Shalat Tarawih sudah ditradisikan oleh Nabi Muhammad, namun Nabi hanya menyebut sebagai qiyamul lail, tidak spesifik memberikan nama. KH. Ali Maksum Krapyak menyebutkan dalam Hujjah Ahlussunah bahwa Tarawih sunnah dikerjakan secara berjamaah menurut mazhab Syafi’iyyah dan Hanabilah. Sementara Malikiyah menganggap Tarawih pada taraf mandub (dianjurkan). Mazbah Hanafiyah menyebut jamaah Tarawih itu Sunnah Kifayah, jadi jika beberapa saja sudah mengerjakan secara berjamaah, maka yang lain tidak masalah tak jamaah.
Perbedaan-perbedaan tersebut muncul lantaran istidlal pada hadis-hadis Tarawih yang dilakukan oleh para ulama’ tidak sama. Memang ada beberapa hadis yang menjelaskan teknis shalat Tarawih. Dan semuanya memiliki perbedaan, baik dari segi periwayat maupun matannya. Bahkan hal tersebut menyebabkan perbedaan tradisi Tarawih di Indonesia. Ada yang melaksanakan Tarawih berjamaah dengan 20 rakaat, dan yang lainnya melaksanakannya 8 rakaat saja.
Menanggapi hal itu, Kiai Abul Fadhol Senori dalam kitabnya Kasyf al-Tabārīḥ fi Bayāni Ṣalat al-Tarāwīḥ menjabarkan panjang lebar terhadap diskursus Tarawih. Proses fiqh al-ḥadīṡ yang dilakukan oleh Kiai Abul Fadhol mengenai dalil salat Tarawih 20 rakaat sarat ditunjukkan dalam karangan tersebut. Mulai dari mengumpulkan hadis-hadis terkait, menemukan pertentangan (ta’āruḍ) di antaranya, meneliti makna matan (naqd al-matn), dan menarik kepahaman darinya.
Jika ditelaah, maka ditemukan bahwa kitab tersebut disusun oleh penulisnya dengan mengelompokkan beberapa masalah dalam hal salat Tarawih.
- Masalah tata cara Salat Tarawih
- Abul Fadhol mengumpulkan beberapa hadis yang membicarakan hal terkait:
- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang menghidupkan malam Ramadan maka dosa-dosanya diampuni.”
- عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ القَارِيِّ، أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى المَسْجِدِ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ، فَقَالَ عُمَرُ: «إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ، لَكَانَ أَمْثَلَ» ثُمَّ عَزَمَ، فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى، وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ، قَالَ عُمَرُ: «نِعْمَ البِدْعَةُ هَذِهِ، وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِي يَقُومُونَ» يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ
Dari Abdurrahman ibn Abdul Qori, dia berkata: “Saya keluar bersama Umar menuju masjid di malam Ramadan. Ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada yang salat sendiri dan ada seorang yang salat diikuti oleh makmum yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka ‘Umar berkata: “Aku pikir seandainya mereka semuanya shalat berjamaah dengan dipimpin satu orang imam, itu lebih baik”. Kemudian Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jamaah yang dipimpin oleh Ubay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan dipimpin seorang imam, lalu ‘Umar berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini. Dan mereka yang tidur terlebih dahulu adalah lebih baik daripada yang shalat awal malam, yang dimaksudkan untuk mendirikan shalat di akhir malam, sedangkan orang-orang secara umum melakukan shalat pada awal malam.”
KH. Abul Fadhol melakukan jam’u pada kedua hadis di atas. Ia menukil beberapa pendapat ulama’ mutaqaddimīn demi menguraikan hadis tersebut. Memang beberapa ulama’ menganggap bahwa qiyam al-lail di bulan Ramadan lebih baik dilakukan sendiri di rumah. Karena inilah yang dilakukan semasa Rasul masih hidup hingga adanya ijtihad Umar.
Beberapa ulama yang lain menganggap bahwa paling baik salat Tarawih dilaksanakan berjamaah di masjid. Sebagaimana yang diijtihadkan oleh Umar ibn Khattab secara berjamaah, sebab penghindaran Rasulullah terhadap jamaah qiyam al-lail Ramadan hanya takut dianggap wajib.
Di akhir bab, KH. Abul Fadhol berkesimpulan bahwa jamaah salat Tarawih merupakan sesuatu yang ditetapkan dan mengesampingkan anggapan bahwa jamaah Tarawih suatu yang baru dibuat (muḥdath). Dan perkataan Umar “Ni’matu al-Bid’ah Hadza” dinisbatkan terhadap “jamaah para sahabat pada satu imam” bukan “jamaah Tarawih”[1].
- Masalah jumlah rakaat salat Tarawih.
