Kebenaran Tidak Selamanya Berupa Kemenangan

Laduni.ID, Jakarta – Bagaimana memahami sebuah kekalahan politik dalam perspektif sejarah Islam? Jika dikaji lebih mendalam, maka kita akan mendapati serpihan yang menarik: kebenaran tak selamanya berupa kemenangan, sebagaimana kekalahan tak otomatis mengonfirmasi sebuah kesalahan.

Sejarah Nabi Muhammad dan keluarganya malah begitu pilu untuk dituturkan. Mari kita simak bersama agar kemenangan tak membuat kita menjadi jumawa, sedangkan kekalahan tak membuat kita berlarut dalam nestapa.

Abu Sufyan bin Harb adalah salah satu pemuka suku Quraisy yang pada awalnya sangat menentang Islam. Sejarah mencatat kekejaman dan kekejian yang dilakukan Abu Sufyan terhadap Nabi Muhammad dan para sahabat beliau. Dia juga pernah mengadakan persekutuan jahat dengan pemimpin Quraisy lainnya dengan membuat surat pernyataan memboikot Bani Hasyim, dengan tidak mengadakan hubungan perkawinan dan jual-beli. Padahal kita tahu Rasulullah SAW berasal dari Bani Hasyim.

Kekejaman Abu Sufyan dan konconya itu membuat Nabi Muhammad pergi berhijrah ke Madinah. Sementara kita tahu, Abu Sufyan adalah seorang saudagar kaya raya yang biasa memimpin kafilah berdagang.

Diceritakan oleh Muhammad Husein Haekal dalam Buku Hayatu Muhammad, bahwa suatu saat Rasulullah SAW mendengar Abu Sufyan melintasi area dekat Madinah dan beliau berusaha mencegat kafilah Abu Sufyan tersebut. Lalu Abu Sufyan meminta bantuan kepada penduduk Makkah. Gara-gara Abu Sufyan inilah, maka terjadi Perang Badar, di mana pasukan Nabi Muhammad SAW meraih kemenangan.

Wafatnya sejumlah pemuka suku Quraisy saat Perang Badar membuat Abu Sufyan memegang kendali penuh. Abu Sufyan yang memegang panji Al-Uqab dari suku Quraisy. Dialah pemimpin pasukan musuh saat terjadi Perang Uhud yang berujung pada kekalahan pasukan Nabi Muhammad SAW. Saat Perang Uhud itulah paman Nabi, Hamzah, dibunuh secara keji oleh Wahsyi, budak Hindun yang merupakan istri Abu Sufyan. Komplit sudah betapa bengisnya!

Tatapi, kemudian Abu Sufyan masuk Islam dalam peristiwa Fathu Makkah, ketika pasukan Nabi memasuki kota Makkah tanpa perlawanan. Dari sudut ini, jelas Abu Sufyan telah kalah. Namun sejarah selanjutnya berbalik arah. Muawiyah, anak Abu Sufyan, yang meraih kemenangan dalam panggung sejarah sepeninggal Nabi.

Muawiyah bin Abu Sufyan menjabat Gubernur Damaskus selama 20 tahun. Muawiyah memerangi pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam Perang Shiffin. Ibn Khaldun dalam Al-Muqaddimah mengatakan bahwa kedua sahabat Nabi ini telah berijtihad, dan harus kita hormati, meski kebenaran sejatinya berada di pihak Ali. Namun Kitab Tarikh Al-Khulafa Imam Suyuthi bercerita bagaimana dengan cerdik pasukan Muawiyah yang hampir kalah mengangkat Mushaf Al-Qur’an di ujung pedang mereka dan meminta perundingan.

Ali bin Abi Thalib paham bahwa ini hanya taktik belaka, dan meminta pasukannya terus menggempur Muawiyah. Namun, atas nama mencintai Mushaf Al-Qur’an, pasukan Ali menjadi ragu melanjutkan pertempuran. Taktik “kotor” Muawiyah akhirnya berhasil. Terjadilah gencatan senjata dan perundingan yang berakhir tragis untuk pasukan Khalifah Ali, sang menantu Nabi.

Sejarah berlanjut, Muawiyah juga berhasil meminta Khalifah Hasan, cucu Nabi, mengundurkan diri dari jabatan khalifah dan menyerahkannya kepada Muawiyah. Lalu Muawiyah menunjuk anaknya, Yazid, sebagai Khalifah. Tragedi menyedihkan sepanjang zaman kemudian terjadi. Pasukan Yazid dengan kejam membunuh Sayyidina Husein, cucu Nabi, di Karbala. Akhirnya kepeimimpinan penuh umat Islam saat itu di bawah Dinasti Umayyah yang berkuasa selama 90 tahun.

Kita lihat sejarah telah ditulis dengan tinta pilu. Pada masa Nabi, Abu Sufyan menyerah kalah dan masuk Islam. Namun setelah itu, keturunan Rasulullah SAW mengalami kekalahan secara politik dan hukum. Sedangkan keturunan Abu Sufyan berkuasa dengan gagah perkasa. Siapakah yang sebenarnya menang dan siapa yang sejatinya kalah? Demikianlah Tuhan “bekerja” dengan misterius.

Jangankan politik yang terjadi pada masa kekhilafahan Islam, bahkan sejarah para Nabi pun banyak yang berujung pada kekalahan. Nabi Yahya dipenggal kepalanya. Nabi Zakaria digergaji tubuhnya saat bersembunyi di dalam pohon. Nabi Isa dikhianati  muridnya sendiri. Apakah berarti ketiga Nabi tersebut dan juga Imam Ali, Sayyidina Hasan, Sayyidina Husein, dan keturunannya yang kalah secara politik dan hukum lantas kita anggap bersalah, dan lawan-lawan mereka yang menang kita anggap berada dalam kebenaran? Tentu tidak demikian, bukan?!

Masalahnya tidak sesederhana itu. Kekalahan dan kemenangan politik di dunia belum tentu memiliki nilai yang sama kelak di depan Allah SWT. Orang bijak selalu percaya ada hikmah di balik semua peristiwa. Maka, kearifan menjadi penting: tidak jumawa saat berkuasa, dan tidak berputus asa saat mengalami kekalahan. Toh, pada akhirnya Dinasti Umayyah pun tumbang. Kekuasaan tidak ada yang abadi! []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 21 Juni 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Prof. Nadirsyah Hosen

Editor: Hakim

https://www.laduni.id/post/read/72366/kebenaran-tidak-selamanya-berupa-kemenangan.html