Kawruh Rasuk dan Deradikalisasi

Kebudayaan Jawa, dan tentunya sebagaimana kebudayaan-kebudayaan tradisional lainnya, cukup karib dengan radikalisme dan terorisme. Setidaknya, saya menemukannya dalam salah satu cerita dalam pagelaran wayang kulit: “Aswatama Nglandhak.” Dari kisah yang terjadi pasca perang besar Bharatayuda ini saya menemukan bahwa sebenarnya radikalisme dan terorisme bukanlah masalah yang bersifat partikular, menyangkut konteks lokal tertentu, entah ekonomi atau bahkan politik.

Ternyata, ia adalah masalah mendasar kemanusiaan yang bersifat universal. Ia terkait erat dengan gejala psikologis tertentu: melankolia (“Petaka Melankolia dan Sekelumit Bom Surabaya,” Heru Harjo Hutomo, dlm., Merawat Ingatan Merajut Kemanusiaan, idenera.com & Kanisius, Surabaya, 2018).

Berdasarkan kisah klasik dalam pagelaran wayang purwa itu radikalisme dan terorisme adalah suatu hal yang pada dasarnya tak dapat dikalkulasikan. Singkatnya, ia adalah suatu hal yang irasional. Irasionalitas ini dikarenakan radikalisme dan terorisme adalah juga suatu hal yang terkait erat dengan psikologi manusia. Jadi, ketika kita meletakkan radikalisme dan terorisme secara holistik ternyata tak sekedar ideologi, politik, ekonomi dan agama yang muncul ke permukaan terkait dengan perkara yang melatarinya, tapi juga menyangkut perkara kejiwaan.

Atas dasar perspektif tersebut, saya kira patut diulas dan dielaborasikan lebih lanjut perihal kawruh rasuk yang merupakan salah satu kearifan lokal bangsa Nusantara dalam kaitannya dengan diagnosis atas radikalisme dan terorisme. Kawruh rasuk, saya kira, dapat menjadi sebentuk upaya deradikalisasi radikalisme dan terorisme.

Kawruh rasuk sendiri merupakan, dalam istilah saya, metode dalam mendiagnosis kecenderungan-kecenderungan manusia yang lekat dengan Kyai Wusman, seorang “kyai desa” yang merupakan guru dari R.Ng. Ronggawarsita (Sangkan-Paran, Heru Harjo Hutomo, Bintang Pustaka Madani, Yogyakarta, 2021). Pada dasarnya, dari perspektif kawruh rasuk ini, kehidupan manusia sudah berada pada jalurnya. Karena itu segala kecelakaan atau kesialan yang terjadi padanya dipicu oleh adanya ekstrimisitas.

Baca juga:  Arab Saudi yang Semakin “Metro-Profan” 2 (Bagian Akhir)

Kehidupan manusia ditandai oleh adanya gerak dan gerak ini selalu didasarkan pada rasa enak. Seorang yang berupaya menjadi alim atau berilmu adalah dalam rangka mencari rasa enak tersebut. Sebab, tak mungkin orang mencari ilmu tanpa dilatari oleh rasa enak: menjadi guru, bekerja yang layak, dst. Demikian pula sebaliknya, seseorang menjadi penjahat atau teroris sekali pun adalah juga karena rasa enak: jalan pintas pada hasrat yang diinginkan. Kecelakaan atau kesialan atau segala hal yang tak enak, karena itu, terjadi karena rasa enak tersebut tak dapat digayuh.

Iklan – Lanjutkan Membaca Di Bawah Ini

Dalam warisan catatannya, Kyai Wusman mendasarkan segala telisikannya tentang kehidupan seorang anak manusia pada beberapa pertanyaan mendasar yang ketika ditautkan pada problem radikalisme-terorisme mengerucut pada satu motif: rasa enak dan tak enak. Beberapa pertanyaan mendasar Kyai Wusman yang dapat dijadikan media deradikalisasi itu adalah:

(1) kenapa aku bergerak?, (2) kenapa aku memiliki keinginan?, (3) kenapa aku marah?, (4) kenapa aku menerima?, (5) kenapa aku menggerutu?, (6) kenapa aku sabar?, (7) kenapa aku berbudi buruk?, (8) kenapa aku berbudi baik?, (9) kenapa aku jujur?, (10) kenapa aku bohong?, (11) kenapa aku suka?, (12) kenapa aku benci?, (13) kenapa aku bahagia?, (14) kenapa aku susah?, (15) kenapa aku suntuk?, (16) kenapa aku bersemangat?, (17) kenapa aku tidur?, (18) kenapa aku terjaga?, (19) kenapa aku lupa?, (20) kenapa aku ingat?, (21) kenapa aku sakit?, (22) kenapa aku sehat?, (23) kenapa aku hidup?, (24) kenapa aku mati?.

