Khilafah Versus Gula Klapa

Amenangi jaman edan

Ewuh aya ing pambudi

Milu edan ora tahan

Yen tan milu anglakoni

Boya kaduman melik

Kaliren wekasanipun

Dilalah karsa Allah

Begja-begjane kang lali

Luwih begja kang eling lawan waspada\

Serat Kalatidha, Ronggawarsita

Kondisi di Indonesia, terutama sejak 2014, saat gerakan yang mengatasnamakan “Islam” menjadi sebuah kekuatan politik tersendiri dan secara terbuka menggunakan sentimen-sentimen bernuansa SARA dalam percaturannya, adalah laiknya api di dalam sekam. Ketika momen-momen tertentu tiba, lazimnya mereka akan berunjukgigi.

Momen-momen itu, ketika diamati, kerapkali terbentuk juga oleh faktor-faktor eksternal, seumpamanya IS yang secara internasional eksis sampai kurun 2020 di Suriah. Secara diskursif, pola pergerakan, pola ekspresi, dan interpretasi-interpretasi atas Islam yang dikembangkan oleh gerakan-gerakan yang mengatasnamakan Islam di Indonesia saat itu pun tak ada bedanya.

Dengan demikian, saya kira, gerakan-gerakan “Islam” yang berkecenderungan radikal di Indonesia adalah gerakan-gerakan yang pada dasarnya bersifat otonom yang timbul-tenggelamnya tergantung oleh diskursus global tentang IS (Montase Radikalisme Kontemporer, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id). Karena itu, gerakan-gerakan ini pada hakikatnya adalah ibarat isi yang tinggal menunggu wadahnya untuk berunjukgigi. Jadi, IS bukanlah satu-satunya penyebab atas radikalisme dan terorisme di Indonesia.

Kini Taliban, sebuah organisasi yang kerap dilabeli sebagai organisasi terorisme internasional, telah menguasai Afghanistan yang tak urung pula akan menjadi sebuah wadah bagi gerakan-gerakan yang mengatasnamakan Islam di Indonesia untuk kembali menaiki panggung. Sifat “otonom” gerakan-gerakan “Islam” radikal di Indonesia terbukti ketika figur-figur yang dianggap sebagai role model mereka dipenjara, atau dipersempit ruang geraknya, tetap berupaya memanfaatkan, menekan dan mengacaukan kondisi di Indonesia. Maka figur-figur ini pada dasarnya memang tak pernah secara sengaja terpilih ataupun dipilih. Demikian pula mengenai wadahnya, entah IS, JI ataupun kini Taliban.

Baca juga:  Pamit

Dalam hal ini kita seperti menghadapi sebuah naskah yang lengkap dengan plotnya dimana para aktornya bisa siapa pun yang merasa terpanggil untuk memerankannya. Politik diskursif yang saya kembangkan sejak 2015 kiranya tetap mampu untuk menyingkapkan gerakan-gerakan semacam ini (Hikayat Kebohongan, Heru Harjo Hutomo, https://islami.co). Sebab, diskursus memang terbukti adalah faktor yang lebih penting dari bedil dan bom, bahkan dari ideologi itu sendiri.

Sifat laten radikalisme di Indonesia memang tak dapat juga dilepaskan dari “nubuwah” atau nujuman. Taruhlah IS dahulu yang mentaati nujuman tentang panji-panji hitam dan tanah yang dijanjikan atau narasi agung tentang khalifah pada sistem khilafah yang mendasari berbagai pergerakan organisasi radikal di Indonesia, entah yang bercorak revivalis dengan nujuman bulan sabitnya yang terbit dari Timur maupun yang radikal sekali pun dengan status manusia istimewa ala “habib” dan “sayyid”-nya.

Nujuman, pada dasarnya, memang tak dapat dilepaskan dari pergerakan politik apapun, baik yang bernuansa keagamaan maupun sekuler yang mencoba rasional. Bukankah kisah-kisah revolusi marxian berdenyut pula atas nujuman Karl Marx dimana kapitalisme akan tumbang karena kontradiksi internalnya sendiri? Bukankah kemerdekaan Indonesia dan figur Soekarno tak lepas pula dari faktor nujuman?

Maka dari itu, pada hakikatnya, kita sedang menghadapi sebuah gerakan “spiritual” yang pernah saya istilahkan sebagai spiritualitas semu yang cukup mencolok menjelang pilpres 2019 (Menguak Spiritualitas Semu di Balik Gerakan Op(l)osan, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id). Spiritualitas semu itu, ketika saya teliti, menampakkan gejala dimana dalam ilmu psikologi dikenal sebagai histeria dan neurosis obsesional. Celakanya, pada waktu itu, penyakit-penyakit psikologis yang dibungkus dengan idiom-idiom keagamaan dan spiritualitas yang bagi kalangan awam sampai dapat dipercaya sebagai agama ataupun doktrin-doktrin yang bersifat keagamaan, cukup mewarnai diskursus politik kontemporer di Indonesia (Histeria dan Neurosis Obsesional dalam Diskursus Politik Kontemporer Indonesia, Heru Harjo Hutomo dan Ajeng Dewanthi, https://www.idenera.com).

Baca juga:  Kapitayan (1): Dinamika di Tengah Temaram Zaman

Dari berbagai bukti di lapangan, saat itu banyak kita jumpai ekspresi-ekspresi yang sudah dapat digolongkan sebagai irasional, seumpamanya aksi penantangan dengan memotong jari tangan, ancaman pemenggalan kepala negara, aksi pengusiran dan penolakan penguburan pada orang-orang yang berbeda iman, obral pengkafiran, dan para simpatisan khilafaisme dari kalangan yang notabene non-muslim. Fenomena itu semua adalah seperti sebuah karnaval pelecehan akal sehat yang dipertontonkan secara murah. Namun, sebagaimana sepenggal puisi Hölderlin, “Wo aber Gefahr ist, wächst das Rettende auch,” resistensi atas spiritualitas semu itu pun tetap ada dan hidup. Saya menamakan kekuatan resisten ini sebagai gerakan “Gula Klapa” (Gula Klapa: Kapitayan dan Persinggungannya dengan Sufisme, Heru Harjo Hutomo, PT Nyala Masadepan Indonesia, Surakarta, 2021).

Bersua dengan zaman edan

Yang sangat membingungkan

Ikut gila namun tak tahan

Kalau pun tak ikutan

Berujung kesiasiaan

Dan akhirnya kelaparan

Ndilalah, kehendak Tuhan

Seberuntung beruntungnya yang lupa

Lebih beruntung yang eling dan waspada

https://alif.id/read/hs/khilafah-versus-gula-klapa-b239593p/