Khutbah Jumat: Makna Tersirat Hijrah Nabi dalam Menebarkan Pesan Damai

KHUTBAH I

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ اَللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ، وَعُضَّالِ الدَّاءِ، وَخَيْبَةِ الرَّجَاءِ، وَنَعُوْذُ بِكَ مِنَ الشَّقَاوَةِ بَعْدَ الْهِدَايَةِ وَمِنْ السَّلْبِ بَعْدَ الْعَطَاءِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، هُوَ الْأَوَّل قَبْلَ كُلِّ شَيْءٍ، وَالْآخِرُ بَعْدَ كُلِّ شَيْءٍ اَلْغَنِيُّ الَّذِيْ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى شَيْءٍ، اَلْقَادِرُ الَّذِيْ لَا يَعْجِزُهُ شَيْءٌ، اَلْعَالِمُ الَّذِيْ لَا يَخْفَى عَلَيْهِ شَيْءٌ، يَعْلَمُ دَبِيْبَ النَّمْلَةِ السَّوْدَاءِ عَلَى الصَّخْرَةِ الصَّمَاءِ فِي اللَّيْلَةِ وَالظَّلْمَاءِ.

وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أَرْسَلَهُ اللهُ بِقُرْآنٍ كَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا، وَبِسُنَّةٍ كَالْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا، فَمَنْ سَارَ فِيْهِمَا سَارَ فِي ضَوْءِ النَّهَارِ إِذَا جَلَّاهَا، وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْهُمَا عَاشَ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ إِذَا يَغْشَاهَا.

أَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَاةً يَتَجَدَّدُ بِهَا سُرُوْرُهُ، وَيَتَضَاعَفُ بِهَا حُبُوْرُهَ، وَيَشْرَقُ بِهَا عَلَى قَلْبِيْ نُوْرُهُ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ. أَمَّا بَعْدُ،

فَيَا عِبَادَ الله… أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقَوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.

Ma’asyiral Muslimin, Rahimakumullah,

Setelah memuji kepada Allah SWT, bersholawat kepada Baginda Nabi Agung Muhammad SAW, keluarga, serta sahabatnya, izinkan saya untuk berwasiat kepada hadirin semua, khususnya pada diri saya sendiri.

Marilah kita selalu meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT, dengan selalu mendekatkan diri kepada-Nya. Yakni mengerjakan apa yang diperintahkan, serta menjauhi apa yang dilarang, kapan pun dan di mana pun, dalam keadaan bagaimana pun, senang maupun susah, gembira ataupun sedih. Karena dengan kita bertakwa, Allah SWT pasti akan menjamin kehidupan kita, baik di dunia maupun di akhirat dan juga akan memberikan jalan keluar atas setiap masalah yang kita hadapi.

Ma’asyiral Muslimin, Rahimakumullah,

Saat ini kita sedang berada di Bulan Shafar. Peristiwa hijaranya Nabi dari Makkah ke Yatsrib atau Madina terjadi di akhir Bulan Shafar hingga pertengahan Rabiul Awal.

Tepatnya, pada tanggal 26 Shafar Nabi Muhammad SAW keluar dari rumah meloloskan diri dari kejaran para kaum Kafir Quraisy di Makkah, berlindung beberapa hari di Gua Tsur bersama sahabat setianya, Abu Bakar ash-Shiddiq. Kemudian bergerak ke Yatsrib atau Madinah pada tanggal 1 Rabi’ul Awal, dan tiba dengan selamat di Quba yang masih berada di luar kota Yatsrib pada tanggal 12 Rabi’ul Awal yang bertepatan pada tanggal 2 Juli 622.

Ketika itu, prioritas pertama yang beliau canangkan adalah membangun masjid, yang belakangan kita kenal saat ini dengan Masjid Quba.

Ma’asyiral Muslimin, Rahimakumullah,

Selama periode Makkah, Nabi Muhammad SAW bersama dengan pengikutnya diperlakukan sangat tidak manusiawi oleh orang-orang Musyrik Makkah. Tercatat dalam sejarah bagaimana pemangku adat bersama dengan birokrat melakukan pemboikotan (embargo) ekonomi dan sosial selama kurang lebih tiga tahun lamanya.