KH.Abul Fadhol mengumpulkan beberapa hadis yang membicarakan terkait hal itu:
- ما رواه ابن أبي شيبة والبيهقي في سننه عن ابن عباس رضي الله عنه قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي في شهر رمضان في غير جماعة بعشرين ركعة، والوتر
Hadis riwayat Ibn Abi Syaibah dan Baihaqi dalam sunan-nya, dari Ibn Abbas RA berkata: “Saat itu Nabi Muhammad salat di bulan Ramadan sejumlah 20 rakaat dan witir tanpa jamaah”
- وما رواه ابن حبان عن جابر: صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم في شهر رمضان ثمان ركعات ثم أوتر، فلما كانت القابلة اجتمعنا في المسجد ورجونا أن يخرج إلينا حتى أصبحنا، ثم دخلنا، فقلنا: يا رسول الله اجتمعنا في المسجد ورجونا أن تصلي بنا؟ قال:إني خشيت – أو كرهت – أن يكتب عليكم
Hadis riwayat Ibn Hibban dari Jabir: Rasulullah salat bersama kita pada bulan Ramadan sejumlah 8 rakaat dengan witir, pada hari-hari berikutnya banyak sahabat berkumpul dan berharap Rasulullah datang ke masjid. Ketika beliau datang para sahabat bertanya, “Ya Rasulallah kami berkumpul di masjid dan berharap Anda salat dengan kita.” Rasul menjawab, “Aku takut hal ini menjadi wajib bagi kalian.”
- وما رواه البخاري وغيره عن عائشة رضي الله عنها أن أبا سلمة بن عبد الرحمن سأل عائشة رضي الله عنها : كيف كانت صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟ قالت: ما كان يزيد في رمضان وغيره على إحدى عشرة ركعة، يصلي أربعا، فلا تسأل عن حسنهن وطولهن، ثم يصلي أربعا، فلا تسأل عن حسنهن وطولهن، ثم يصلي ثلاثا فقلت: يا رسول الله أتنام قبل أن توتر؟ فقال: «يا عائشة، إن عيني تنامان ولا ينام قلبي.
Hadis riwayat Bukhari, dari Aisyah bahwa Abu Salamah ibn Abdurrahman bertanya kepada Aisyah: “Bagaimana salat yang dilakukan Rasulullah?” Aisyah menjawab, “Rasulullah tidak salat malam melebihi 11 rakaat pada bulan Ramadan atau lainnya , beliau salat 4 rakaat—jangan tanya soal bagus dan panjang salatnya. Kemudian salat 4 rakaat lagi—jangan tanya soal bagus dan panjang salatnya. Kemudian salat witir 3 rakaat. Lalu saya tanya?, “Ya Rasul, apakah seuasi witir anda tidur?” Jawab beliau,” Aisyah, kedua mataku bisa tidur, sedang hatiku tidak.”
Ketiga hadis tersebut dikritik oleh KH. Abul Fadhol bahwa keempat riwayat hadis tersebut, yakni Ibn Abi Syaibah, Baihaqi, Jabir, dan Aisyah memiliki perbedaan. Secara zahir memang jelas bahwa hadis-hadis di atas mempunyai perselisihan. Satu hadis mengatakan Tarawih 20 rakaat tanpa jamaah, sementara hadis lain mengatakan 8 rakaat tambah witir dengan jamah. Akhirnya, beliau berkesimpulan bahwa ketika dalil hadis-hadis tersebut saling bertentangan maka gugur lah kehujahannya[2].
Beliau juga memberi rincian kritik terhadap hadis Jabir. KH. Abul Fadhol menganggap bahwa hadis riwayat Jabir terdapat iḥtimal (ketidakpastian). Tidak dapat dipastikan bahwa Jabir datang ke masjid, kemudian melihat Rasulullah salat sejumlah delapan rakaat. Bisa jadi hanya itu yang ia laksanakan, padahal bisa jadi juga Rasulullah salat lebih dari itu. Di sisi lain, ia terlanjur mengabarkan bahwa Rasul salat delapan rakaat.
[1] أبو الفضل السنوري، “كشف التباريح في بيان صلاة التراويح”، (مكتبة الفضلي: توبان، بلاتاريخ)، 5-6.
[2] أبو الفضل السنوري، “كشف التباريح في بيان صلاة التراويح”، (مكتبة الفضلي: توبان، بلاتاريخ)، 9-11.
فهذه الأحاديث الأربعة على تعارضها لا تخلو عن مقال في إسناد بعضها، وعن احتمال في البعض الآخر. وإذا تعارضت الأدلة تساقطت ووجب العدول إلى غيرها، وكذا إذا طرأ الاحتمال على وقائع الأحوال كساها ثوب الإجمال وسقط بها الاستدلال. فإذا عرفت ذلك فاعلم أن حديث ابن عباس المذكور ضعفه البيهقي وغيره، وأنه مع ضعفه معارض بالأحاديث الثلاثة المذكورة، فلا تقوم به الحجة