Kamera, Makanan, dan Religiositas di Bulan Ramadan

Lalu lalang orang-orang sedang menikmati waktu sore. Menjelang waktu berbuka, mereka menantikan matahari tergelincir. Tergelincirnya matahari membikin awan-awan di ufuk barat berubah jadi oranye kekuning-kuningan. Kemudian, lantunan azan yang cukup merdu, membuat dahaga dan laparnya terbayar.

Ramadan bulan yang penuh perenungan. Ramadan mengingatkan kita untuk berpuasa, sebagai candradimuka orang-orang yang beriman. Seteguk air dan beberapa butir pisang goreng di waktu berbuka, menumpas imajinasi kenikmatan es teh di waktu siang. Syahdan, kenikmatan dunia ini hanya sementara. Menahan dahaga dan lapar kurang lebih empat belas jam, dus lebur dalam lima menit. Nikmat dunia hanya sementara. Rapalan zikir menyembul berkali-kali.

Syahdan, Ramadan di waktu sore, penuh dengan suka cita. Para penjual dikerubuti pembeli. Para pemburu takjil, memasang matanya. Mereka mengendus dan memilih. Kemudian membuka kantung plastik memenuhinya dengan pelbagai makanan juga minuman.

Perut kita dibikin kenyang, lantunan hamdalah muncul disela-sela pisang goreng yang telah dikoyak mulut. Mata berkisah merekam aktivitas berpuasa. Gemricik es teh manis memenuhi gelas, semerbak tempe goreng, bikang yang dilumuri oleh coklat manis, cakue yang gurih, dadar gulung dan es dawet yang manisnya membuat mata berkedip-kedip.

Setelah perut terisi, langgar dan masjid kembali pekik. Orang-orang berduyun-duyun merayu nama ilahi. Lantunan qur’an ramai memekik, walaupun lumayan sayup-sayup. Namun di sela-sela lantunan itu, bukti kemeriahan terasa sepanjang Ramadan. Kelak di yaumul mizan, potret-potret itu menampilkan. Menampilkan gerak-gerak kita di dunia. Mafhum, sang khalik yang Al-Basir.

Sejak Ibnu Al-Khaitam menemukan prinsip kamera. Penemuannya itu membuat tertarik siapapun untuk mengembangkannya lebih baik. Awal abad ke-19 Niepce membuatnya lebih mutakhir, dengan menggunakan teknik heligrafi. Ia memberi andil dalam dunia potret. Kiwari, kita dapat melihat hasil gambar dari beberapa ruang satu dengan lainnya dengan begitu mudah.

Awal abad XXI kita disibukkan dengan potret. Memotret yang dekat dengan kebiasaan kita, membuat kita lebih mudah untuk merekam. Jepretan kamera ala kadarnya, membuat kita tersenyum. Hasil gambar menyiratkan tanda dan seni. Di waktu puasa, kawan, sanak famili, hingga iklan, kita dijejali oleh potret-potret bernuansa Ramadan yang sarat dengan pernak-pernik yang khas.

Mata-mata yang merekam kemudian berkisah tentang empirisme. Mengenai potret dan manusia. Kamera yang memotret, membatu kita. Potret ialah mengadakan yang ada. Tidak mungkin potret itu didapatkan dari hal yang tak ada. Seno Gumira Adjidarma dalam Kisah Mata (Galang Press, 2001) memberikan gambaran secara filosofis mengenai potret dan kisah mata.

Kamera merupakan bagian dari mata. Kamera bukan sekadar alat untuk merekam dunia, bagi Seno kamera yang menjadikan sebuah dunia. Kamera bukan merupakan suatu fungsi dalam representasi, tetapi suatu esensi dalam rekreasi. Kamera tidak mengulang, melainkan menciptakan dunia yang dari sesuatu yang analog, melalui pengambilan gambar dengan cara pandang fotografernya masing-masing. Tanpa kamera, seorang fotografer tetap melihat, namun tidak menjadikan dunia. Kamera yang menjadikan bahasa fotografis terlihat, dan adalah kemera yang membuat dunia abstrak menjadi konkret.

Kamera tidak mengulangi namun ia menciptakan dunia. Proses tangkap jepret dari kamera merekam realitas (baca; obyek) yang tertangkap. Penangkapan obyek itu tidak sembarangan. Seorang pemfoto akan memilih sudut pandang menarik untuk mengambil gambar. Ketika memotret Es Shanghai, mata kita memandang mengada obyek bernama Es Shanghai. Kemudian proses analog kamera memotret memilah sudut-sudut yang dianggap memiliki nilai esetetika. Tumpukan buah bermacam-macam, yang disusun oleh susu kental manis, ditambah sirup yang berulir zig-zag, dan es serut bening yang menggunung.

Religiositas sarat dengan pengabdian dan pelaksanaan sebuah ritus-ritus dalam beragama. Potret dan religiositas adalah silang sengkarut penggunaan kamera dalam haribaan peradaban kita. Dengan menggunakan alat bantu berupa kamera, kita dibantu untuk merekam situasi yang ada, agar dapat direkam dan mampu bertahan dari waktu ke waktu. Memotret memberikan gambaran tentang realitas, termasuk realitas aktitivas religi di bulan Ramadan.

Obyek yang dijepret, membuat pembaca foto diajak untuk merenungkan foto yang telah diambil. Seorang anak yang sedang bertadarus, dan beberapa asik mendengarkan lantunan suci tersebut, bila terekam dalam foto, akan melahirkan eksplanasi yang bermacam-macam. Hal tersebut selaras dengan apa yang disampaikan Roland Barthes dalam The Photographic Message (1915-1980).

Menurut Bartes foto adalah suatu pesan yang dibentuk oleh sumber emisi, saluran transmisi, dan titik resepsi. Kendati demikian, sebuah foto bukanlah sebuah struktur yang terisolasi. Foto berkaitan dengan struktur-struktur lainnya yang menjalin sebuah komunikasi. Kendati demikian, orang-orang yang melihat hasil potret dari kamera punya penilaian yang bermasing-masing.

Berduyun-duyun orang mengunjungi masjid atau membuat pepat jalanan untuk mencari takjil. Potret memberikan kita informasi juga perenungan. Bahwa, religiositas melalui potret hanya dapat membaca aktivitas, bukan kualitas. Kualitas religiositas hanya Sang Khalik yang tahu. Sangat lancang kiranya bila mendikte seseorang dengan tolak ukur surga atau neraka, melalui secarik potret. Mafhum, kamera dan kita nampaknya sudah lengket melekat dalam haribaan kita. Kita pun tak dapat menyalahkannya, kecuali potret menghalangi kita untuk fastabiqul khairat.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/mga/kamera-makanan-dan-religiositas-di-bulan-ramadan-b249119p/