Khutbah Idul Adha: Menata Hati Meraih Mabrurnya Haji

KHUTBAH I

اللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ

اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا

وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ، وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا رَسُولُ اللّٰهِ، وَرَحْمَتُهُ الْمُهْدَاةُ صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الأَمِيْنِ، وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ الطَّيِّبِيْنَ الطَّاهِرِيْنَ

أَمَّا بَعْدُ، فَأُوصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللّٰهِ العَلِيِّ العَظِيْمِ، القَائِلِ فِي كِتَابِهِ الكَرِيْمِ: اِنَّآ اَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَرَۗ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ اِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْاَبْتَرُ

صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ وَصَدَقَ رَسُوْلُهُ الْكَرِيْمُ وَنَحْنُ عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ وَالشَّاكِرِيْنَ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Hadirin jamaah sholat Idul Adha rahimakumullah,

Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT; bersyukur karena hari ini kita masih diberi kesempatan untuk melaksanakan sholat Idul Adha, juga bersyukur karena tahun ini saudara-saudara kita jamaah haji dapat menunaikan ibadah tanpa ada lagi halangan pandemi. Sholawat serta salam semoga dilimpahkan kepada junjungan kita, Nabi besar Muhammad SAW.

Sebagai khatib saya berpesan, marilah kita senantiasa berusaha meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Bersyukur adalah bagian dari wujud takwa juga. Semakin kita bisa bersyukur, semakin meningkat level keimanan kita. Semakin kita sering mengeluh, semakin menunjukkan kadar keimanan kita yang sedang menurun.

Dalam Surat Ibrahim ayat 7 Allah SWT berfirman:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيْدٌ

Artinya: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”

Hadirin rahimakumullah,

Salah satu bentuk syukur kita kepada Allah adalah bahwa kita, sebagai Muslim di Indonesia khususnya, dapat hidup rukun dalam perbedaan. Kita meyakini bahwa perbedaan adalah sunnatullah, sesuatu yang sengaja Allah ciptakan sebagai pelajaran bagi hamba-hamba-Nya yang cerdas dan beriman. Karenanya, adanya perbedaan penentuan awal bulan Dzulhijjah tahun ini, yang menyebabkan adanya dua kali sholat Idul Adha pun, seyogyanya tidak menjadi alasan kita berseteru tanpa ilmu.

Alih-alih, perbedaan itu harus kita jadikan sebagai jalan agar kita terus menggali ilmu untuk memahami dengan baik mengapa perbedaan itu bisa terjadi.

Nabi Muhammad SAW berpesan:

اِخْتِلَافُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ

“Perbedaan di antara umatku adalah Rahmat.”

Inilah yang perlu terus kita kedepankan, mengubah perbedaan menjadi nikmat yang kita syukuri, sehingga bernilai ibadah, dan semakin mendekatkan kita kepada Sang Pencipta, Allah SWT.

Apalagi di bulan Idul Adha, Allah mengingatkan kepada hamba-hamba-Nya betapa banyak nikmat yang telah Allah anugerahkan, sehingga kita berkewajiban mendekat dengan dua macam ibadah, yaitu sholat dan berqurban.

Allah SWT berfirman:

اِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah. Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).”

Ibadah qurban, selain sebagai ibadah yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, juga mengandung ajaran sosial yakni berbagi rezeki dengan sesama. Jika di Hari Raya Idul Fitri, umat Muslim diajarkan untuk membahagiakan orang lain melalui zakat, maka saat Idul Adha ini kita diminta untuk menggembirakan hati orang berkekurangan, melalui ibadah qurban sesuai ketentuan yang telah disyariatkan.

Hadirin rahimakumullah,

Sebagaimana kita ketahui bahwa di bulan Dzulhijjah ini umat Muslim merayakan, dan sebagian menunaikan ritual haji di Makkah dan Madinah. Wukuf di Arafah merupakan puncak haji yang menandai sempurnanya kewajiban haji bagi mereka yang sedang menunaikannya.

اَلْحَجُّ عَرَفَةُ

“Berhaji itu adalah (wukuf) di Arafah,” demikian tuntunan Nabi SAW.

