Keistimewaan Kesusastraan Al-Quran dan Kitab Asy-Syamil fi-Balaghatil Quran Karya Gus Awis

Empat belas abad lebih al-Qur’an diturunkan di tengah masyarakat Jahiliyah. Zaman itu, sastra adalah tolak ukur dari segalanya; pengetahuan dan kehormatan dari sastrawan atau penyair, menempati tempat yang istimewa di tengah kaum Arab-Jahiliyah.

Penyair-penyair ulung dikukuhkan posisinya di atas apapun; ia sang otoritas, orang- orang yang kebetulan menghampirinya di pasar atau di jalan menyambutnya dengan cara memuji-mujinya sambil memberinya sekantong uang, bahkan yang kebetulan tidak punya uang, sampai dengan cara bersujud.

Cerita “kedigdayaan” bahkan pengkultusan penyair-penyair Jahiliyah Arab ini segera berakhir saat Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Kerana menurut Syauqi Dlaif dalam Tarikh Al-adab Al-Arabi, bahwa al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, tidak saja membawa petunjuk yang benar, tapi juga sebagai ‘penyaing’ keulungan sastra Jahiliyah.

Iklan – Lanjutkan Membaca Di Bawah Ini

Pernyataan tersebut diamini oleh Muhammad bin Sulam al-Jumahi, dalam bukunya Thabaqat Fuhul asy-Syuara. Menurutnya tak lama ketika ayat demi ayat diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., tidak saja memicu kreatifitas mereka untuk menandingi, juga banyak yang membuat mereka takluk, balik mengagumi dan menjadi muallaf, beberapa diantaranya adalah Tufail bin Amar, Labib bin Rabiah, Umar Bin Khatab, Hasan Bin Tsabit, Ibu Rawahah dan lain sebagainya.

Bahkan yang terpesona dengan keindahan al-Quran itu tidak saja penyair yang menjadi muallaf, tapi juga penyair-penyair besar yang masih mempertahankan agama ibunya.

Dikisahkan pada suatu hari Abu Sufyan, Abu Annas, dan Abu Jahal, sering diam-diam menyelinap keluar dari rumah Khabab bin Art dan mendengarkan lantunan al-Quran yang dibaca sampai fajar dalam persembunyiannya.

Saat mereka kepergok di tempat yang sama, merekapun berjanji tidak akan mengulanginya, sebab ini memalukan, tetapi nyatanya, mereka masih sering mengulangi dan saling memergoki. Apa yang mereka lakukan itu, pernah juga dilakukan oleh penyair-penyair besar Jahiliyah lainnya, seperti Abu Mihjan ats-Tsaqafi, Abu ath-Thamhan al-Qaini, Dhabi bin al-Harist al-Barjami, Suhaim Abdul Bani al-Hashas, an-Najasy al-Haritsi, dan Syabil bin-Waraqa.

Baca juga:  Menggunakan Akal dalam Berislam

Pertanyaannya, mengapa hal ganjil itu bisa terjadi? Salah satu penyebab utamanya adalah karena aspek keindahan bahasa (balaghah) al-Qur’an yang istimewa. Beberapa kitab yang membahas secara khusus aspek kesusatraan al-Quran ini adalah Kitab Badi’ul Qur’an dan Tahrir wat Tahbir karya karya Ibnu abil Isba’. Kedua kitab ini mengenalkan wajah balaghah yang benar-benar baru dalam uslub Al-Quran seperti al-Faraid, al-Iqtidaar, at-Ta’atthuf, dll.

Kemudian kitab al-Isyarah ilal Iijaz fi Ba’dhi anwaa’il Majaz, karya Imam al-Izz bin Abdis salam, kitab ini membahas aspek-aspek simbolisme bahasa (majazi) yang unik seperti relasi kata dengan benda, relasi kata dengan psikologis, relasi kata dengan sejarah dengan istilah habitho, romaa, al-Ilmu, dll.

Juga, yang tak kalah pentingnya adalah Kitabul Fawaaid al-Musyawwiq Ilaa Ulumil Qur’an wa Ilmil Bayan, karya Ibnul Qoyyim al Jauziyah (yang diperdebatkan sebagian ulama dan dianggap berjudul Mukaddimah Tafsir Ibnin Naqib), kitab ini juga mengupas aspek kata dengan kata, kata dengan kalimat, kalimat dengan kalimat yang semua serba serasi, seperti beberapa istilah kunci al-Muhtamil ad-Dhiddain, al-Muzalzil, at-Taj’yi’ dll.

Tetapi, yang sangat disayangkan Kitab-kitab tersebut hanya membahas beberapa penggalan ayat dari surat dan belum membahas seluruh ayat dan surat al-Quran, itu juga satu penulis hanya menekankan pembahasan dari sudut pandang tertentu. Di luar kitab di atas, sejauh pengamatan penulis, belum ada kitab yang membahas banyak aspek dan membahas seluruhnya ayat-peryat Al-Qur’an.

Maka kehadiran Kitab Asy-Syamil fi-Balaghatil Quran (3 Jilid) kara ulama muda Indonesia zaman milenial ini Dr. KH M. Afifuddin Dimyathi Lc, MA., ini sungguh menjawab kekosongan fan (disiplin) balaghah al-Quran yang sangat dibutuhkan umat itu. Beberapa faktor yang membuat al Quran lebih istimewa dibanding kitab suci lainnya dikaji oleh penulisnya dengan sangat jeli dan kaya akan referensi. Secara garis besar faktor-faktor tersebut, terangkum dalam uslub balaghah di kitab tiga jilid yang beliau tulis.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (15): Kitab Hadis Arbain Karya Syekh Hasyim Asy’ary

Pertama, isti’aroh yang berarti keserasian makna. Al-Quran jika diperhatikan menggunakan pemilihan kata yang unik sehingga berbeda dengan bahasa buku atau kitab suci lain. Selanjutnya, tartib yakni ketertiban urutan kalimat yang disusun dalam al Quran. Susunan yang rinci dan rapi ini membuat ayat al Quran mudah dicerna. Terakhir ialah i’jaz yang berhubungan dengan pemaknaan. Dalam al Quran, walau lafaznya singkat, pemaknaannya bisa sangat luas.

