Ngaji Ihya’ yang diampu Gus Ulil telah dimulai sejak 27 Mei 2017 (Facebook). Setiap malam Jumat, Gus Ulil akan membaca kitab Imam Al-Ghazali itu secara live di beranda Facebook & Twitter dengan metode banongan. Jumlah “santri” beliau yang streaming bisa mencapai ribuan. Dapat dibilang dari Ngaji Ihya’ ini tumbuh komunitas Ghazalian College di antara para santri dan mahasiswa, yang pada merekalah terbit gairah mempelajari karya-karya Imam al-Ghazali.
Jika setiap malam Jumat Gus Ulil menggunakan metode bandongan untuk ngaji Ihya’, pada Minggu pagi tepatnya pukul 06.00 WIB kemaren, Gus Ulil kali ini mengkaji Ihya’ Ulumiddin dengan metode tematik. Gus Ulil tidak membaca kitab Ihya’ per kata lagi, namun langsung memberikan penjelasan isi Ihya, secara umum dan tematik (Facebook).
Dari Kuliah Ihya Tematik –begitu Gus Ulil menyebutnya- kita dapat mengenal isi kitab Ihya’ dengan gamblang. Terkaan saya Gus Ulil menyadari bahwa tidak semua orang suka dengan metode banongan ala pesantren. Dengan metode tematik, akan lebih banyak lagi orang yang dapat dijangkau. Bedanya juga, pada KIT, Gus Ulil memulai ngaji Ihya’ dari awal kitab ke-1 (ibadah), sedangkan pada Ngaji Ihya dimulai pada kitab ke-3 (muhlikat). KIT akan rutin setiap Minggu pagi.
Apa yang saya tulis adalah rangkuman Kuliah Ihya Tematik. Sebab boleh jadi, ada juga orang yang lebih suka belajar dengan membaca (visual), bukan mendengarkan (audio). Tulisan ini juga merupakan usaha seorang santri untuk mendokumentasikan kuliah kiainya.
Lahirnya Kitab Ihya’ Ulumiddin berkaitan erat dengan sejarah hidup Imam al-Ghazali. Karena itu, untuk menjawab pertanyaan kenapa ada Ihya’ Gus Ulil memulainya dengan menceritakan ihwal Imam al-Ghazali.
“Jika ulama-ulama yang lain itu diibaratkan film begitu, itu plot ceritanya lurus dari awal sampai akhir tanpa banyak kelokan-kelokan atau twist, maka dalam kasus Imam Al-Ghozali, kehidupannya agak beda. Imam Al-Ghazali ini seorang ulama yang kehidupannya mengandung drama, yaitu ada kelokan, ada plot twist.”
Plot twist hidup Imam al-Ghazali dapat dengan rinci kita baca dalam kitab otobiografinya, Al-Munqidz min al-Dlalal. Beliau menceritakan kisah hidupnya yang berliku ketika mencari arti ilmu kebenaran sejati. Ilmu kebenaran sejati dalam bahasa Al-Ghazali adalah al-‘ilmu al-yaqini.
Ciri-ciri ilmu macam ini adalah bahwa ilmu tersebut diyakini tidak mungkin lagi diragukan sekiranya jika benar ada orang yang mampu mengubah batu menjadi emas atau tongkat kayu menjadi ular dan dipertunjukkan di depan mata kepala kita, kita tetap tidak akan meragukannya. Contoh pengetahuan macam ini adalah pengetahuan kita bahwa 10 lebih banyak dari 3. (Al-Munqidz, hal 13 cet DKI)
Sejak baligh sampai akhir usianya, Imam al-Ghazali terus menyibukkan diri mencari ilmu pengetahuan. Dedikasinya untuk ilmu tidak setengah-setengah. Buktinya dapat kita tengok dari keseriuasan beliau memelajari semua cabang keilmuwan yang berkembang saat itu. Fikih, ilmu kalam, mengkaji filsafat kemudian masuk ke dalam ajaran Batiniyah, dan terakhir menjadi seorang sufi. Itu semua beliau lakukan agar dapat menggapai ilmu kebenaran sejati.
Gus Ulil meringkas masa-masa pencarian al-Ghazali itu dalam 3 fase. Dari manusia sosial menjadi manusia kamar dan kembali menjadi manusia sosial.
Fase manusia sosial maksudnya al-Ghazali sangat aktif terlibat dalam kehidupan sosial. Al-Ghazali adalah ulama yang dekat dengan kekuasaan status quo. Saat itu, ia menjadi guru besar universitas Nidzamiyyah di Baghdad, universitas yang didirikan oleh perdana menteri Nidzamu-l-Mulk (w. 485). Pada masa ini, al-Ghazali menelurkan banyak karangannya, seperti kitab untuk menyanggah Batihinyah dan Tahafutu-l-Falasifah, kritik kerasnyta untuk para filsuf saat itu.