Seperti yang sama-sama kita ketahui, melaksanakan ibadah haji adalah salah satu rukun Islam yang wajib kita percayai dan kita laksanakan jika sudah memenuhi syarat-syarat dan ketentuan agama, yakni memiliki kemampuan, baik kemampuan fisik maupun material, karena ibadah haji adalah memang ibadah fisik, yang secara fiqhiyah keabsahannya sangat ditentukan oleh kehadiran dan gerakan ritual secara lahir.

Mari kita turut berdoa, semoga para jamaah haji mendapatkan pahala mabrur, yang balasannya tiada lain adalah surga. Nabi menegaskan bahwa:

اَلْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ اِلَّا الْجَنَّةُ

“Haji mabrur itu tidak ada balasan lain selain surga.”

Bagi kita yang tidak atau belum berkesempatan berhaji ke tanah suci, akan menarik untuk menyimak lanjutan hadis yang diriwayatkan oleh Sahabat Jabir tersebut. Diceritakan bahwa para sahabat kemudian bertanya:

عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلمالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةَ، قَالُوا: يَا نَبِيَّ اللهِ مَا بِرُّ الْحَجِّ الْمَبْرُورُ؟ قَالَإِطْعَامُ الطَّعَامِ، وَإِفْشَاءُ السَّلَامِ.

“Wahai Rasulullah, apa sesungguhnya hakikat dari kebaikan haji mabrur itu? Rasul menjawab: memberi makan (fakir miskin) dan menebarkan kedamaian (salam).”

Hadis ini mengisyaratkan adanya pesan moral bahwa orang yang berhaji semata belum tentu jaminan mendapatkan pahala mabrur, bahkan meski hajinya berulang-ulang. Hakikat dari haji mabrur kata Nabi tidak terletak pada berapa kali haji itu dilaksanakan, melainkan pada sejauh mana kita bisa menjadi lebih dekat dengan Tuhan; dengan memberi, seperti melalui qurban, atau bahkan cukup dengan menciptakan kedamaian.

Dalam ajaran Islam, nilai haji memang sangat penting dan dianggap sebagai sebuah capaian spiritualitas tinggi seorang Muslim. Mengingat tingginya posisi spiritual haji itulah maka dalam berbagai tradisi Islam, baik dalam tradisi fikih, tradisi tasawuf, hadis, maupun dalam tradisi-tradisi keilmuan Islam lainnya, semangat untuk mendapatkan pahala haji mabrur selalu menjadi salah satu topik pembicaraan. Sangat banyak teks dalam tradisi keislaman yang menceritakan berbagai cara untuk mendapatkan esensi haji, yaitu mabrur!

Dalam perspektif fikih Islam, syarat haji mabrur tentu saja harus didahului oleh sah atau tidaknya pelaksanaan ibadah haji tersebut. Karenanya kunci mabrur juga ditentukan oleh bagaimana menjalankan segala syarat dan rukun haji yang telah ditetapkan oleh para ulama, mulai dari niat haji, cara mengenakan pakaian ihram, tertib thawaf, dan hal-hal lain yang terkait ritual ibadah haji.

Tradisi tasawuf lain lagi melihatnya. Para sufi lebih menekankan pada bagaimana memperoleh esensi haji itu sendiri, bukan semata ritual fisiknya. Dalam sebuah bait syair yang terkenal misalnya, sufi besar Melayu asal Aceh, Hamzah Fansuri, berdendang:

Hamzah Fansuri di dalam Mekah # mencari Tuhan di Baitul Ka’bah

Di Barus ke Kudus terlalu payah # akhirnya dapat di dalam rumah

Hadirin yang berbahagia,

Sepintas bait-bait Hamzah Fansuri di atas seperti meremehkan kesucian Makkah sebagai Baitullah, rumah Allah tempat “bertemu” dengan-Nya, dan cukup menggantinya dengan mencari Tuhan di dalam rumah sendiri saja. Akan tetapi, jika kita memahaminya dalam konteks batin, esensi yang sedang dikumandangkan oleh Hamzah Fansuri sesungguhnya adalah bahwa nilai haji mabrur sesungguhnya dapat diperoleh di mana saja, dan bahkan dengan cara apa saja, sejauh kita sendiri mampu meraihnya.