Sebagai contoh kecil pembahasan pada surat Hud ayat 44:

وَقِيلَ يَٰٓاأَرْضُ ٱبْلَعِى مَآءَكِ وَيَٰاسَمَآءُ أَقْلِعِى وَغِيضَ ٱلْمَآءُ وَقُضِىَ ٱلْأَمْرُ وَٱسْتَوَتْ عَلَى ٱلْجُودِىِّ ۖ وَقِيلَ بُعْدًا لِّلْقَوْمِ ٱلظَّٰلِمِينَ

Dan difirmankan: “Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,” dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: “Binasalah orang-orang yang zalim.” (Hud: 44). Ayat ini mengandung sekitar 20 keindahan balaghah sebagai berikut:

Al-Jinaas antara kata ابلعي dan kata أقلعي, Isti’aroh dalam kedua kata tersebut. Thibaq antara kata السماء (langit) dan kata الأرض (bumi). Majaz dalam kalimat {يا سماء} karena maknanya adalah Wahai Hujan. Al-Isyarah dalam kalimat {وَغيضَ المَاءُ}, karena ia mengandung banyak makna, air tidak akan menyusut sampai langit menghentikan hujan dan bumi menelan air yang keluar darinya.

Lalu al-Irdaaf dalam penggunaan kata  {واسْتَوَتْ} menggantikan kata yang biasa digunakan yaitu استقرّتْ, dan ini menambah kekuatan maknanya. At Tamtsil dalam kalimat {وقُضي الأمر}. At-Ta’lil, karena kalimat {غيض الماءُ} adalah alasan terdamparnya perahu Nabi Nuh. At-Taqsiim, karena ayat ini menyebutkan semua keadaan air ketika surut, yaitu berhentinya hujan, penyerapan air oleh bumi dan penurunan ketinggian air.

Al-Ihtiros dalam doa penutupnya, agar tidak dipahami bahwa banjir global ini juga mengenai orang yang tidak bersalah. Husnun Nasaq (indah dan serasi). Al-I’tilaaful Lafdhi Ma’a al Ma’na (kecocokan lafadh dan makna). Al-Ijaz, karena ini menceritakan proses berakhirnya banjir besar dengan kalimat yang ringkas. At Tashiim, karena awal ayat membantu memprediksi akhirnya. At Tahdzib, karena semua mufrodatnya sangat indah.

Baca juga:  Sabilus Salikin (41): Wali yang Jumlahnya Tetap pada Tiap Zaman (2)

Kemudian Fasahah, karena semua kata mudah diucapkan, dan susunannya tidak rumit. Husnul Bayaan, karena pembaca atau pendengar akan langsung memahami ayat tsb ketika membaca atau mendengarnya. At-Tamkiin, karena akhir ayatnya kokoh, mantap, dan tidak menyebabkan kebingungan. Al-Insijam, karena masing-masing kata sangat sesuai menempati posisinya dan Al-I’tirodz dalam kalimat وقضي الأمر. (Juz 2, hal 47-49).

Kitab ini awalnya diterbitkan oleh penerbit Lisanul Arabi (Indonesia) tahun 2018. Pada tahun 2021 ini mendapat apresiasi lebih luas dan diterbitkan secara Internasional di Mesir.  Beberapa perbedaan yang mencolok antara terbitan Indonesia dan Mesir ini sebagai berikut, ada beberapa revisi kesalahan typo (cetak) dan uraian beberapa wajah balaghah. Dalam versi cetakan Darun Nibros Cairo ada penambahan beberapa wajah balaghah dalam ayat-ayat yang belum dicantumkan dalam cetakan versi Indonesia.

Tambahan tersebut berkisar 30-an halaman, (cetakan Indonesia 1634 hal, cetakan terbaru Mesir ini 1664 hal), juga terdapat tambahan pengantar dari Guru Besar Balaghah Univ Al Azhar Mesir, Prof. Dr. Syekh Fathi Abdurrahman Al-Hijazi. (Melengkapi pengantar sebelumnya dari Prof Ahmad Darwish dari Universitas Cairo dan Prof Abdurrahim Kurdi dari Universitas Kanal Sues. Mesir).

Melalui karya ini setidaknya Gus Awis (panggilan akrab KH Afifuddin) masih menjaga estafet tradisi keilmuan islam yang bersumber dari Nusantara, karena dalam sejarah ulama Nusantara, khususnya yang berasal dari Indonesia pernah mewaranai dinamika, bahkan menjadi kiblat keilmuan Islam di negeri Arab (Hijaz) sekitar abad 18 sampai akhir abad 19.

Reputasi itu didapatkan, karena karya-karya mereka yang berbahasa Arab menjadi rujukan ulama dunia. Beberapa diantaranya adalah Syaikh Imam Nawawi Al-Bantani, Syaikh Khatib Minangkabawi, Syaikh Mahfud At-Termasi, Syaikh Junaid Al-Batawi, Syaikh Hasyim Asy’ari Al-Jawi dan lain sebagainya. Wallahu’alam Bisshawab.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/aguk-irawan-mn/keistimewaan-kesusastraan-al-quran-dan-kitab-asy-syamil-fi-balaghatil-quran-karya-gus-awis-b237987p/