Dalam pemboikotan itu, ditetapkan aturan sepihak. Pertama, siapa pun yang memberi pertolongan, hatta menerima kaum Muslimin sebagai tamu di rumahnya, maka ia dianggap bagian dari mereka dan hak-haknya sebagai warga masyarakat juga ikut diputus. Kedua, tidak dibolehkan terjadi hubungan pernikahan dengan kaum Muslimin. Ketiga, penduduk Makkah tidak diperkenankan melakukan transaksi ekonomi dengan kaum Muslimin. Semua produk pertanian, peternakan, industri tidak boleh dijual kepada pengikut Muhammad SAW. Sebaliknya, semua produk yang dihasilkan kaum Muslimin dilarang dibeli oleh penduduk kota.

Selama kurun waktu tiga tahun embargo itu berlangsung hampir tak ada lagi di antara kaum Muslimin yang dapat dikategorikan sebagai orang kaya, karena usaha-usaha mereka macet total, dan harta yang mereka miliki digunakan untuk berbagi dengan yang lainnya untuk sekedar menyambung kehidupan. Mau tidak mau mereka terpaksa saling mendekat untuk bisa saling menguatkan.

Akses keluar mereka pun dibatasi dengan hanya satu pintu keluar yang dengan mudah dapat dipantau efektivitas embargo itu. Ummu Jamil, isteri Abu Lahab, memiliki pekerjaan baru saat itu, yakni menanam ranjau berupa duri padang pasir yang panjang dan tajam di sekitar akses satu-satunya umat Islam. Hampir setiap hari ada saja di antara kaum Muslimin yang terkena ranjau itu.

Saat-saat seperti itu, Ummu Jamil kegirangan bahagia di atas penderitaan orang lain. Pantas apabila Al-Qur’an mengabadikan sebagai wanita yang akan menggunakan ‘perhiasan’ berupa kalung dari api nanti di akhirat, sebagaimana firmah Allah SWT dalam Surat Al-Lahab ayat 4-5:

وَّامْرَاَتُهٗ ۗحَمَّالَةَ الْحَطَبِۚ فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ ࣖ

Ma’asyiral Muslimin, Rahimakumullah,

Dalam situasi yang berkepanjangan itu dan dampak buruk yang ditimbulkan, Nabi Muhammad SAW berupaya bergegas hijrah ke Thaif yang merupakan daerah subur sejak dulu, demi untuk mencari bantuan ekonomi.

Akan tetapi, harapan beliau pupus ketika diusir dari kota itu, dianggap orang sinting bahkan dilempari batu-batu gurun dari pemuda-pemuda setempat hingga betis dan rahangnya berdarah-darah. Di luar pintu kota itu beliau duduk berteduh sambil membersihkan luka-lukanya di bawah naungan hamparan perkebunan anggur.

Di tengah-tengah keheningan berbaur kesedihan sekonyong-konyong malaikat Jibril datang menghampiri dan berkata, “Tuhanmu tidak tidur, Ia menyaksikan semua peristiwa. Angkat kedua tanganmu dan berdoalah agar semua orang yang memperlakukan engkau tidak manusiawi ditimpakan azab!”

Ibarat kata, ucapan Jibril belum sampai titik, langsung disambut dengan ujaran Nabi, beliau berkata, “Jangan, jangan, tidak perlu…, Allahummahdi qaumi, fainnahum la ya’lamun (Ya Allah berilah petunjuk kaumku, mereka melakukan hal itu hanya karena tidak tahu kebenaran yang saya sampaikan).”

Ma’asyiral Muslimin, Rahimakumullah,

Bandingkan, para hadirin, dengan apa yang dialami Nabi Nuh AS di masanya. Sembilan ratus lima puluh tahun berdakwah sebagaimana terekam di dalam Al-Qur’an Surat Al-Ankabut ayat 14, yang hanya beberapa puluh kepala yang mau mengikutinya. Nabi Nuh saat itu diperlakukan tidak manusiawi, diolok-olok, dan dipermalukan di setiap kesempatan, hingga Jibril datang menawari bantuan sebagaimana yang dialami Nabi Muhammad SAW ketika di Thaif seperti dikemukakan tadi.