Dalam hadis di atas, Nabi memberikan tips bahwa kita yang tidak sedang berada di tanah suci, juga bisa mendapatkan pahala mabrur haji manakala bisa dengan ikhlas menyantuni kaum dhu’afa serta selalu menebarkan kedamaian kepada orang lain.

Bukan satu dua sumber-sumber lokal Islam di Nusantara memberikan ilustrasi tentang hal ini. Dalam kitab Melayu Tajussalatin yang ditulis oleh Bukhari Al-Jauhari pada awal abad ke-17, misalnya dikisahkan bahwa ada seorang raja Islam yang sholeh hendak pergi menunaikan ibadah haji, tapi masalahnya ia berarti harus meninggalkan tugasnya sebagai raja. Maklumlah, pada masa lalu, perjalanan haji tidak bisa ditempuh dengan hitungan hari atau bulan, melainkan tahun.

Sang raja pun berkonsultasi kepada para pembesar istana terkait rencananya itu. Lalu, apa nasihat para pembesar istana itu kepada sang raja? salah seorang di antara mereka berkata seraya menyampaikan sembahnya:

“Wahai Syah alam, bahwa raja ada dalam negeri seperti nyawa pada tubuh. Jika nyawa bercerai daripada tubuh, niscaya binasalah tubuh itu.”

Alih-alih mendukung rencana raja untuk berangkat haji, para pembesar istana itu menyarankan sang raja untuk menemui dan berkonsultasi dengan seorang Syaikh, yang disebutnya sebagai ‘seorang haji yang sholeh’, dan konon telah beberapa tahun lamanya bermukim di Makkah.

Ketika sang raja mengemukakan rencananya untuk menunaikan ibadah haji seraya menyampaikan kendala yang dihadapinya, maka Syaikh tersebut berkata:

“Hai raja, jikalau seorang hamba Allah yang teraniaya datang kepadamu dan kamu dengan suka hati memeriksai halnya dan dengan lembut manis berkata-kata dengan dia dan melepaskan dia daripada tangan orang zalim dan hamba Allah yang mazlum itu pulang dengan suka hatinya daripadamu, maka pahala enam puluh haji itu kuberikan padamu dengan suka hati, dan dalam berniaga itu akulah yang beroleh laba daripadamu dengan sebenarnya”.

Hadirin jamaah sholat Idul Adha yang dimuliakan Allah,

Kisah yang diceritakan dalam kitab Tajussalatin tersebut tentu saja merupakan sebuah perumpamaan dan hikmah atau kearifan lokal yang mengajarkan kepada kita bahwa dalam situasi tertentu, bersikap adil dan membantu orang papa yang sangat membutuhkan uluran tangan memiliki nilai spiritual yang jauh lebih tinggi ketimbang melaksanakan ibadah haji sendiri.

Dalam Kitab Nasho’ihul Ibad, yang berarti nasihat bagi para hamba Allah, ulama kita Syaikh Nawawi Al-Bantani juga secara khusus mengulas salah satu Hadis Nabi yang berbunyi:

مَنْ أَصْبَحَ يَنْوِي نُصْرَةَ الْمَظْلُوْمِ وَقَضَاءَ حَاجَةِ الْمُسْلِمِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ مَبْرُوْرَةٍ

“Barang siapa yang di pagi hari berniat menolong orang yang teraniaya serta memenuhi kebutuhan sesama Muslim, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala haji mabrur”.

Berbagai teks di atas tentu saja juga mengingatkan kita kepada riwayat Abdullah bin Mubarak, seorang penutur hadis (muhaddis) abad ke-8 yang mengisahkan bahwa pada suatu ketika selepas berhaji, ia tertidur dan bermimpi mendengarkan percakapan dua malaikat.

Salah satu di antaranya bertanya: “berapa orang berhaji tahun ini?” “enam ratus ribu orang”, jawab Malaikat lainnya. “Lalu berapa orang yang mabrur?” “Tidak ada satupun, kecuali satu orang, yakni tukang sepatu di Damsyiq bernama Ali bin Muwaffak. Ia tidak datang menunaikan ibadah haji, tetapi mendapatkan pahala haji mabrur dan dosanya pun diampuni.”