Seorang yang radikal sudah barang tentu beranjak dari rasa tak enak untuk menuju atau mencari yang enak. Ia memilih memeluk radikalisme dan menjadi seorang yang radikal karena merasa tak enak dan dengan radikalisme itu ia merasakan suatu keenakan. Demikian pula dengan terorisme, seseorang melakukan aksi terorisme adalah karena ia merasa tak enak dan dengan aksi terorismenya itu ia merasakan sesuatu yang enak.

Baca juga:  “Mulat Sarira” Sebagai Sebentuk Moderasi

Ketika sudah diasumsikan bahwa motif utama radikalisme-terorisme adalah beranjak dari rasa yang tak enak untuk mencari yang enak, deradikalisasi dapat dilacak melalui proses perenungan laiknya seorang psikolog klinis yang mencoba menemukan kembali makna hidup sang klien. Sebab, ujung terjauh dari kehidupan seorang anak manusia adalah menemukan apa yang menurutnya sebuah makna hidup. Bahkan pun ketika baginya tak ada makna hidup, ketakbermaknaan itulah yang merupakan maknanya.

Seorang yang radikal lazimnya akan berpandangan bahwa dunia yang mengitarinya sebagai sesuatu yang salah atau tak selaras dengan keyakinan yang dipeluknya. Konflik inilah yang kemudian menyebabkan seseorang merasa tak enak dan untuk selanjutnya akan menggunakan berbagai cara agar dunia yang mengitarinya tersebut sesuai dengan keyakinan yang pada dasarnya adalah hasratnya semata.

Ketika menurutnya rasa tak enak yang bersumber dari dunia yang mengitarinya tersebut sudah sesuai dengan hasratnya, dengan balutan ideologi tertentu, maka ia pun akan merasa enak alias hidupnya menjadi lebih bermakna. Tapi benarkah dunia yang mengitarinya itu tak enak dan adakah jaminan bahwa kelak ketika dunia yang mengitarinya tersebut sudah seturut dengan keyakinan atau hasratnya ia sekonyong-konyong akan merasa enak?

Kyai Wusman, dalam hal ini, menyatakan bahwa rasa enak dan tak enak sesungguhnya berderajat dimana aksi-aksi yang kemudian mengikutinya (tandang tumandang) juga berderajat. Ketika seseorang itu sudah bertaraf radikal, rasa enak yang ditimbulkannya akan pula diikuti rasa tak enak yang jauh lebih tak enak.

Baca juga:  Masih Pentingkah Filsafat untuk Peradaban

Sebab, di samping ia bentrok dengan keyakinan atau hasratnya yang tak terpenuhi, ia sudah pasti juga akan bentrok dengan orang lainnya yang rasa enak dan tak enaknya berbeda dengan dirinya. Dalam hal ini berlakulah apa yang dalam etika sosial kerap dibahasakan bahwa kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain. Dengan demikian benarkah menjadi seorang yang radikal dan bahkan menjadi seorang teroris itu enak hanyalah isapan jempol belaka.

Taruhlah, dengan menjadi seorang yang radikal—dengan bersembunyi di balik ideologi agama tertentu—hidupnya akan merasa dekat dengan Tuhan dan kebenaran dengan janji-janji surgawi yang menggiurkan. Adakah jaminan bahwa seandainya hal itu benar ia pun akan merasa enak? Bagaimana ketika dalam prosesnya saja banyak melahirkan rasa tak enak, rasa tak enak karena konflik batin dan konflik sosial sekaligus, dan kelak akan berakhir enak?

Hasil yang dapat dipetik dari diagnosis diri ala kawruh rasuk Kyai Wusman ini adalah bahwa seandainya motif utama radikalisme-terorisme rasa enak dan rasa tak enak, maka menjadi seorang yang radikal atau bahkan seorang teroris sekali pun bukanlah jawabannya. Karena itu, kawruh rasuk Kyai Wusman adalah sebentuk moderatisasi diri agar orang tak berlebihan atau ekstrim yang menyebabkan masihnya kehidupan seseorang merasakan enak dan tak enak. Dengan kata lain, ia masih dapat terlibas oleh keadaan.

Maka ketika ditautkan pada problem radikalisme-terorisme, bukannya melibas keadaan yang baginya bobrok, justru dalam hal ini para teroris itu tengah dilibas oleh keadaan. Singkat kata, mereka tengah mengada-ada atau mengadakan sesuatu yang sebenarnya tak ada.

https://alif.id/read/hs/kawruh-rasuk-dan-deradikalisasi-b239173p/