Namun tiba-tiba al-Ghazali memutuskan untuk meninggalkan semua kedudukan pentingnya itu. Ia memutuskan pergi merantau, uzlah. Ia kini menjadi seorang sufi. Tidak ada yang tahu apa alasan sebenarnya al-Ghazali berubah. Dugaan para sarjana, ia kecewa dengan praktek keilmuwan dan keagamaan saat itu. Di mana para “ulama” hanya menumpuk kekayaan dan mencari status sosial. Menjadi Manusia Kamar, begitu Gus Ulil menyebutnya.
Saya tidak perlu menuliskan ihwal uzlah Imam al-Ghazali. Telah banyak buku-buku yang menceritakan detail kehidupan al-Ghazali pada masa ini. Singkatnya, pada satu titik, al-Ghazali kembali ke tanah kelahirnnya di Thus, Khurasan. Di sana ia kembali mengajar, mendirikan pondok kecil. “Dari kiai ibukota menjadi kiai Kampung yang mengajar di sebuah mushala atau ribath, pondok kecil.”
Al-Ghazali memang pada dasarnya orang yang tidak bisa diam melihat kondisi masyarakatnya yang melenceng. Ia melihat ada tendensi kecenderungan gejala sosial yang tidak baik yang harus dikoreksi.
Ketika inilah al-Ghazali berkeinginan meluruskan itu semua dengan menulis satu kitab. Ihya Ulumiddin, dari judulnya (menghidupkan ilmu-ilmu agama) kita dapat menggambarkan kondisi lesunya kehidupan beragama saat itu jika tidak sampai mati, dan upaya Imam al-Ghazali untuk kembali menghidupkannya.
“Nah, di dalam pembukaan kitab Ihya’ ini, jilid pertama di sini al-Ghazali menerangkan kenapa beliau itu akhirnya memutuskan untuk turun gunung kembali. Semula bertapa di atas gunung pada akhirnya beliau tidak sabar juga turun gunung kembali cuma turun gunung dengan cara yang lain.
Jika dulunya turun gunungnya itu terlibat dengan kehidupan sosial di kota Baghdad menjadi manusia sosial sekarang turun gunungnya adalah mengarang kitab. Mengarang kitab untuk memperbaiki keadaan karena beliau menyaksikan kehidupan berkeagamaan telah mati.”
Al-Ghazali menghadapi situasi orang-orang yang berhenti pada tulisan (rasm). Pun para ulamanya juga demikian. Sehingga al-Ghazali menyebut para “ulama” itu dengan istilah al-mutarassimun. Mereka hanya mengajarkan kitab, ceramah, memamerkan keilmuwan mereka, namun ruh api agama tidak hidup. Di kolom komentar streaming Liec Marcoes menulis, “Imam al-Ghazali menciptakan tradisi pembebasan dari ulama mutarassimun (ulama omdo).”
Ihya Ulumiddin disusun al-Ghazali dengan merujuk beberapa karangan ulama’ sebelumnya; ar-Ri’ayah li Huquqillah milik Imam al-Harits al-Muhasibi (w. 243), al-Ta’aruf li madzhab at-Tasawuf karangan al-Kalabadzi (w. 380), Qut al-Qulub karya Abu Thalib al-Makki (w. 386), , ada Manazil al-Sairin al-Harawi (w. 481), ar-Risalah al-Qusyairiyah kepunyaan Imam al-Qusyairy (W. 456).
“Seorang Alim itu tidak bisa menjadi alim sendirian ketika dia menjadi alim itu dia bertumpu atau berdiir di atas pundak-pundak orang alim sebelumnya. Jadi ilmu itu tidak bisa muncul ujug-ujug begitu saja. Ilmu itu muncul karena akumulasi ijtihad usaha orang-orang sebelumnya. Karena itu al-Ghazali mengakui bahwa kitab ini itu berdasarkan kitab-kitab sebelumnya.”
Kendati demikian, bukan berarti al-Ghazali njiplak. Sebab kitab al-Ghazali satu ini memiliki kelebihan dan sesuatu yang baru yang tidak ditemukan dalam kitab-kitab sebelumnya. Terdapat lima kebaruan dalam Ihya’. Yang terakhir adalah penjelasan terkait perkara-perkara yang samar yang sulit dipahami orang. Kata Gus Ulil mencontohkan orisinalitas Ihya’,
“Misalnya kemaren ketika kita bahas dalam ngaji Jum’at tentang cara mengendalikan marah. Marah itu intinya kan orang gagal meraih sesuatu yang diinginkan atau dia tertimpa sesuatu yang ia benci lalu marah.
Lalu sesuatu yang diinginkan itu dibagi tiga; ada yang dlaruri, ada yang tidak dlaruri, ada yang dlaruri bagi sebagian orang dan bukan dlaruri bagi sebagian orang yang lain. Nah pembagian yang seperti ini itu orisinal dari al-Ghazali tidak ada pada kitab sebelumnya.”
Mengakhiri rangkuman ini, saya kirimkan al-Fatihah untuk Gus Ulil semoga sehat selalu. Wallahu a’lam.
https://alif.id/read/mnr/kenapa-ada-ihya-ulumiddin-b241593p/