Kapan Sampean Bertemu Gus Dur Pertama Kali?

Secara kebetulan, pukul 6 tadi pagi saya bertemu dengan salah sutradara masyhur yang dimiliki negeri ini, yakni Garin Nugroho, di Solo, Jawa Tengah. Bertemu orang hebat di pagi hari, betul-betul masih pagi, rasanya seperti mendapatkan buah mangga matang yang jatuh di halaman, tidak perlu bersusah payah memanjat, bisa langsung dimakan. 

Dari Susi Ivvaty, saya tahu Garin datang ke Solo untuk menerima Doktor HC dari ISI Solo. Selamat Mas, Anda berhak mendapatkan penghargaan terbaik atas dedikasi dan kreasinya di bidang perfilman khususnya, dan kebudayaan umumnya. Sementara saya dan 40an teman-teman NU berkumpul untuk merembug hal-ihwal penulisa sejarah, terutama para ulama pesantren atau NU.

Kami berbicara sambil berdiri, sambil nyemil-nyemil makanan kecil. Karena tema “bertemu” dengan Gus Dur sudah saya pikirkan (baru dipikirkan belum ditulis) sejak tadi malam, maka saya bertanya kepada Garin:

“Mas, kapan sampean ketemu Gus Dur pertama kali?”

Saya tengok di Wikipedia, umur Gus Dur dan Garin selisih jauh, 21 tahun. Gus Dur lahir tahun 1940, sementara Garin lahir tahun 1961. Namun, keduanya berteman akrab dan saling menghargai. Termasuk saat Gus Dur menjadi presiden, Garin pernah “ditanggap” bersama Sudjio Tejo. Garin beberapa kali mention Gus Dur dalam esai-esainya, demikian pula Gus Dur. Kebetulan saya belum lama ini baca tulisan Gus Dur tahun 2002, yang dimuat dalam buku “Islamku, Islam Anda, Islam Kita”. Dalam tulisan itu, Gus Dur mengawalinya dengan obrolan bersama Garin di Bandara Adi Sucipto Jogjakarta, pertengahan tahun 2002.

Baca juga:  Sistem Negara yang Ideal Menurut Ibnu Rusydi, Khilafah atau Demokrasi?

Dalam tulisan tersebut, awalnya saya menduga Gus Dur cuma menyebut nama Garin sebagai pembuka saja. Tetapi paragraf-paragraf berikutnya nama dia sering disebut Gus Dur. Boleh dikata, dalam tulisan berjudul “Menyelesaikan Krisis Mengubah Keadaan” “lakonnya” adalah Garin. Soal begini-begini, Gus Dur memang lihai.

Saat aku tanya kapan pertemuan pertama dengan Gus Dur, Garin agak mikir. Dia seperti kaget dilempari pertanyaan begitu tiba-tiba. Sejurus kemudian dia mengaku lupa. Tetapi dia bilang sudah lama, sekitar thn 80an akhir dan bicara tentang film. Masuk akal, Gus Dur memang pernah di Dewan Kesenian Jakarta dan pernah jadi anggota juri FFI—karena ini oleh kiai-kiai Gus Dur dijuluki “Kiai Ketoprak”. Gus Dur bahkan pernah menulis esai dengan judul “Teater dan Politik Indonesia”, bercerita tentang dirinya diundang oleh Teater Populer untuk bicara dalam seminar. Di sini Gus Dur menunjukkan kelasnya sebagai “kiai ketoprak” yang tidak hanya kenal Cak Durasim, tetapi skenario teater, mitos Yunani, filsafat, politik, hingga tabiat manusia diuraikan dengan fasih. Isi persisinya seperti apa, saya harus baca lagi. Saya masih ingat, esai itu tersimpan di buku “Pergulatan Negara, Agama, dan Budaya”. Ini salah satu tulisan Gus Dur yang membuat saya berdejak kagum.

Baca juga:  Potret Perjuangan Ulama (5): Demi Ilmu, Ikhlas Jomblo

Garin, meski lupa kapan pertemu pertama kali dengan Gus Dur, bilang dengan antusias bahwa keliling-keliling ke perbagai pelosok, ke berbagai pesantren, itu luar biasa dan sangat menginspirasi. 

“Wah, itu hal yang khas dari Gus Dur, tidak banyak orang yang mampu melakukannya. Ini menginspirasi. Bukan hanya orang NU loh yang merasakan manfaat dari kegiatan keliling-kelilingnya, orang luar NU juga,” ungap Garin. 

Saya tidak tahu, apakah kegiatan keliling Garin bernyanyi dan mendongeng bersama almarhum Franky Sahliatua, terinspirasi dari Gus Dur atau tidak, tetapi yang jelas keliling-keliling Gus Dur itu membuat saya yang anak kampung mengenal Gus Dur sejak remaja. Kapan saya pertama kali bertemu, tepatnya “melihat” Gus Dur?

Saya masih ingat persis, yaitu saat acara Pengurus Cabang NU Cirebon di Kecamatan Sindanglaut. Saya yang waktu itu masih kelas 1 SMP berombong-rombong pergi ke Sindanglaut itu, dengan menggunakan mobil bak. Saya masih ingat, di sana Gus Dur menjelaskan bahwa adik-adiknya memilih partai politik berbeda-beda, PPP, Golkar, dan PDI. Gus Dur mengatakan bahwa perbedaan itu ciri khas demokrasi. Sepertinya, di situlah saya pertama kali mendengar kata demokrasi. Mewah sekali bukan, anak kampung mendengar kata demokrasi dari seorang kiai?

Saya tidak tahu catatan ini bermanfaat atau tidak untuk pembaca, tetapi saya merasa perlu menuliskannya, sebagai tanda cinta dan sejenis ungkapan rasa kangen pada Gus Dur. Kepada orang yang dicintai, kita pasti mengingat masa-masa awal kita bertemu. Jangankan kepada orang, kapan pertama kali saya makan duren saja saya masih ingat, begitu juga kapan saya pertama kali naik kereta api.

Baca juga:  Gus Dur Belajar Kepada Imam Kholil al-Farahidi

Jadi, kapan sampean bertemu Gus Dur pertama kali? Mungkin perlu dibagi, diceritakan atau dituliskan. Siapa tahu ada yang bisa diambil hikmahnya. 

6 Desember,

Solo atau Surakarta

https://alif.id/read/hamzah-sahal/kapan-sampean-bertemu-gus-dur-pertama-kali-b246457p/