Oleh: Mukani* “ Gus, Kiai Manan Ngronggot kapundut. Lah iyo, kok yo cepet tenan to?” Itu adalah kiriman pesan dari Dr. Juni Iswanto, bebera…
Oleh:
Mukani*
“Gus, Kiai Manan
Ngronggot kapundut. Lah iyo, kok yo cepet tenan to?” Itu adalah kiriman
pesan dari Dr. Juni Iswanto, beberapa menit setelah KH Sumanan Hidayat
meninggal dunia. Juni adalah teman almarhum saat kuliah S-2 di Uniska. Bersama
saya, hingga sekarang Juni sama-sama membantu almarhum mengajar di STAI
Darussalam Pondok Krempyang Nganjuk.
Motivasi Literasi
Kiai Manan bagi warga
Nganjuk dan sekitarnya bukan nama asing lagi. Pengasuh Pesantren Nurul Islah
Ngronggot ini sudah punya jam terbang tinggi di dunia dakwah. Pengalaman
panjang di dunia organisasi menjadikan almarhum sebagai sosok yang mudah
bergaul dengan masyarakat luas.
Namun ada satu hal yang
menjadi ciri khasnya. Hingga wafat Kamis (14/1), Kiai Manan tercatat menjadi
penasehat organisasi Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Cabang Nganjuk.
Di rumah A’wan PCNU Nganjuk ini banyak al-Qur’an braille yang dikhususkan para
penyandang tuna netra. Konon itu semua adalah sumbangan dari salah satu donatur.
Di pondoknya sendiri juga
ada santri yang menyandang tuna netra. Bahkan, kisahnya suatu ketika, ada yang
sudah hafal al-Qur’an sebanyak 21 juz. Asalnya dari Jawa Tengah. Usianya sudah
di atas 45 tahun. Diceritakan bahwa santrinya itu memiliki indera keenam di
dunia ghaib. Karena si “santri tua” mampu berkomunikasi dengan jin yang berdiam
diri di barat lokasi pondoknya.
Kiai Manan adalah sosok yang
senang dengan orang berkecimpung di dunia literasi. Suatu ketika saat sowan,
almarhum menunjukkan skripsinya yang masih diketik secara manual. Beliau
meminta agar saya mengedit dan menerbitkannya menjadi sebuah artikel. Tentu
tidak gampang.
Saat saya suatu ketika sowan
sendirian, justru cerita menarik yang diperoleh. Beliau secara gamblang
memberikan trik-trik agar hasil penjualan buku yang saya tulis laku keras di
pasaran. Bahkan dengan senang hati memberikan endorsement di buku terbaru saya saat itu. Judulnya Nasihat dan Biografi Singkat Hadratussyaikh
KH. M. Hasyim Asy’ari, diterbitkan Pustaka Tebuireng Jombang tahun 2015.
Ketika almarhum menjadi
pimpinan di STAI Darussalam Krempyang, pernah suatu ketika kirim pesan ke nomer
telpon saya. Intinya beliau meminta tolong agar saya bersedia membantu mengajar
di sana. Terutama dalam mendorong dunia literasi di kampus baru tersebut.
Khususnya bagi kalangan dosen dan mahasiswa di dalamnya.
Lautan Legawa
Secara pribadi, saya mengenal almarhum sekitar tahun
2010. Sejak saya masih belum menikah. Jujur saya “menyesal” karena baru dipertemukan
kiai unik dan humoris seperti almarhum. Karena banyak pelajaran hidup yang bisa
dipetik dari sosok pengurus MUI Nganjuk ini.
Hampir setiap sowan ke beliau, saya mengajak
teman-teman yang bermasalah. Terutama dalam menghadapi problematika hidup.
Tidak jarang sowan berlangsung sampai dini hari. Tentu kami pun dipersilakan
menginap di pondoknya.
Orang-orang yang saya ajak sowan biasanya hendak
berkeluh kesah. Mulai urusan rumah tangga, utang piutang, pendidikan anak,
kenakalan remaja, perselingkuhan, KDRT sampai penyalahgunaan narkoba. Semuanya
didengarkan dengan baik. Tidak jarang beliau justru ingin tahu detail masalah
dengan beberapa pertanyaan yang diajukan.