Usut punya usut, ternyata yang dilakukan oleh Ali bin Muwaffaq adalah menginfakkan sejumlah dana yang sudah lama dipersiapkannya untuk berangkat haji kepada tetangganya yang miskin dan sedang kelaparan.

Barangkali, inilah makna hakiki perintah Allah dalam surat Al-Kautsar itu:

اِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ

Mari kita niatkan dan kita maknai qurban yang kita laksanakan pada Idul Adha kali ini sebagai ibadah tulus kita untuk berbagi kepada sesama yang membutuhkan. Semoga dengan demikian, kita pun mendapat kemuliaan pahala haji mabrur di sisi Allah SWT. Amin.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي اللهُ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا وَاَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ يَا قَاضِيَ الْحَاجَاتِ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْجَوَّادُ الْكَرِيْمُ.

 

KHUTBAH II

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ ولله الْحَمْدُ

الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ  ثُمَّ الْحَمْدُ لِلَّهِ أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ وأشهدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ لَانَبِيّ بعدَهُ

أللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ.

أَمَّا بَعْدُ، فَأُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللّٰهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاتَّقُوا اللهَ تَعَالَى فِي هَذَا الْيَوْمِ الْعَظِيمِ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا وَنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الطَّيِّبِيْنَ، وَارْضَ اللّٰهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ، أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ الصَّالحين.

اللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيعٌ قَرِيبٌ مُجِيبُ الدَّعَوَاتِ، اللّٰهُمَّ اجْعَلْ عِيدَنَا هَذَا سَعَادَةً وَتَلاَحُمًا، وَمَسَرَّةً وَتَرَاحُمًا، وَزِدْنَا فِيهِ طُمَأْنِينَةً وَأُلْفَةً، وَهَنَاءً وَمَحَبَّةً، وَأَعِدْهُ عَلَيْنَا بِالْخَيْرِ وَالرَّحَمَاتِ، وَالْيُمْنِ وَالْبَرَكَاتِ، اللّٰهُمَّ اجْعَلِ الْمَوَدَّةَ شِيمَتَنَا، وَبَذْلَ الْخَيْرِ لِلنَّاسِ دَأْبَنَا، اللّٰهُمَّ أَدِمِ السَّعَادَةَ عَلَى وَطَنِنَا إندونيسيا، وَانْشُرِ الْبَهْجَةَ فِي بُيُوتِنَا، وَاحْفَظْنَا فِي أَهْلِينَا وَأَرْحَامِنَا، وَأَكْرِمْنَا بِكَرَمِكَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ حُجَّاجِ بَيْتِكَ الْحَرَامِ وَارْزُقْنَا الذَّهَابَ لِلْحَجِّ وَاكْتُبْ لَنَا زِيَارَةَ بَيْتِكَ الْحَرَامِ، وَزِيَارَةَ قَبْرِ رَسُوْلِكَ صلّى الله عليه وآله وسلّم يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ، اَللَّهُمَّ اجْعَلْ حَجَّهُمْ حَجًّا مَبْرُوْرًا وَسَعْيًا مَشْكُوْرًا وَذَنْبًا مَغْفُوْرًا وَعَمَلًا صَالِحًا مَقْبُوْلًا وَتِجَارَةً لَنْ تَبُوْرَ يَا عَالِمَ مَا فِي الصُّدُوْرِ أَخْرِجْنَا يَا اَللهُ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَي النُّوْرِ، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً، وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، وَأَدْخِلْنَا الْجَنَّةَ مَعَ الْأَبْرَارِ، يَا عَزِيزُ يَا غَفَّارُ


Oleh Prof. Dr. K.H. Oman Fathurahman, M.Hum
(Kepala Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah Depok, Guru Besar Filologi FAH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Pengampu Ngariksa)
___________

Editor: Hakim

https://www.laduni.id/post/read/517403/khutbah-idul-adha-menata-hati-meraih-mabrurnya-haji.html