Terkadang kita akan terkekeh dengan istilah-istilah kontemporer dalam kaitannya dengan agama dan kewarganegaraan, mulai “inklusivisme,” “moderatisme,” “pluralisme,” “toleransi,” dst. Bahkan sampai-sampai, seandainya tak mengenal, paham dan melakukan apa yang dirujuk oleh istilah-istilah keren itu, kita akan merasa ketinggalan zaman.
Inklusivisme adalah prinsip dan sikap untuk mengakomodasi perbedaan. Sedangkan moderatisme, pluralisme, dan toleransi, adalah prinsip-prinsip dan sikap-sikap yang erat terkait dengan istilah pertama. Istilah-istilah itu saling bderkonsekuensi antara satu dengan lainnya. Seorang yang inklusif, pelahan namun pasti, sudah dengan sendirinya akan moderat, toleran, dan pluralistik.
Ketika menyimak kehidupan dalam masyarakat Jawa tradisional, utamanya dalam masyarakat penghayat kepercayaan, atau yang pernah saya sebut sebagai kapitayan, ternyata prinsip-prinsip dan sikap-sikap tersebut sudah dilakoni sejak dahulu kala. Prinsip-prinsip dan sikap-sikap itu sudah terwariskan sejak dari para moyangnya, meskipun tak terwariskan dengan istilah-istilah sekeren “inklusivisme,” “moderatisme,” “pluralisme,” dan “toleransi.”
Dalam kebudayaan Jawa sendiri pada dasarnya orang-orang yang hidup dengannya sudah barang tentu akan mengidealkan prinsip sak madya yang ternyata memiliki kesepadanan dengan istilah “moderat.” Termasuk dalam urusan keberagamaan. Taruhlah Serat Wedhatama yang menyatakan bahwa untuk menjadi seorang muslim tak perlu, dan jelas tak mungkin, sekaligus menjadi seorang Arab.
Lamun sıra paksa nelad
Tuladhaning Kanjeng Nabi
O Ngger kadohan panjangkah
Rehne ta sira Jawi
Sathithik bae wus cukup
Aja guru aleman
Nelad kas ngeblegi pekih
Lamun pengkuh pangangkah yekti karamat
Dalam terang Serat Wedhatama permasalahannya tak terletak pada Nabi Muhammad ataupun berislam sesempurna sang nabi pamungkas itu. Tapi lebih pada bagaimana berislam tanpa tercerabut ataupun lepas dari rahim kebudayaan sendiri. Toh, belum tentu rahim kebudayaan sendiri itu bertentangan dengan pesan ataupun kiprah sang nabi. Bukankah sang nabi diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang dalam kebudayaan Jawa disebut sebagai budi pekerti?
Ketika menyimak aliran-aliran Kapitayan yang lahir dari rahim kebudayaan Jawa, titik awal sekaligus titik akhirnya adalah bagaimana membentuk seorang pribadi yang berbudipekerti. Tentu, pengertian budi pekerti ataupun akhlaq di sini tak sesempit pengertian etiket sebagaimana yang selama ini dipahami. Karena itulah dalam semua aliran penghayat yang berbasiskan budaya Jawa ditanamkan pada para pengikutnya prinsip untuk tak menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945.
Di samping itu ada pula aturan untuk tak bermaksud menggantikan agama serta tak mempersoalkan perbedaan agama, dan prinsip untuk tak nyacat kawruh liyan atau memperolok keyakinan lainnya. Sebab, dari segi keserasian yang merupakan ideal tertinggi dalam kebudayaan Jawa, penyimpangan dan pelanggaran prinsip-prinsip itu akan mengakibatkan koyak dan rusaknya diri sendiri (Marsudi sarasing sarira). Demikianlah kearifan-kearifan lokal yang merupakan warisan bangsa Indonesia, yang selama ini kerap dituding sebagai “kuno,” justru lebih dapat menyikapi perkembangan zaman.
https://alif.id/read/hs/kapitayan-dalam-perkembangan-zaman-b246794p/