Banyaknya tamu yang antri, kadang beliau berkelakar
sendiri. “Opo awakmu wis nganggep aku dadi dukun?” canda beliau suatu
saat. Namun yang saya rasakan, nasihat dan tawaran solusi yang disampaikan
beliau itu justru yang menenteramkan hati dan menenangkan pikiran.
Keunikan yang lain adalah pemberian wirid. Beliau
memberikan beberapa amalan yang tidak sama kepada tamu-tamu yang saya ajak
sowan. Ada yang disuruh membaca al-Qur’an, shalat sunah, doa berbahasa Jawa,
berpuasa sunah dan sebagainya. Tentu khusus kepada saya amalan yang diberikan
bukan berupa puasa. “Awakmu abot yen dikongkon poso,” kelakarnya.
Satu hal yang saya kagumi dari rendah hati almarhum.
Beliau datang ke acara akad nikah saya di Kenjeran Surabaya dengan naik ojek.
Alasannya untuk menghindari kemacetan setelah rutinan ziarah ke makam Sunan
Ampel. Meski di rumah beliau sudah ada dua mobil. “Yang penting aku teko ning ijaban-mu ora keri,” alasannya
saat itu.
Beberapa hari setelah saya menempati rumah baru, tidak
diduga beliau datang bersama istri. Hanya naik sepeda motor dari pondoknya ke
Jombang. Itupun tidak memberitahu. Sepeda motor langsung diparkir di pintu
samping. Bukan di halaman depan rumah saya.
“Saya ingin inspeksi kamar mandinya santri koyok
awakmu itu bagaimana?” ujarnya saat masuk rumah dari pintu samping. Setelah
buang air kecil, beliau baru masuk ruang keluarga. Tidak berkenan di ruang tamu
rumah saya. “Ternyata cocok kamu buat kamar mandi,” jelasnya.
Salah satu teladan yang ditunjukkan beliau adalah
kesediaan untuk mendengarkan masukan dari orang lain. Terlebih dari orang muda
yang masih bodoh seperti saya. Beliau pernah meminta saran kepada saya dan seorang
teman dosen tentang niat untuk maju menjadi caleg. Setelah berdiskusi lama
terkait popularitas, akseptablitias dan elektabilitas, beliau akhirnya
mengurungkan niatnya untuk jadi caleg. Begitu pula ketika ada dua calon bupati
Nganjuk yang melamarnya untuk jadi calon wakil bupati.
Saya menjuluki beliau sebagai kiai gado-gado. Ini
karena pesantren yang didirikan sejak 2002 silam memiliki santri dengan latar
belakang bervariasi. Mulai dari korban broken home, pecandu narkoba,
mantan pelaku free sex, anak autis, cacat fisik, mantan pemabuk minuman
keras, korban KDRT hingga kehamilan yang tidak diinginkan.
Ironinya
lagi, mayoritas dari mereka adalah berstatus yatim. Kebanyakan dari mereka, lanjutnya, berasal dari keluarga tidak
utuh. Santri yang menimba ilmu di pondok ini ada yang berasal dari Sumatera,
Lampung, Kalimantan, Jawa Tengah, Kediri dan Nganjuk. Lokasi pondok ini tepat
berada di depan KUA Ngronggot atau di utara kantor MWC NU Ngronggot.
Kini Kiai Manan sudah tiada meninggalkan kita semua. Spiritnya untuk membantu sesama
harus tetap dikobarkan. Teladan hidup untuk tetap rendah hati dan legawa sudah
sepantasnya ditiru. Selamat jalan Kiai Manan…
*Mukani adalah santri almarhum, sekarang tinggal di
Jombang dan anggota Divisi Riset & Data LTN PWNU Jawa Timur.
or reload the browser
https://www.halaqoh.net/2021/01/kh-sumanan-hidayat-dan-al-quran-braille.html