hidup, Karsam belum pernah berkurban. Maklum, ia hanya tani buruh dengan berpenghasilan tak tentu dengan lima anak. Namun, haruskah cita-cita yang mulia itu kandas?

 

“Ya, ya ya…. Kang Karsam, jangan khawatir. Kamu masih banyak tunggangan. Ayo bangun, nanti kita cari tungganggan bareng-bareng. Kita cari kambing lagi,” camat mengulurkan tangannya dan segera menarik Karsam.

 

Dipeluknya lelaki tua itu. Degup napasnya masih memburu. Hansip memberinya segelas air putih. Didudukannya Karsam di kursi. Lelaki itu kini lebih tenang. Meski penampilannya sangatlah berantakan. 

 

“Sedulur-sedulurku warga Sipingit,” tiba-tiba camat memberi pengarahan kepada warganya. Kini ia duduk di samping Karsam, “saya datang ke Sipingit sebagai bapak, sebagai saudara kalian semua. Dan saya datang untuk memberi penghargaan kepada Kang Karsam. Beliau ini luar biasa. Di tengah keterbatasannya punya niat mulia, yaitu berkurban. Ini harus kita tiru. Besok, insyaallah Kang Karsam tetap bisa kurban,” kata camat.

 

“Hidup Pak Camat!” seru warga demi mendengarkan pidato camatnya.

“Saya mengucapkan terima kasih kepada para sedulur karena selama ini ikut membangun desa. Semoga ke depannya saya bisa lebih memperhatikan dusun Sipingit. Ayo kita hidupkan terus semangat gotong royong dan kerja keras agar dusun ini maju, ekonominya membaik, sehingga besok banyak yang berkurban. Nah, sekarang berhubung Kang Karsam sudah baik, silakan sedulur-sedulur untuk kembali bekerja masing-masing.”

 

“Hidup Pak Camat, hidup Pak Camat!” seru warga kompak sembari membubarkan diri. Mereka merasakan kehadiran negara di tengah kesusahan warganya.

“Tapi kambing saya kan sudah mati, Pak?” bisik Karsam tanpa canggung pada camatnya.

 

“Tenang, Kang. Kamu sudah niat kurban dengan mantap. Berarti sebenarnya kamu sudah berkurban. Habis ini kita cari kambing pengganti, bagaimana?”

 

“Terus, siapa yang mbayari, Pak? Saya tak punya uang sama sekali,”

 

“Nah, tadi saya telepon ada dermawan yang mau memberikan kambing buatmu Kang.”

“Siapa?”

 

“Dia mengaku hanya Hamba Allah yang kecil”

 

“Apa itu sah, Pak Camat?”

 

“Sah. Karena si Hamba Allah ini ikhlas memberikan infak kambing itu buat kang Karsam. Dan kurbannya tetap atas nama Kang karsam.”

 

“Betulkan begitu, Pak?” Karsam seperti tak percaya. Orang kecil seperti Karsam memang sering dijejali janji para pejabat dan politisi, 

 

“Insyaallah. Yang penting sekarang Kang Karsam ikhlaskan dulu anak lanang, eh kambing jantan kesayanganmu itu. Sekarang dia sudah tenang, Kang,” ujar camat.

 

“Baiklah, Pak. Jadi nanti kita beli kambing baru?”

 

“Betul, di Pasar Hewan hari ini juga. Kebetulan ini hari pasaran,”

 

“Tapi nanti kambingnya yang gagah ya?” Karsam merajuk seperti anak kecil.

 

“Iya, nggak kalah sama kambingmu itu.”

“Jenggotan?”

 

“Kita cari yang lebih panjang jenggotnya,”

“Giginya poel?

“Oh, harus itu. Harus poel. Kambing jantan bergigi poel,” tandas Pak Camat.

 

“Dan berjenggot panjang,” timpal Karsam. Kini senyumnya mengembang. Matanya berbinar, “terima kasih sekali, Pak Camat.”

 

* *

 

Perlahan, mobil dinas camat melaju meninggalkan dusun. Di dalamnya bertambah seorang penumpang, Karsam. Tak pernah bermimpi ia bisa naik mobil pejabat yang empuk itu. 

 

Bendahaa kecamatan mengabarkan bahwa gaji ke-13 telah cair. Maka camat membisikkan Supri untuk langsung menuju pasar hewan di kota kabupaten. Sang camat tergerak untuk mengikhlaskan gaji ke-13-nya untuk dibelikan kambing kurban buat Karsam.

 

Kini, ada tiga kebahagiaan yang bergelayutan dalam jiwa ketiga lelaki itu. Karsam yang tersenyum lega segera memiliki hewan kurban yang sudah di depan mata: kambing jantan bergigi poel. Supri yang berbunga-bunga karena segera bisa memenuhi kebutuhan dari gaji ke-13 yang sudah dalam genggaman.

Dan, sang camat yang hatinya basah atas kembalinya kebahagiaan seorang rakyat kecil. Sisa ego dan keakuannya sebagai orang nomer satu di Pandanwangi telah terkikis habis. Disembelih oleh ketulusan dan kasih sayang.

 

Banjarnegara, Lebaran Idul Adha 1445 H, Senin 17 Juni 2024

 

Muji Prasetyo, akrab dipanggil Mujiprast, lahir di Banyumas, 27 Januari 1975. Dikenal sebagai penulis, pemusik dan pencipta lagu. Beberapa buku/karya bersama yang pernah diterbitkan antara lain Karcis Nggo Ramane (Kumpulan Cerkak Banyumasan), Wulan Ndadari (Antologi Guritan Banyumasan), Ketawang Angen-Angen (Antologi Geguritan), Kusumaning Driya (Kumpulan Cerkak), Menggulung Kabut di Makam Ibu (Antologi Kelas Cerpen), dll. Kini bergiat di Komunitas Penulis Satu Pena Jawa Tengah, kontributor arina.id, serta nguri-uri majalah Banyumasan Ancas bersama budayawan Ahmad Tohari.

https://www.nu.or.id/cerpen/kambing-jantan-bergigi-poel-pBN0i