Kamus Melayu Islami Pertama (1): Bahasa Melayu dengan Ilmu Linguistik Arab

Secara keilmuan, aku bisa mengatakan bahwa bahasa Melayu atau yang kemudian berubah menjadi bahasa (nasionalistik) Indonesia tidak menjadi perhatian penting di lembaga pendidikan Islam baik di tingkat dasar sampai tingkat pesantren tinggi atau perguruan tinggi Islam. Hampir tidak ada satu ulama ahli bahasa (Melayu) Indonesia pada abad ke-20 dan abad ke-21. Ulama dan cendekiawan, seperti juga Raja Ali Haji, biasanya sibuk mempelajari bahasa Arab sebagai bahasa utama Quran atau bahasa Eropa seperti bahasa Inggris, Prancis, dan seterusnya. Tentu hal ini sesuatu yang wajar jika melihat ekosistem keilmuan modern.

Namun, seperti dikatakan Syed Muhammad Naquib Al-Attas (1990: 63) dalam pidato monumental Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, “bahasa Melayu itu merupakan akibat penggunaannya oleh Islam sehingga ini dapat menjadi bahasa resmi lebih dari 100 juta manusia di Asia Tenggara”. Tentu saja, angka ini sekarang sudah semakin bertambah. Maka, tak ada salahnya jika Naquib Al-Attas menyimpulkan, “Dengan [jumlah pengguna] ini pula bahasa Melayu-Indonesia itu harus dianggap sebagai bahasa Islam, dan mungkin merupakan yang kedua terbesar [setelah bahasa Arab] dalam dunia Islam.” Ini mengalahkan bahasa Parsi atau Urdu atau bahasa apa pun di daerah Indonesia. Hampir semua ulama atau cendekiawan di Indonesia tentu saja dipaksa menggunakan bahasa Indonesia dalam menulis buku-buku keislaman, bukan terutama bahasa Arab apalagi bahasa daerah termasuk bukan bahasa Jawa meski punya jejak keandalan semantik yang bagus.

Baca juga:  Perjuangan Kemerdekaan oleh Santri-Santri Nusantara dari Kairo (Bagian 3)

Yang perlu dicatat juga, kata Naquib Al-Attas, bahasa Melayu yang sudah terevolusi oleh semangat rasionalisme Islam menggunakan huruf Jawi sebagai medium huruf utamanya —Jawi sebenarnya sebutan dari orang Arab terhadap orang Asia Tenggara yang mengimani Islam. Bukan lagi menggunakan aksara Pallawa. Ini persis seperti bahasa Jawa dalam kitab-kitab di pesantren yang tidak menggunakan aksara Hanacaraka. Aksara Jawi adalah bagian dari proses islamisasi bahasa, sebagaimana terjadi islamisasi bahasa Arab sejak awal Islam masuk ke arena politik bahasa di kawasan jazirah Arab.

Tentu saja, sejak awal abad ke-20, dalam kebangkitan kapitalisme cetak, huruf Jawi harus kalah dengan alfabet Rumi (Latin) dalam pertarungan kuasa medium huruf bahasa. Kitab Pengetahuan Bahasa karya Raja Ali Haji juga dipaksa ditransliterasi ke alfabet Latin agar masih bisa dibaca generasi yang terhegemoni alfabet Latin. Akibat transliterasi, satu hal langsung menohok pembaca kamus yang terbiasa dengan susunan alfabet Latin: susunan lema (mufrad) tampak kacau.

Pada 12 Maret 1872, atau saat berusia sekitar 63 tahun, Raja Ali Haji menulis surat kepada koleganya, Von de Wall, yang juga sedang menulis kamus Melayu-Belanda atas sponsor pemerintah Hindia Belanda. Tulis Raja Ali Haji: “Bermula adapun kamus yang hendak diperbuat itu, yaitu bukannya seperti kamus yang seperti paduka sahabat kita itu. Hanyalah yang kita hendak perbuat bahasa Melayu yang tentu bahasa pada pihak Johor dan Riau-Lingga jua.

Baca juga:  Inilah Kisah Gus Dur Kecelakaan Bersama Kiai Wahid

Akan tetapi dibanyakkan bertambah di dalam qissah dan cerita yang meumpakan dengan kalimah yang mufrad, supaya menyukakan hati orang muda mutalaahnya, serta syair Melayu sedikit. Di dalam hal itupun memberi manfaat jua kepada orang2 yang mempikirkan perkataan dan makna bahasa Melayu pada orang yang bukan ternak Johor dan Riau dan Lingga.”

Begitulah ambisi ulama sastrawan Raja Ali Haji: membuat kamus yang tak hendak terlalu mengikuti paradigma kamus modern ala Eropa sebagaimana dikerjakan Von de Wall. Sang kamus pemula yang hendak ditulis Raja Ali Haji adalah perpaduan antara kitab linguistik bahasa Melayu dengan ilmu linguistik bahasa Arab, perbendaraan kata sebagaimana paradigma kamus pada umumnya, dan sekaligus kitab akhlak dan tauhid Sunni.

Pada bagian pertama, bukan hanya susunan lema yang tampak melompat, kamus Pengetahuan Bahasa akan menyulitkan mahasiswa (linguistik) bahasa Indonesia yang tentu tidak diajari tata bahasa Arab (nahwu dan sharaf) yang digunakan Raja Ali Haji. Pada bagian pertama kamusnya, meski enggan berpanjang, Raja Ali Haji merasa sangat perlu menjelaskan tata bahasa Arab sebagai landasan ilmu linguistik kamus bilingual Melayu-Melayunya. Bagian ini pasti bikin ribet pembaca mahasiswa bahasa Indonesia yang sudah terbiasa dengan linguistik Eropa sentris sejak di sekolah dasar.

Baca juga:  Saat Tentara Khilafah Utsmaniyah Rontok karena Wabah

Meskipun demikian, yang sangat menarik, terutama bagi santri yang pernah belajar nahwu, penerapan tata bahasa Arab kepada bahasa Melayu terkesan sangat memaksa. Posisi kelas kata dalam kalimat (mubtada’, khabar, maf’ul misal) yang bisa mempengaruhi pelafalan (pembunyian) akhir suku kata dalam bahasa Arab tidak bisa diterapkan pada kata-kata dalam bahasa Melayu. Strategi linguistik ini berbeda dengan penggunaan huruf Jawi dengan menambahkan beberapa titik untuk mengakomodasi bunyi bahasa Melayu yang tidak ada dalam bahasa Arab. Penerapan ilmu nahwu hanya bisa sampai pada tataran sintagmatik (posisi) kata yang tentu saja tidak boleh mengubah pelafalan akhiran kata sebagaimana dalam bahasa Arab.

https://alif.id/read/fauzi-sukri/kamus-melayu-islami-pertama-1-bahasa-melayu-dengan-ilmu-linguistik-arab-b244066p/