Katrem  

Yen makaten kula boten mijil

Sampun eca neng ngriki kewala

Boten wonten sangsayane

Tan niyat mangan turu

Boten ngelih pan boten arip

Boten ngraos kangelan

Boten ngeres linu

Amung nikmat lan mupangat…

 —Serat Bimasonya

Agama dan kepercayaan, ketika dilihat dari sudut-pandang psikologi, ternyata sama sekali tak bertujuan sosial—atau setidaknya, ketika pun apa yang menjadi tujuan sosial itu dapat dicapai adalah dalam rangka untuk memenuhi kepuasan pribadi. Barangkali, secara psikologis, tak ada telaah dan penelitian yang sekomprehensif dan sekaligus adil mengenai pengalaman-pengalaman keagamaan seperti yang dilakukan oleh William James.

James, seperti halnya ilmuwan Barat ketika itu, bukanlah seorang yang religios atau bahkan benar-benar orang yang beriman—setidaknya ketika ukuran dan prinsip James itu dikenakan pada dirinya sendiri yang percaya bahwa tetek-bengek iman itu tak dapat diukur. Dengan kata lain, James adalah seorang agnostis.

Keadilan dan kesejahteraan sosial konon dipercaya juga sebagai salah satu ruh sekaligus tujuan agama dan kepercayaan. Namun, menurut telaah dan penelitian James, ini semua tetaplah dalam koridor pemenuhan kepuasan pribadi.

Ada sebuah prinsip yang kemudian menjadi laku para penganut Buddhisme Nichiren Soshu yang disebarkan oleh Sang Nichiren yang memiliki ajaran utama bahwa kebahagiaan orang lain adalah kebahagiaanku sendiri. Maka, dari prinsip dan laku ini, terkenalah apa yang menjadi karakter khas Buddhisme Nichiren Soshu yang mengedepankan watak filantropis par excellence.

Dalam agama-agama yang lain pun prinsip yang mendasari watak filantropis ini juga lekat dan seolah menjadi karakteristik orang yang religios. Tak kurang dari Bunda Theresa, Abu Dzar al-Gifari, dst., hanyalah beberapa teladan atas citra umum agama dan orang yang beragama yang berjiwa sosial.

Baca juga:  Mengapa Umat Islam Mundur dan Suka Membangga-banggakan Kejayaan Masa Lalu

James, melalui tilikan psikologis, tanpa bermaksud untuk mereduksi agama, pada dasarnya memberikan suluh bahwa sesosial-sosialnya sebuah tendensi tetap saja dalam agenda untuk memenuhi kepentingan pribadi. Dalam kasus mutakhir tak salah ketika beberapa waktu yang lalu sebuah institusi filantropis, Aksi Cepat Tanggap (ACT), menjadi sorotan publik.

Setelah ACT diduga terlibat upaya pendanaan terorisme terungkap pula bahwa mereka juga laiknya korporasi yang bergaji tinggi yang seolah mematahkan asumsi umum selama ini tentang filantropisme. Tak perlu saya kiranya di sini bersikap dekonstruktif terkait dengan ide dasar yang melatari filantropisme yang sama sekali tak menggairahkan: “cinta.” Cukuplah tilikan James yang komprehensif dan adil tentang pengalaman-pengalam agama menyingkapkan kesilapan orang dalam memahami sebuah pengalaman yang secara natural bersifat tunggal dan unik atau tak terbandingkan.

Karena itulah James, dalam membahas agama, tak membahasnya secara abstrak seperti halnya sebuah konsep, tapi  meniliknya melalui pengalaman atau hal-hal yang dialami yang tentu saja bersifat kongkrit. Dengan demikian, tak salah ketika James mengatakan bahwa agama adalah sebuah peristiwa yang bersifat tunggal dan individual (dhewek) karena yang ditiliknya adalah pengalaman-pengalamannya dan bukannya agamanya.

Saya tak dapat membayangkan bagaimana nasib kecenderungan-kecenderungan yang ingin mendudukkan watak sosial agama sesudah menyelami tilikan James. Tak adakah keraguan sedikit pun atas gagasan besar semisal “kiri Islam,” “teologi pembebasan,” “Islam progresif,” “Katolik progresif,” “Islam sosial,” dst.?

Baca juga:  Malam Takbiran: Gus Dur, Andre Moller…

Dalam kisah pewayangan kiranya tak ada perlambang yang cukup inspiratif tentang watak keagamaan, yang bagi pecandu “sosialisme,” dinilai individualistik, eskapis, dan tentu saja tak revolusioner: Dewa Ruci.

Dalam lakon yang pernah digubah oleh pujangga agung penganut tarekat Syattariyah ini, R.Ng. Yasadipura II, watak revolusioner seorang Bima, yang bergelar pula sebagai Kusumadilaga atau yang tak terkalahkan dalam perang, secara pengalaman memudar seiring penyingkapannya pada kejaten.

Dalam kebudayaan Jawa orang mengenal istilah katrem yang mengandung pengertian terhanyut yang secara paradoksal justru menenteramkan sehingga orang lebih menerimanya daripada menolaknya.

Di dalam sebuah samudera, antara hidup dan mati, Bima justru merasakan pengalaman “nikmat lan mupangat” ketika dirinya terhisap ke dalam jagat Sang Nawa Ruci yang ukuran tubuhnya 10 kali lipat lebih kecil.

“Kalau begitu tak hendak saya keluar

Sudah enak di sini saja

Tak ada deritanya

Tak ingin makan dan tidur

Tak lapar dan tak mengantuk

Tak merasakan perjuangan

Tak capek dan tak linu

Hanya nikmat penuh manfaat…”

Dari upaya penolakan Bima pada Sang Nawa Ruci yang menginginkannya segera kembali untuk menuntaskan dharmanya sebagai seorang ksatria itu, tersingkap pula keadilan telaah seorang William James atas apa yang dinilai sebagai pengalaman-pengalaman keagamaan yang bersifat individualistis dan eskapis selama ini.

Baca juga:  Bagaimana Fikih Menghisab Eks Korputor yang Nyaleg?

Watak-watak keagamaan yang selama ini tak dapat diukur, yang begitu dibenci oleh para revolusioner dan para radikalis, yang barangkali juga menyebabkan mewabahnya ateisme, di mata James ternyata absah untuk memiliki nilai. Setidaknya, itu semua dapat bernilai dari manfaatnya.

Orang boleh terbuai oleh revolusi industri 4.0 sehingga dukun-dukun tak lagi laku, orang boleh terkesima pada evolusi lebih lanjut dari otak manusia sehingga doa-doa tak lagi bermakna, orang boleh terkerangkeng oleh kemajuan dan kecanggihan sains dan teknologi sehingga wali-wali tak lagi berfungsi, orang boleh meragukan atau bahkan sama sekali tak percaya pada yang gaib, namun demikian, bagi seorang James yang agnostis, suka atau tak suka, ternyata itu semua memiliki manfaat. Dan ketika agama tak dapat punah hingga detik ini, sudah barang tentu itu semua berkat manfaatnya.

https://alif.id/read/hs/katrem-b244494p/