Laduni.ID Tanggerang – Siapa saja yang pernah berjumpa dengannya, pasti hati riang dan tenang. Sosok alim al-Allamah yang penuh ketawadhuan, bersahaja, sufi, mandiri, dermawan, istiqomah dan sederhana. Postur tubuhnya tak pendek, tak tinggi juga. Tepatnya: ideal ala Jawa. Allahumma thowwil umrohu, amin.
Sosok dengan kalam jami’ yang selalu halus bertutur dawuh. Tak kenal lelah mendoakan santri, siang-malam. Pribadi tawadhu’nya dapat dilihat dari caranya berjalan. Pelan, menunduk, murah senyum dan mencincing sarung. Dapat dinilai juga dari gaya komunikasi dengan siapapun, ramah serta meneduhkan jiwa.
Baca Juga: Keteladanan Saidina Ali dan Imam Syafi’i
Kemandiriannya pernah diceritakan pada saya sendiri, bahwa beliau dalam seminggu pasti mencuci pakaiannya sendiri. Padahal santrinya ribuan, loh! Anda? Hehe. Itu pesan yang shoot of soul bagi saya, yang mungkin beliau tau, saat di pondok, saya malas mencuci. Hehe.
Ihwal keistiqomahan beliau tak ada yang meragukan. Hampir dalam semua hal yang berhubungan dengan kemanfaatan. Jamaah, ngaji, wirid, bercengkrama dengan keluarga hingga menemui tamu beliau lakoni dalam kegiatan harian. Jika ada kegiatan tak penting, beliau tak pernah meninggalkan aktivitas hariannya. Pernah guru saya dawuh, di antara putra-putra abahnya, yang mewarisi keistiqomahan dalam hal mewirid santri adalah beliau.
Saya pernah menyaksikan saat sowan, beliau sedang muthala’ah kitab kecil, tipis, yang membahas asma’ul husna. Kitab kecil, tapi beliau berkenan mengkajinya. Mungkin ini simbol, bahwa yang terpenting dalam ilmu bukan ukuran volume kitab, tapi laku, pengamalan ilmu. Beliau membacanya pelan, teliti diiringi perenungan, kemudian menjawab salam saya.
Baca Juga: Pembiasaan dan Keteladanan, Kunci Internalisasi Nilai Nilai Pada Anak
Pesan tentang membaca Qur’an, beliau dawuh pada saya dan kawan saya, Mas Dani dari Demak, bahwa minimal kita kudu baca tiga lembar dalam sehari. Itu minimal. Mampu lebih banyak, lebih baik. Saya pribadi berusaha mengistiqomahkannya hingga sekarang, meskipun sering bolong-bolong. Hehe.
Beliau juga sangat dermawan, utamanya pada santri. Saya dan Mas Mukhsin pernah diberi beliau uang 100 ribu, berdua. Padahal saat itu, uang baru diberi oleh tamu, tapi dipindahkan ke tangan kami. Kata beliau: ini buat beli sepeda. Sampai saat ini uangnya masih saya simpan buat keberkahan. Alhamdulillah.
Cara pendidikan ‘ruhani’ beliau tergolong unik. Setahu saya, beliau tak pernah memuji santri yang cerdas dengan pujian berlebih, tak pula ‘galak’ dengan santri yang bodoh. Beliau perlakukan semuanya sama: penuh perhatian dan kasih sayang. Hati saya mengatakan: mungkin ini cara agar santri cerdas tidak sombong, santri bodoh tak pesimis.
Banyak yang mengagumi beliau dari berbagai sisi. Tapi tak membuat beliau tinggi hati, sebab hatinya sufi, bersih dari duniawi. Putra-putranya berhasil menjadi orang alim dan putri-putrinya bersuamikan alim-alim pula. Bagi saya, jarang sekali ditemukan pribadi yang mirip dengan jejak beliau dan mungkin sulit juga menirunya.
Baca Juga: Kisah Keteladanan Rasulullah Sebagai Ayah Siti Fatimah
Beliau yang saya kisahkan di atas adalah guru besar saya, Syaikhina KH. Abdullah Ubab Maimoen Zubair, putra sulung sang putra zaman al-Maghfurlah Syaikh KH. Maimoen Zubair, Pengasuh Pesantren Al-Anwar 2 Sarang. Anda yang belum pernah sowan beliau, segeralah sowan. Mumpung beliau masih sehat dan bugar. Atau Anda yang ingin menenggak mutiara ilmu dan hikmah dari beliau, segera menuju Pondok Pesantren Al-Anwar 2 Sarang.
Harapan semua santri Al-Anwar 2 Sarang, pasti ingin dianggap sebagai santri beliau dunia dan akhirat. Wahai murabbi, semoga engkau tetap menganggap kawulo ingkang nakal dan penuh peluh dosa ini, sebagai santrimu, dunyan wa ukhran. Duh Gusti, mugi jenengan paring umur panjang serta kesehatan, dateng Syaikhina KH. Abdullah Ubab Maimoen Zubair. Di akhir zaman ini, umat butuh pelita peneduh laiknya beliau. Amin.
———
Oleh: Abdurrohim Badri
Editor: Nasirudin Latif
https://www.laduni.id/post/read/72445/keteladanan-syaikhina-kh-abdullah-ubad-maimoen.html