Laduni.ID, Jakarta – Para ulama terdahulu sangat dekat dengan satra Arab, sya’ir, qasidah, dan sebagainya. Hal itu sebabkan karena para ulama tidak ingin menyisakan waktu kosong bagi kegiatan yang tak bermanfaat. Sehingga para ulama sangat dekat dengan sastra Arab.
KH Abdul Wahab Hasbullah, seorang yang cerdas, organisatoris, salah satu pendiri Nahdlatul ulama pernah mengutip bait sya’irberbahar thawil yang berbunyi:
Idzaa lam yakun naf’un lidzil ilmu wal hijaa, famaa huwa baynan naasi illaa kajaahili
Kadzaaka idzaa lam yanfa’il mar’u ghoirohu, yu’addu kasyaukin bayna zahril chamaayili
“Jika orang berilmu tidak bisa memberi manfaat bagi orang lain, maka keberadaannya sama halnya dengan orang bodoh.
Begitu pula bila seseorang tidak bermanfaat bagi orang lain, maka ia bagaikan duri di antara bunga mawar.”
Dari syair ini bisa diketahui betapa inginnya Mbah Wahab menjadi sosok yang berguna, perjuangannya untuk NU, Indonesia, dan Islam Ahlussunah wal Jamaah seakan tak memiliki akhir. Mbah Wahab pun benar-benar berakhir tepat empat hari setelah Muktamar NU ke-25 pada 1971 di Surabaya, beliau meninggal duni karena sakit yang dideritanya.
Putra Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahid Hasyim pernah menyusun sebuah syair yang senada dengan kutipan Mbah Wahab. Berbahar Thawil dan sama-sama menambakan menjadi orang yang bermanfaat.
Idzaa faatanii yaumun walam ashthoni’ yadan, wa lam aktasib ilman famaa dzaaka min umrii
“Ketika hari-hari kulewati, sementara aku tak melakukan apapun.
Dan pula tak bertambah ilmu, maka apa guna umurku ini.”
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam beberapa kesempatan juga seringkali mengingatkan masyarakat agar tidak menyianyiakan waktu dengan hal yang tak bermanfaat. Gus Dur menggunakan syair berbahar kamil dalam mengingatkan masyarakat:
Waladatka ummuka yabna aadama baakiya, wan naasu haulaka yadlhakuuna suruuro
Fajhad linafsika an takuuna idzaa bakau, fii yaumi autika dloohikan masruuro
“Ibumu melahirkanmu dalam keadaan engkau menangis, sementara orang-orang tertawa bahagia atas kelahiranmu.
Maka berjuanglah agar ketika engkau mati dalam keadaan berbahagia (membawa banyak amal saleh), orang-orang menangisi kepergianmu (merasa kehilangan).”
KH Ahmad Djazuli Utsman, pendiri Pesantren Al-Falah Ploso Kediri juga seringkali mengutip sebuah syair, salah satunya saat mewasiatkan kepada anak-keturunannya supaya hidup rukun. Syair berbahasa Arab yang dikutip oleh KH Ahmad Djazuli Utsman ini juga dikutip dalam kitab al-Akhlaq Lin Banaat, berikut syairnya:
Akhooka akhooka inna man laa akhon lahu, kasaa’in ilal hayjaa bighoiri silaahi
“Jagalah hubungan persaudaraan di antaramu.
Sesungguhnya orang yang tak memiliki saudara itu, bagaikan pergi ke medan perang tanpa membawa senjata.”
KH Baqir dari Pesantren Tarbiyatuth Tholabah Kranji Paciran, Lamongan juga sering melantunkan syair berbahasa Arab tentang pentingnya beristiqamah. Berikut syair berbahar kamil ini:
Haitsumaa tastaqim yuqoddir lakal Laa, hu najaahan fii ghobiril azmaani
“Sekira engkau mau beristiqomah, Allah akan takdirkanmu mendapatkan keberhasilan di masa depan.”
Berbeda halnya dengan KH Hasan Abdul Wafi yang berasal dari Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo. Beliau memiliki kecintaan terhadap NU berbeda darei ulama yang lain, beliau sampai menyusun sebuah qasidah tentang NU ke dalam beberapa bait.
Allahumma sholli ‘alaa sayyidinaa Muhammad
Sholatan turoghghibu wa tunasysyithu
Wa tuhammisu bihal jihad li ihya’ wa I’laai dinil islam
Wa idlhaari sya’aairih ala thoriqoti jam’iyyati nahdlotil ulama’
Wa ‘ala alihi wasaohbihi wa sallim.
Qasidah yang berisikan permohonan kepada Allah dengan bertawasul pada Rasulullah ini, agar hati para warga nahdliyin memiliki semangat jihad dalam menghidupi dan meninggikan syi’ar agama Allah lewat wadah organisasi NU.
Selain itu, KH Ahmad Qusyairi Shiddiq, putra KH Ahmad Shiddiq Jember pernah menyusun sebuah kitab Tanwirul Hijaa yang merupakan penjabaran dari kitab kajian fiqh dasar berjudul Safinatun Najah. KH Abdul Chalim juga pernah membuat sebuah biografi sahabat beliau yang bernama KH Abdul Wahab Hasbullah dengan menggunakan Bahasa Arab.
Keahlian kiai pesantren dalam menggubah maupun memotivasi lewat bait syair berbahasa Arab disebabkan kebiasaan mereka me-lalar (menghafal dan mengulang-ulang) pembacaan syair berbahasa Arab, yang menjadi literatur memahami ilmu-ilmu keagamaan.
Wallohu A’lam
Lahumul Fatihah
Editor: Daniel Simatupang
https://www.laduni.id/post/read/73344/kedekatan-ulama-nusantara-dengan-sastra-arab.html