Laduni.ID, Jakarta – Banyak sekali di akhir zaman ini pernyataan (propaganda) yang kelihatannya seolah benar dan islami, tapi sebenarnya merupakan tadhili (menyesatkan). Salah satu propaganda yang sampai saat ini masih menggema adalah “Kembali ke Al-Qur’an dan Hadis”.
Bagi orang awam yang tak begitu dalam menyelami keilmuan di dunia pesantren atau bahkan sama sekali tidak, hal tersebut adalah benar. Namun bagi ahli ilmu, pernyataan tersebut adalah salah dan menyesatkan.
Gus Dewa, pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid Patemon, Probolinggo dalam unggahan Facebook terbarunya (11/1/2022) menyebutkan hal tersebut merupakan strategi menghancurkan konsep bermazhab. Sebagaimana yang telah diketahui bersama, konsep bermazhab adalah salah satu jalan seseorang dalam beragama.
Analogi-analogi sederhana telah banyak tersebar dalam menggambarkan propaganda tersebut, misalnya seseorang tak akan bisa meminum madu langsung dari lebahnya. Perlu ada proses panjang sebelum akhirnya madu bisa dinikmati. Begitu juga dalam beragama, konsep bermazhab memudahkan umat dalam memahami isi Al-Quran dan Hadis melalui para fuqaha.
Gus Dewa mengutip pernyataan Imam Sufyan bin ‘Unaiyah (w. 814 H) yang telah merasakan apa yang dirasakan umat saat ini.
الحديث مضلة إلاّ للفقهاء
“Hadits itu menyesatkan kecuali bagi fuqaha.”
“Statemen beliau ini beberapa abad kemudian dikutip oleh Ibn Hajar Al-Haitami (w. 1566 M) dalam karyanya al-Fatawa al-Haditsiyah,” tulis Gus Dewa.
Al-Khatib Al-Baghdadi (w. 463) dalam kitabnya, Nasihati Ahli Al-Hadis menceritakan sebuah kisah Imam Abu Hanifah dengan seorang muhadis bernama Al-A’masy. Kala itu, Al-A’masy sedang duduk bersama dengan Imam Abu Hanifah, lalu datang seseorang yang bertanya suatu hukum kepada Al-A’masy. Lalu Al-A’masy berkata kepada Imam Abu Hanifah, “Wahai Nu’man (Imam Abu Hanifah), jawablah pernyataan itu.”
Imam Abu Hanifah lalu menjawab pertanyaan orang tersebut dengan baik. Al-A’masy dengan kaget bertanya, “Dari mana kamu dapat jawaban itu wahai Abu Hanifah?” Imam Abu Hanifah menjawab, “Dari hadis yang engkau sampaikan kepada kami.” Al-A’masy lalu menimpali,
نعم نحن صيادلة وأنتم أطباء
“Benar, kami ini apoteker dan kalian adalah dokternya.”
Oleh karena itu, lanjut Gus Dewa, untuk memahami sebuah hadis kita diwajibkan untuk bertanya kepada para fuqaha, kepada para ahli fikih.
“Merekalah yang mampu mengistinbath (menarik kesimpulan hukum) dari teks-teks syar’i, baik itu al-Qur’an ataupun hadits Nabi,” tulisnya.
“Walhasil, bagi seseorang yang belum mencapai tingkat tersebut (fuqaha), kewajibannya adalah mengikuti para mujtahid dengan cara bermazhab. Dan bertaqlid sudah menjadi tradisi dari masa ke masa,” pungkasnya.
Keterangan foto: Penjelasan para ulama tentang kewajiban bermazhab dalam kitab Mizan Al-Kubra juz 1 hal 34 (dok. pribadi Gus Dewa)
Editor: Daniel Simatupang
https://www.laduni.id/post/read/74012/kewajiban-bermazhab-dan-bertaqlid-kepada-para-mujtahid.html