Khutbah Idul Adha: Integritas Pemimpin di Tengah Pandemi dan Kisah Nabi Ibrahim

Hadirin Jama’ah Shalat Jumat Rahimakumullah

Besok pagi, tanggal 20 Juli kita semua dipertemukan kembali dengan Hari Raya Akbar, yakni Hari Raya Idul Adha, yang jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah 1442 H. Pada momentum tersebut, kita diingatkan kembali mengenai napak tilas dari kisah monumental tentang Ibrahim dan putra terkasihnya, Ismail. Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail tersebut diabadikan dalam QS. Ash-Shaffat ayat 102-109. Diantaranya.

QURBAN NU CARE

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ

Artinya: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup atau baligh), lalu berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku

إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى

sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!”

Iklan – Lanjutkan Membaca Di Bawah Ini

قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.

Jika dicermati di dalam surat Ash-Shafat yang menceritakan kisah Nabi Ibrahim, kita akan menemukan sebuah kisah yang mengharu-biru dan memberikan kesan mendalam bagi setiap muslim. Betapa tidak, Nabi Ibrahim yang telah menunggu kehadiran buah hati selama bertahun-tahun ternyata diuji oleh Allah untuk menyembelih putranya sendiri, ‘hanya’ melalui sebuah mimpi.

Baca juga:  Masjid, Fikih, dan Air

Kalau dilihat sekilas, hati ayah mana yang tega melaksanakan perintah itu? Sedangkan seganas-ganasnya harimau pun, pasti tidak akan tega memakan anaknya sendiri. Namun beliau mampu menepis godaan sisi keduniawiannya, dengan mengutamakan perannya sebagai  utusan, pemimpin umat, dan juga hamba yang harus patuh terhadap perintah Tuhannya.

Dengan buah ketakwaan Ibrahim atas perintah Tuhan, pada akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi disembelih dengan digantikan seekor domba. Allah Swt dalam firmannya.

وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ

Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.

وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الآخِرِينَ

Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian,

سَلامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ

(yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”.

Kisah tersebut merupakan potret puncak kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Nabi Ibrahim mencintai Allah melebihi segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri, tanpa syarat.

Lalu kemudian, hikmah dan spirit apa yang kiranya bisa dipetik untuk pembelajaran bagi kita semua dari kisah Nab Ibrahim tersebut. Yang pertama adalah Integritas Ibrahim, terutama dalam melakukan apa yang selama ini telah diemban dan diikrarkannya. Beliau melaksanakan komitmennya sepenuh hati atas apa yang dianggapnya sebagai sebuah kebenaran yang datang dari Tuhannya, meski melalui media mimpi. Dia mendahulukan kepentingan  amanahnya daripada ego untuk mengakomodasi kepentingan individunya sebagai seorang ayah.

Baca juga:  Azan Tujuh di Hari Jumat Masjid Tua Cirebon

Sebuah ironi bila kita tarik ke dalam konteks kekinian, dimana banyak para pemimpin negeri ini justru dalam mengemban amanah lebih mendahulukan kepentingan pribadi dan golongannya daripada kepentingan umat yang telah diamanahkan kepadanya. Di mana ia tidak lagi mempunyai integritas. Tidak sama seperti perilaku, sumpah yang telah diucapkan, serta janji-janji yang telah digelontorkan pada masa kampanye. Apalagi disaat pandemi sekarang ini. Rakyat sedang benar-benar membutuhkan uluran tangan dari pemerintah. Sangat dzalim apabila anggaran untuk pandemi yang harus didistribusikan ke rakyat lalu dikorupsi. Na’udzubillah min dzalik..

Kisah kedua yang dapat diambil dari Nabi Ibrahim adalah kemampuan Ibrahim dalam menjaga amanah yang dibebankan serta keihklasan dengan mempersembahkan pengorbanan terbaik. Karena Allah ‘Azza Wa Jalla tidak membutuhkan daging, tidak membutuhkan darah, apalagi kulit hewan yang diqurbankan, akan tetapi nilai “taqwa” kita lah yang akan menentukan value “qurban” yang kita lakukan. Allah SWT berfirman:

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah,

وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.

كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ

Demikianlah Allah Telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al Haj : 37).

Demikianlah, keikhlasan, pengorbanan, rasa syukur, integritas, kelembutan hati untuk berbagi dan berkorban untuk orang lain yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim kepada kita semua. Semoga kita semua mampu meniru langkah yang sudah diajarkan oleh Nabi Ibrahim melalui kisahnya, sehingga kita bisa meraih derajat anfa’uhum linnas. Mampu bermanfaat bagi lingkungan sekitar dengan berqurban dan berkorban untuk orang lain. Amin Ya Rabba’alamin.

Baca juga:  Adakah Pakem Arsitektur Masjid dalam Islam

https://alif.id/read/noor-sholeh/khutbah-idul-adha-integritas-pemimpin-di-tengah-pandemi-dan-kisah-nabi-ibrahim-b238957p/