Kamus Melayu Islami Pertama (3): Tiga Ciri Khas Utama Kamus Raja Ali Haji

Sejarah mencatat: kitab Pengetahuan Bahasa Kamus Logat Melayu Johor, Pahang, Riau dan Lingga karya Raja Ali Haji (RAH) adalah kamus ekabahasa Melayu-Melayu pertama yang ditulis orang Melayu. Karya sangat ambisius terakhir RAH ini jadi kamus pemula tapi sekaligus yang terakhir dalam sejarah persuratan Melayu-Islam tanpa ada penerus yang melanjutkannya. Penyebabnya bukan hanya perubahan besar paradigma ilmu linguistik pada awal abad ke-20 dari tradisi Arab ke tradisi Eropa. Nasionalisme menjadi penentu nasib kamus Raja Ali Haji yang tak selesai digarapnya itu.

Pada 12 Maret 1872, Raja Ali Haji (RAH), cendekiawan birokrat kerajaan Melayu Riau yang berusia sekitar 63 tahun, menulis surat kepada kolega Belandanya, Von de Wall: “Bermula adapun kamus yang hendak diperbuat itu, yaitu bukannya seperti kamus yang seperti paduka sahabat kita itu. Hanyalah yang kita hendak perbuat bahasa Melayu yang tentu bahasa pada pihak Johor dan Riau-Lingga jua.

Akan tetapi dibanyakkan bertambah di dalam qissah dan cerita yang meumpakan dengan kalimah yang mufrad, supaya menyukakan hati orang muda mutalaahnya, serta syair Melayu sedikit. Di dalam hal itupun memberi manfaat jua kepada orang yang mempikirkan perkataan dan makna bahasa Melayu pada orang yang bukan ternak Johor dan Riau dan Lingga.”

Hasilnya persis seperti yang dikehendaki RAH tapi justru menjadi anomali sejak dicetak di Singapura pada 1927—hampir 60 tahun setelah RAH meninggal (± 1872). Setidaknya, ada tiga perbedaan dengan kamus modern bahasa Melayu (Malaysia) atau bahasa Indonesia. Pertama, RAH masih menggunakan tradisi ilmu linguistik Arab (nahwu) sebagai pendasaran linguistik kamusnya. Tentu saja RAH memakai huruf Jawi untuk penyusunan lema (mufrad) yang tampak berantakan susunannya saat ditransliterasi ke huruf Rumi.

Baca juga:  Kritik Mustafa Lutfi al-Manfaluti Ihwal Zaid yang Terus Memukul Amr

Pada bagian pertama kamusnya, RAH menjabarkan pengertian istilah linguistik bahasa Arab seperti isim (kata benda), fi’il (kata kerja), mubtada (subjek), huruf, dan seterusnya, dengan memberikan contoh terapannya dalam bahasa Melayu. Di Indonesia, RAH adalah yang terakhir menggunakan ilmu linguistik nahwu Arab dalam menyusun kamus bahasa Indonesia (Melayu).

Kedua, di bab kedua, RAH memberikan prioritas khusus pada lema-lema tauhid. Kata RAH, “Bermula Bab yang pertama pada menyatakan segala kalimah bahasa. Maka dimulai daripada Bab Al Alif. Maka yaitu dimulai daripada Alif Allah karena ia isim al azim bagi nama Tuhan kita Yang Maha Besar dan Maha Mulia.”

RAH memberikan penjelasan ensiklopedis pada tujuh lema penting tauhid: Allah, Ahmad dan Muhamad, Ashab (para sahabat Nabi Muhammad), Akhbar (ulama salaf terkemuka), Insan, Al Awali (dunia), dan Akhirat. Penjelasan RAH untuk tujuh lema ini berdasarkan teologi Sunni yang memang sampai sekarang mendominasi kawasan bahasa Melayu termasuk di Indonesia. “Syahdan segala manusia itu apabila mengenal makrifat yang tujuh dan pengetahuan yang tujuh yang sudah tersebut itu serta beriman akan dia niscaya sempurnalah akalnya dan berbedalah ia dengan binatang pada pihak pengetahuannya,” kata RAH.

Dalam sejarah perkamusan di Indonesia (juga Malaysia atau kawasan bahasa Melayu) sejak abad ke-19, bahkan termasuk kamus Arab-Indonesia, hanya RAH yang secara khusus memberikan prioritas pada tujuh lema tauhid teologi Sunni. Kamus-kamus yang muncul pada akhir abad ke-19 apalagi yang ditulis di masa nation-state tidak pernah memberikan prioritas khusus pada lema apa pun. Semua kata setara.

Baca juga:  Pagebluk di Mata Pujangga

Ketiga, dalam Pengetahuan Bahasa itu, cukup banyak lema diberi penjelasan yang lebih bersifat ensiklopedis. Di KBBI edisi ketiga, penulis kata pengantar sejarah singkat perkamusan di Indonesia menuduh: “Dipandang dari teknik leksikografi sekarang, Kitab Pengetahuan Bahasa itu tidak dapat disebut kamus murni, tetapi boleh dianggap sebagai kamus ensiklopedis untuk pelajar.”

Tuduhan itu mungkin ada benar. Tentu saja RAH memang tidak mau menulis “kamus murni” sebagaimana kamus Von de Wall yang tidak memuaskan RAH meski jadi informan utamanya. Lebih jauh, jika kita membaca lebih teliti lema-lema yang diberi penjelasan panjang bahkan dengan syair Melayu, kita tahu bahwa tujuan kamus adalah “supaya menyukakan hati orang muda2 mutalaahnya” dan memang sebagai kitab pedagogis keislaman.

Selain tujuh lema tauhid, RAH juga memberikan penjelasan panjang terhadap lema tertentu seperti ayok, adab, oja, bebal, bantahan, batu, bayu, bodoh, bunuh, budi, bini, berahi, tarak/tara, tapa, tawakal, tengku, nyawa, jangah, jahat, candu, cendekia. Selain lema engku yang bersifat identitas sosial politis, semua lema yang diberi penjelasan panjang itu bersifat moralistik. Ada kesengajaan dari RAH bahwa hanya lema yang terkait pedagogi (akhlak) yang akan diberi penjelasan panjang. Maka pantas jika Pengetahuan Bahasa didaulat sebagai kamus islami pertama dalam sejarah persuratan Melayu-Islam.

Baca juga:  Al-Biruni, Mencipta Teori Sains hingga Menulis Sejarah Hindu

Tiga perbedaan tajam dengan kamus modern apa pun, pada abad ke-20 bahkan sampai sekarang, membuat karya ambisius RAH tak bersambut apalagi punya penerus. Ilmu leksikografi modern dalam penulisan kamus bahasa Melayu (Indonesia) jelas sudah tidak lagi menggunakan ilmu linguistik Arab. Nasionalisme, yang menjadi penggerak utama penulisan kamus setelah era kolonialisme, berdiri di atas semua perbedaan agama dalam satu negara modern. Di Indonesia, menurut Harimurti Kridalaksana (1984), sepertiga lema dalam Pengetahuan Bahasa yang berhasil memuat 1685 kata kepala (lema) tidak pernah dimasukkan ke dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia. Kamus Pengetahuan Bahasa menjadi sang pemula tapi tertepikan dalam arus modernisasi bahasa (nasionalisme) Indonesia.

https://alif.id/read/fauzi-sukri/kamus-melayu-islami-pertama-3-tiga-ciri-khas-utama-kamus-raja-ali-haji-b244074p/