Laduni.ID, Jakarta – Suatu hari cucu Nabi yang amat sholeh dan rendah hati, Imam Ali Zainal Abidin yang populer dipanggil “As-Sajjad” tampak sedang berduka. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu yang menggelisahkan hatinya. Pipinya basah oleh air mata yang tak terbendung. Temannya mengatakan, “wahai, putra Husein yang mulia, cucu Ali bin Abi Thalib yang mulia dan cicit Nabi Muhammad, utusan Allah yang amat mulia, mengapa engkau berduka?”.
As-Sajjad menjawab, “saudaraku, tolong jangan bawa-bawa ayah, ibu dan kakekku. Aku sedang memikirkan masa depanku sendiri, aku akan tinggal di mana sesudah aku meninggalkan dunia ini. Apakah aku akan selamat atau tidak? Ingatlah, di akhirat kelak tak ada lagi hubungan nasab atau keturunan yang bisa menyelamatkan seseorang, kecuali amal sholehnya masing-masing.”
Apa yang dijelaskan dan menjadi sesuatu yang menggelisahkan As-Sajjad itu selaras dengan firman Allah SWT dalam Surat Al-Mu’minun ayat 101.
فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلَا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلَا يَتَسَاءَلُونَ
“Apabila terompet ditiup (kelak pada Hari Kiamat) maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanggungjawab”.
Dalam ayat lain, Allah SWT juga berfirman:
فَإِذَا جَاءَتِ الصَّاخَّةُ. يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ، وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ
“Dan apabila terompet kedua ditiup. Hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan dari anak-anaknya. Setiap orang pada hari itu disibukkan oleh urusan dirinya sendiri”. (QS. Abasa:33-37)
Selain itu, Allah SWT juga menyatakan:
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُون َإِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“(yaitu) di hari harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”. (QS. Asy-Syu’ara: 88-89)
Betapa mendalamnya pengetahuan As-Sajjad, cicit Nabi yang mulia itu dan betapa rendah hatinya beliau ini. As-Sajjad sangat mengerti bahwa kemuliaan dan kebaikan seorang manusia hanyalah karena ketakwaannya kepada Allah, bukan karena keturunan, jabatan, jenis kelamin, asesoris atau simbol-simbol yang dilekatkan orang kepadanya.
Allah SWT sudah menegaskan mengenai hal ini:
اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ اَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya yang paling mulia di mata Allah adalah orang yang paling bertakwa”. (QS. Al-Hujurat: 13)
Sejalan dengan ayat di atas, Nabi mengatakan :
اِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى اَجْسَامِكُمْ وَلَا اِلَى صُوَرِكُمْ. وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَاَعْمَالِكُمْ
“Allah tidak melihat tubuh dan rupamu, tetapi hati dan tindakanmu”. (HR. Muslim)
Surga disediakan untuk orang-orang yang beriman dan berbuat baik, dari manapun berasal, berwarna kulit apapun, berjenis kelamin apapun dan dari keturunan siapapun.
Neraka itu menjadi tempat orang-orang yang mengingkari atau menentang Allah, dan tempat bagi orang-orang yang berbuat jahat, dari manapun, berwarna kulit apapun, jenis kelamin apapun dan keturunan siapapun. []
Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 14 Novemmber 2020. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
Penulis: KH. Husein Muhammad
Editor: Hakim