Oleh Ulil Abshar Abdalla, Pengasuh Ngaji Ihya’ Ulumiddin dan Misykatul Anwar Online
RumahBaca.id – Dalam literatur tentang sejarah fikih/hukum Islam (“genre” ini sering disebut sebagai “tarikh al-tasyri’“), Imam Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Tabari (w. 310H/923 M) sering disebut sebagai seorang “mujtahid mustaqill/muthlaq”; seorang mujtahid yang independen, tidak berafiliasi dengan mazhab mana pun. Dia adalah pendiri mazhab sendiri dalam bidang hukum Islam: mazhab Tabariyyah.
Hanya saja, mazhab ini tidak seberuntung mazhab-mazhab lain: ia punah setelah tahun 400-an Hijriyah. Dengan kata lain, mazhab ini hanya hidup dan bertahan kira-kira seratus tahun saja. Setelah itu hilang, karena tidak ada penerus yang merawat mazhab ini. Walau mazhab ini punah, karya-karya al-Tabari tetap bertahan hingga sekarang, menjadi warisan pemikiran yang terus dikaji, bahkan menghiasi rumah-rumah umat Islam sebagai “dekorasi”, layaknya keramik mahal dari China. Salah satu karya al-Tabari yang paling populer dan luas dibaca hingg sekarang adalah tafsirnya yang amat “massive” (dalam pengertian: tebal luar biasa), yaitu Tafsir al-Tabari. Judul resmi tafsir ini adalah: Jāmiʿ al-Bayān ʿAn Taʾwīl Āyi-l-Qurʾān. Dalam edisi modern yang di-tahqiq Dr. Al-Turki, tafsir ini terbit dalam dua puluh empat jilid.
Edisi terbaik tafsir ini, menurut saya, adalah yang dikerjakan oleh sarjana dan ulama besar Mesir, Syaikh Mahmud Muhammad Syakir. Sayang sekali, dia keburu wafat sebelum berhasil menuntaskannya. Dia hanya berhasil men-tahqiq tafsir ini hingga Surah Ibrahim (surah ke-14), dan terbit dalam enam belas jilid.
Salah satu keajaiban al-Tabari disebutkah oleh Syaikh Muhammad ibn Alawi al-Maliki (w. 1425 H/2004 M), seorang ulama besar Sunni yang tinggal di Mekah dan memiliki banyak murid dari Indonesia, dalam kitabnya yang berjudul “Sharīat al-Lāh al-Khālida“. Saat ini Kiai Aniq Muhammadun, pengasuh Pesantren Mamba’ul Ulum, Pakis, Pati (Jawa Tengah), membaca kitab karangan Syaikh Muhammad itu sebagai bahan pengajian harian, setiap usai salat subuh, dan disiarkan secara online melalui page FB pesantren tersebut. Monggo yang tartarik mengikuti, sila menyimaknya di FB.
Mengutip dari kitab “al-Ṣilah” karya Abu Muhammad al-Farghani (w. 362 H), sahabat dekat Imam al-Tabari, Syaikh muhammad al-Maliki menyebutkan keajaiban berikut ini. Sebagian murid-murid al-Tabari ada yang berusaha menghitung seluruh karya yang pernah ditulis oleh al-Tabari, kemudian dibagi dengan jumlah umurnya, yaitu 86 tahun. Hasilnya adalah berikut ini: setiap hari, Imam al-Tabari paling tidak menulis rata-rata empat-belas kertas bolak-balik. Dengan kata lain: dua puluh delapan halaman. Dan ini ia lakukan non-stop sepanjang hidupnya.
Al-Tabari meninggalkan karya yang amat banyak sekali. Tiga di antaranya sangat masyhur: pertama adalah tafsir di atas. Kedua adalah kitab sejarah yang dikenal sebagai “Tārikh al-Ṭabarī” (judul aslinya adalah “Tārikh al-Rusul wa al-Mulūk” [Sejarah para Rasul dan Raja]). Dalam edisi modern yang dikerjakan oleh Muhammad ibn Abu al-Fadl Ibrahim, kitab ini terbit dalam sebelas jilid. Ketiga adalah “Tahdhīb al-Āṯhār”, sebuah kitab koleksi hadis dalam “genre” yang dikenal dengan “musnad”, yaitu kitab kumpulan hadis yang disusun secara alfabetik berdasarkan urutan nama para sahabat Nabi yang menjadi sumber periwayatan. Dalam “genre” ini, tentu saja yang paling dikenal adalah kitab musnad karya Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H/855 M) dan populer dengan nama “Musnad Ibn Hanbal”.
Amat disayangkan, Imam al-Thabari keburu wafat sebelum berhasil menuntaskan kitab ini. Ia hanya berhasil menulis hingga ke nama seorang sahabat besar: Ibn Abbas. Karya ini dianggap sebagai salah satu kitab koleksi hadis terbaik, meskipun tidak sepopuler koleksi Bukhari-Muslim.
Apa poin tulisan ini? Poin utamanya adalah satu saja: umat Islam mewarisi tradisi pengetahuan yang luar biasa kaya. Salah satunya tergambar dalam warisan imam besar bernam Ibn Jarir al-Tabari. Ada ribuan ulama lain seperti al-Tabari yang menitikkan penanya di atas jutaan lembar kertas, dan menghasilkan ratusan ribu jilid kitab. Umat Islam adalah “the nation of knowledge“, bangsa yang mencintai dan memproduksi pengetahuan yang luar biasa kaya.
Etos pengetahuan ini harus kita rawat dan kembangkan hingga kapan pun.***
Jumat berkah! Selamat menyantap sarapan, manteman. Jangan lupa: handuk coklat dan kopi!