Syariat hadir demi kebaikan manusia dan membenahi tatanan kehidupan di bumi. Fikih yang merupakan produk syariat yang mengatur seluruh aktivitas manusia hadir untuk mewujudkan misi tersebut. Fikih yang menyinari kehidupan dengan cahaya nash–nash syar’i merupakan langkah mendasar untuk peradaban umat. Karena sejatinya fikih dibangun sesuai aturan dasar tatanan kehidupan manusia sekaligus mencanangkan target untuk kehidupan masa depan.
Fikih tumbuh secara bertahap mulai sejak zaman Nabi SAW sampai sekarang. Ia senantiasa menyesuaikan diri dan selalu bangkit berjalan mengikuti dinamisnya zaman. Di era kontemporer, hal ini dibuktikan dengan dibentuknya undang-undang negara (taqnin) sejak era Dinasti Utsmani yang menggunakan fikih sebagai sumber utamanya. Bukti lainya adalah banyaknya terobosan baru dan karya tulis fikih dalam skala besar di era modern[1].
Eksistensi dan relevansi fikih semata-mata karena kekuatan fikih dan sang faqih (pakar fikih) yang konsisten men-tajdid (memperbarui) fikih dengan tanpa tercerabut dari akarnya. Kekuatan fikih dapat terlihat dari konsekuensi pematuhan hukumnya. Selain dari sisi duniawi, fikih memberikan legitimasi balasan secara ukhrawi yang merupakan corak khusus agama. Dengan adanya sisi ukhrawi dalam hukum fikih, masyarakat akan menghormati dan patuh dengan kesadaran hati untuk mengimplementasikan hukum fikih. Pada saat yang sama fikih mengandung dorongan untuk beretika baik. Sebagai contoh, ‘amaliah ubudiah (praktek ibadah) bertujuan menyucikan diri dan menjauhi hal-hal yang buruk.
Pengaruh agama dan etika yang dikandung fikih menyebabkan hukum-hukum fikih akan lebih dihormati dan diimplementasikan masyarakat. Lebih dari itu, kombinasi agama dan etika mampu mewujudkan pribadi dan masyarakat yang baik sekaligus menyongsong nikmat kekal di akhirat. Bukankah menikmati nikmat di akhirat kelak adalah cita-cita seluruh umat manusia sejak zaman dahulu? untuk itu tak ada keraguan lagi jika fikih dapat menciptakan kebaikan untuk manusia saat ini dan kelak.
Dengan demikian, fikih memiliki perbedaan mencolok dengan undang-undang positif negara. Hukum-hukum positif negara akrab dengan pelanggaran dan konsekuensi hukuman duniawi namun tak diimbangi ruh etika[2].
Karena itu, syariat islam -dalam kaitannya adalah fikih yang merupakan produk syariat yang berisi hukum- diakui sebagai sumber hukum bersama oleh dunia hukum internasional. Konferensi dunia tentang perbandingan hukum internasional yang diselenggarakan di Den Haag pada tahun 1931, 1937, dan 1948 memutuskan bahwa syariat islam merupakan bagian dari sumber hukum yang diakui dunia. Dengan demikian, syariat islam (fikih,red) merupakan sumber hukum internasional yang sama dengan hukum prancis, inggris dan jerman.[3]
Setelah konferensi tersebut, diadakan pula konferensi bertajuk “Pekan Fikih Islami” yang diadakan di Fakultas Hukum Universitas Paris pada tahun 1951 yang menyimpulkan bahwa prinsip-prinsip fikih memiliki nilai sumber hukum positif yang tidak perlu diperdebatkan. perbedaan mazhab dalam sistem hukum fikih yang besar itu menyimpan kekayaan konsep-konsep yurisprudensi dan khazanah pengetahuan yang mengagumkan. Tentunya, memungkinkan undang-undang fikih merespon tuntutan kehidupan modern dan menyesuaikan dengan kebutuhannya.[4]
Tetapi perlu diingat, fikih akan dapat optimal diamalkan dan dijalankan dengan arahan para faqih (kiai) untuk menyuarakan hukum-hukum fikih tersebut. Mengingat alasan mendasar fikih bertahan eksis sampai hari ini, juga dilatar belakangi oleh gerakan sang faqih yang mampu menarik masa untuk percaya dan patuh dalam bingkai hukum fikih yang ada.
