Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia memiliki peran yang signifikan dalam mendidik akhlak dan membentuk karakter bangsa. Kurikulum pesantren yang menggabungkan ilmu umum dan ilmu agama, menjadi ciri khas yang melekat dari pesantren. Banyak tokoh besar Indonesia yang lahir dari hasil didikan pesantren.
Namun belakangan ini tersiar banyak kasus criminal yang muncul di pesantren. Dari kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah satu anak kyai di Jombang, eksploitasi anak berkedok yayasan pesantren di Bekasi, dan yang terakhir kasus kekerasan yang menyebabkan hilangnya nyawa salah satu santri di Gontor Ponorogo. Tak hanya di pesantren, kasus serupa juga mungkin saja terjadi di lembaga pendidikan lainnya. Karena kriminalitas, pelecehan seksual, dan eksploitasi anak adalah bagian dari kejahatan kemanusiaan yang bisa terjadi kepada siapapun tanpa memandang latar pendidikan maupun agama.
Meskipun demikian, fakta bahwa kasus tersebut saat ini banyak terungkap di pesantren juga harus segera dicari jalan keluar terbaik. Tidak justru menuduh pihak lain dengan dugaan ingin menghancrukan pihak lainnya. Salah satu yang bisa dilakukan pesantren adalah dengan menghadirkan psikolog untuk mendampingi proses belajar santri. Lantas kenapa harus psikolog? Bukankah pesantren adalah tempat menuntut ilmu agama yang membutuhkan sosok ustadz/ustadzah?
Pentingnya psikolog sebagai pendamping belajar santri di pesantren
Mayoritas santri di pesantren berada di rentang usia 12-18 tahun. Jenjang Pendidikan pesantren pada umumnya dimulai saat memasuki tingkat Pendidikan SMP/Mts. Meskipun, ada juga pesantren yang memulai pendidikan semenjak usia SD, namun jumlahnya tidak banyak. Dalam dunia psikologi, anak di rentang usia 12 hingga 18 tahun berada di fase peralihan dari anak ke remaja dan menuju dewasa.
Secara emosional, terjadi perubahan hormon yang memicu seseorang berkembang secara kognitif, dan di saat yang sama ia dalam fase pencarian jati diri di tengah hubungan sosialnya dengan masyarakat di sekitarnya. Dari segi sosial, anak pada usia ini memiliki fanatisme yang kuat pada teman yang dianggap berada dalam satu frekwensi. Suasana hati sangat cepat berubah, sehingga sering mengalami mood swing.
Di tengah kondisi perkembangan emosional dan psikologi yang sedemikian rupa, mereka dituntut untuk terus mengikuti aktifitas pesantren dari mulai aktifitas pendidikan formal hingga ekstrakurikuler informal. Di satu sisi, berdampak positif karena bisa mengurangi dampak negative dari penggunaan gadget dan bisa lebih produktif untuk mengejar kemampuan kognitifnya. Namun disisi lainnya, anak juga rawan tertekan dengan kegiatan yang cukup banyak. Mereka jauh dari orang tua yang selama ini menjadi tumpuhan hidupnya. Kekuatan dirinya ada di kebersamaan dengan teman-temannya. Lantas bagaimana jika muncul konflik antar teman atau kelompok?
Belum lagi, mereka juga dituntut untuk mengikuti kegiatan dengan jadwal ketat dan disertai dengan hukuman jika tidak mampu mengikuti aktifitas sesuai dengan jadwal. Bisa jadi, segala aktifitas yang dilakukan santri selalu dibayangi dengan ketakutan. Santri takut dengan pengurus, pengurus takut dengan pendamping (ustadz/ustadzah). Maka tidak mengherankan jika ketakutan tersebut melahirkan sikap represif kepada santri di jenjang di bawahnya.
Maka disinilah peran psikolog di pesantren sangat dibutuhkan. Beberapa hal yang bisa dilakukan psikolog selama mendampingi belajar santri antara lain:
Psikolog bisa melakukan analisis keminatan santri untuk kemudian disampaikan kepada pihak pengasuhan dan akademik. Dari hasil tersebut, bisa dijadikan dasar bagi pendidik dalam melakukan pengajaran dan keterlibatan dalam ekstrakurikuler. Sehingga santri bisa menjalani proses belajar dengan menyenangkan dan tidak merasa tertekan.
Di tengah kepadatan aktifitas, belum lagi kemungkinan adanya konflik rawan menyebabkan stress. Dimana puncak dari stress tersebut akan dilampiaskan salah satunya dengan melakukan kekerasan kepada junironya.
Bayangkan di usia yang masih labil tersebut, seorang pengurus dituntut untuk membimbing juniornya, di satu sisi harus menguasai materi di dalam kelas, dan diberi amanah dari pendamping (ustaz/dzah) untuk menghidupkan kegiatan di pesantren. Jika salah satu amanah dan kewajiban tidak tertunaikan, bayangan akan sanksi sudah menggelayut di pelupuk mata.
Dengan adanya konseling ini pula, santri bisa leluasa untuk menceritakan perilaku asusila atau yang mengarah ke tindakan tersebut kepada konselor sebagai ruang aman. Dengan cara tersebut, diharapkan kasus kekerasan dan pelecehan seksual tak lagi terjadi di lingkungan pesantren. Karena di banyak kasus, santri enggan menceritakan tindakan pelecehan yang dialami karena dilakukan oleh pihak yang sangat dihormati di lingkungan pesantren.
Ketidakpahaman pengasuh pada kondisi psikologi santri akan berdampak pada stigmatisasi. Santri bodoh, santri pemalas, santri pembangkang, santri tidak sopan, adalah contoh stigma yang subjektif. Hanya karena seorang santri tidak bisa menghafal dengan baik, belum tentu ia adalah santri yang bodoh. Bisa jadi ia seorang santri yang memiliki kemampuan di bidang seni sehingga kesulitan dalam hal menghafal.
Belum tentu santri yang melanggar aturan bisa dicap sebagai santri pembangkang. Bisa jadi ia termasuk santri yang kritis sehingga membutuhkan penjelasan dari aturan yang ditetapkan. Tidak adanya penjelasan yang logis menyebabkan santri tersebut enggan menjalankan disiplin.
Salah satu dampak terburuk dari stigmatisasi tersebut adalah menjadikan penilaian subjektif sebagai pembenar atas tindakan kekerasan dengan dalih hukum sebab akibat. Padahal stigmatisasi tersebut lahir dari penilaian yang jauh dari pendekatan psikologi.
Tentunya masih ada banyak hal lainnya yang bisa dilakukan psikolog dalam mendampingi belajar santri. Sama dengan lembaga pendidikan lainnya, pesantren tentunya juga tak luput dari kesalahan. Yang harus segera dilakukan adalah mengakui kekurangan yang ada dan membenahi system pembelajaran untuk melahirkan generasi yang unggul baik akademik maupun akhlaknya. Sebuah system yang jauh dari nilai kekerasan dan unsur pelecehan seksual. Namun jangan sampai kekurangan yang saat ini dihadapi oleh pesantren dijadikan pembenar bagi pihak yang memang tidak setuju dengan system pendidikan pesantren untuk melakukan kriminalisasi pada lembaga pesantren secara umum.