Pada suatu ketika, tiga orang santri tengah melakukan sebentuk ibadah shalat. Tiba-tiba seekor ular membuat kabur dua orang santri lainnya. Dan keesokan harinya, santri yang tersisa itu, yang tak kabur, diumumkan sebagai wakil dari sang kyai yang adalah ayahnya sendiri.
Kisah itu kiranya dapat mempertanyakan tentang keabsahan secara moral anak, atau keluarga pewaris, yang kemudian menjadi penerus dari sang pewaris. Isu “dinasti politik” ataupun “politik dinasti” rupanya belum juga pudar diterjang oleh kenyataan.
Pada kasus pewaris pesantren itu tak banyak orang paham bahwa penunjukkan wakil, yang akan meneruskan sang pewaris, ternyata tak lupa pula luput dari sebentuk ujian. Artinya, terlepas yang menjadi penerus adalah sang anak, ujian-ujian yang mesti dihadapi adalah berlaku buat siapa-saja, dalam konteks kisah tersebut, para santri sang pewaris yang dianggap mampu meneruskan sang pewaris.
Apakah kemudian, ketika yang menjadi sang penerus adalah anak sang pewaris, “imperium” yang telah dibangun adalah sebuah imperium wangsa atau dinasti meskipun sang anak juga menghadapi berbagai ujian sebagaimana santri-santri lainnya?
Tradisi dan kebudayaan di Indonesia ternyata tak memandang apa yang kini dengan mudahnya disebut sebagai “dinasti politik” adalah sebentuk cacat moral. Taruhlah di banyak pesantren Indonesia dimana, baik secara struktural maupun kultural, yang berperan adalah masih kerabat sang pewaris.
Dalam kisah wayang “Kangsa Adu Jago” terdapat sebuah kearifan bahwa isi-isi hati itu ternyata selalu menjadi dorongan sikap seseorang. Kangsa, seorang pangeran yang merupakan anak genderuwo dan ibu sampingan atau selir dari Prabu Basudewa, iri atas kekuasaan kerajaan Mandura. Bahkan pun sang raja, yang merupakan “ayah administratif” si Kangsa, dipersempit ruang geraknya. Praktis, anak-anak sah Basudewa diungsikan di sebuah desa yang bernama Widarakandhang untuk menghindari pemutusan tahapan-tahapan sejarah.
Di Widarakandhang itu anak-anak Basudewa, Kakrasana yang kelak bergelar Baladewa dan Narayana yang kelak menjadi Kresna, menghadapi berbagai bentuk kehidupan yang tak elit: menjadi orang-orang desa, bertani, kluyuran dan berdekatan dengan para rsi.
Dari kisah wayang yang lekat dengan feodalisme itu pun sebenarnya tak ada pelanggaran pada prinsip-prinsip demokrasi. Ketika demokrasi diartikan sebagai kesempatan ataupun ruang bagi siapa pun untuk berkuasa, yang artinya tentu saja dengan melewati berbagai syarat yang diperlukan, Kakrasana dan Narayana tak berarti memperoleh berbagai keistimewaan. Bayangkan dengan Kangsa yang sejak lahir seolah sudah terpangerankan di Mandura, Kakrasana dan Narayana hanyalah para pemuda desa yang akrab dengan bau kecut lumpur dan hidup dengan tantangan-tantangan yang jauh dari laiknya kehidupan para pangeran.
Pada lakon “Kangsa Adu Jago” kita pun kemudian menjadi paham bahwa plot kematian sang pangeran anak genderuwo itu ternyata berada di tangan anak-anak sah Basudewa yang telah banyak ditempa oleh kehidupan orang-orang biasa, dimana yang gadungan akan berhadapan dengan yang beneran.
Baca Juga
https://alif.id/read/hs/kangsa-dan-upaya-pemutusan-tahapan-sejarah-b248596p/