Kekuatan sang faqih sudah teruji untuk menghantarkan hukum fikih kepada masyarakat luas selama empat belas abad, hal ini berdasarkan fakta bahwa penyebaran ilmu fikih ternyata tidak didasari oleh kekuatan pemerintahan islam yang menjadikan hukum fikih sebagai undang-undang negara saja, melainkan didasari kepercayaan masyarakat kepada pendiri madzhab fikih, yang tentunya disokong oleh kegigihan para faqih masing-masing madzhab untuk menyebarkan ilmu fikih[5].
Dalam konteks Indonesia, fikih memiliki peran besar dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kekuatan fikih itu disokong oleh sang faqih yang disegani dan dihormati dalam menyampaikan kuasa hukum fikih. Peristiwa itu lebih tepatnya kita kenal dengan resolusi jihad yang dicetuskan oleh HBNO (sekarang PBNU) dengan dimotori oleh KH. Hasyim Asy’ari.
Resolusi jihad yang berisi maklumat kewajiban untuk mempertahankan negara serta melawan serangan penjajah itu merupakan hasil ijtihadi fikih.
Sebenarnya muatan isi Resolusi jihad tersebut merupakan sebuah hal yang sudah maklum bagi para kyai dan faqih dalam negeri. Betapa tidak, isi resolusi jihad itu dapat dipahami hanya dari kitab fathul qarib, kitab pegangan umum paling dasar para kyai atau faqih nusantara. Tetapi berkat maklumat itu diproklamirkan KH. Hasyim asy’ari dan para Kyai pesantren lain yang tak diragukan lagi kefaqihannya, pengaruh resolusi jihad dapat menyebar begitu jauh[6].
Dan bahkan dalam praktik resolusi jihad tersebut, puluhan ribu masyarakat sipil yang hadir di medan perang begitu tegar dan berani berkat para kyai yang mereka anggap faqih juga hadir di medan tempur.
Di tengah krisis lingkungan yang telah amat parah. Perilaku Manusia yang serakah, egois dan gemar memperkosa alam tentu menjadi penyebab utamanya. Oleh karena itu, perhatian serta perubahan gaya hidup masyarakat menjadi hal mutlak yang harus terjadi. Dan Rumusan-rumusan fikih memiliki kekuatan besar untuk ikut mendorong perubahan tersebut.
[1] Dr. Wahbah Zuhaily, Fikih Al Islami Wa adilatuh, Juz 1 Hal. 3
[2] Dr. Wahbah Zuhaily, Fikih Al Islami Wa adilatuh, Juz 1 Hal. 3
[3] Badrain Abu Al-‘Ain Badron, Fikih Al-Islamy Wa Nadhoriyat Al-Milkiyah Wa Al-Uqud, darun nahdoh al-arabiyah bairut hal. 4
[4] Badrain Abu Al-‘Ain Badron, Fikih Al-Islamy Wa Nadhoriyat Al-Milkiyah Wa Al-Uqud, darun nahdoh al-arabiyah bairut hal. 5
[5] Kemernteian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, Al Mausu’ah Al Fikihiyah Al kuwaitiyah, Juz 1 Hal 39
[6] Rumusan resolusi jihad menjadikan fathul qarib karya Syekh Muhammad bin Qosim Al-Ghozi dan kitab hasyiyah bajuri sebagai referensi utamanya. Bunyi teks itu adalah
والثاني أن يدخل الكفار بلدة من بلاد المسلمين أو ينزلوا قريباً منها فالجهاد حينئذ فرض عين عليهم، فيلزم أهل ذلك البلد الدفع للكفار بما يمكن منهم
“kondisi kedua, ketika kaum penjajah telah memasuki wilayah teritorial negara-negara umat muslim, atau berada diluar dengan radius yang dekat. Maka dalam kondisi yang demikian jihad hukumnya wajib bagi kaum muslimin. Mereka wajib melawan penjajah dengan upaya apapun yang mungkin dilakukan”
https://alif.id/read/wfy/kekuatan-fikih-dalam-mengubah-gaya-hidup-masyarakat-b242889p/