Ketika itu, Nabi Nuh AS langsung mengangkat kedua tangannya dan berdoa dengan getaran suara membahana,

وَقَالَ نُوْحٌ رَّبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْاَرْضِ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ دَيَّارًا

Artinya, “Nuh berkata, ‘Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.’” (QS. Nuh: 26)

Serta merta gemuruh hujan dan air menyembur dari bumi serta air laut pasang (rob) yang boleh jadi itu merupakan tsunami pertama yang terjadi di planet ini. Banjir bandang atau tsunami itu tak menyisakan seorang pun orang kafir sesuai dengan doa Nabiyyullah Nuh AS.

Ma’asyiral Muslimin, Rahimakumullah,

Ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah pada hari Jumat, yang saat itu merupakan hari pertama disyariatkannya Shalat Jumat, beliau mempersaudarakan semua orang, mulai dari kaum Muhajirin (pendatang) dengan kaum Anshar (pribumi) dan semua unsur penduduk yang sudah ada terlebih dahulu di sana, tanpa mempersoalkan latar belakang agama mereka.

Dibikinkan sebuah dokumen, yang oleh para ahli sejarah disebut sebagai konstitusi pertama yang dibuat di muka bumi ini untuk sebuah sistem negara, yang mengatur perjanjian antara dirinya dengan suku-suku yang ada dalam berkehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kelak dokumen ini kemudian dikenal dengan Piagam Madinah (Shahifah Al-Madinah).

Mereka hidup damai dan harmoni dalam berbagai latar belakang tanpa ada yang saling mengganggu. Bahkan, penduduk Anshor banyak yang terus menolong saudaranya meskipun mereka sendiri sejatinya masih sangat kekurangan.

Mari kita simak Al-Qur’an Surah Al-Hasyr ayat 9, berikut ini:

وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُو الدَّارَ وَالْاِيْمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّوْنَ مَنْ هَاجَرَ اِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُوْنَ فِيْ صُدُوْرِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ اُوْتُوْا وَيُؤْثِرُوْنَ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۗوَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَۚ

Artinya, “Orang-orang (Anshor) yang telah menempati kota (Madinah) dan beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin) mencintai orang yang berhijrah ke (tempat) mereka. Mereka tidak mendapatkan keinginan di dalam hatinya terhadap apa yang diberikan (kepada Muhajirin). Mereka mengutamakan (Muhajirin) daripada dirinya sendiri meskipun mempunyai keperluan yang mendesak. Siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran itulah orang-orang yang beruntung.”

Ma’asyiral Muslimin, Rahimakumullah,

Keikhlasan berbagi dengan sesama manusia, sebagaimana ditunjukkan kaum Anshor kepada kaum Muhajirin, merupakan salah satu bentuk sikap altruisme atau peduli kebutuhan orang lain, yang harus terus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Dan prinsip aling menyayangi dan menghormati adalah salah satu pilar yang ditancapkan oleh Rasulullah SAW ketika berada di Madinah.

Di dalam Al-Qur’an, akhir Surah Al-Fath, telah dijelaskan karakteristik masyarakat yang dibentuk oleh Rasulullah SAW dalam lima hal, yakni,

Pertama, tegas terhadap perilaku-perilaku yang tidak Islami. Perilaku-perilaku menolak atau menentang kebenaran. Ada benang merah yang jelas antara kebenaran (keimanan) dengan kebatilan (kekufuran), antara yang menerima kebenaran dan yang menolaknya.

Kedua, saling mengasihi antar sesama. Mereka menunaikan hak dan kewajiban serta hidup saling memberi support (ta’aruf, tarahum, ta’awun, takaful, tadhamun atau saling mengenal, mengasihi, menolong, menanggung, dan saling menjamin) dalam kebaikan.

Ketiga, melazimkan shalat lima waktu sesuai dengan aturan syar’i secara konsisten.

Keempat, mendorong untuk terus bekerja keras mencari karunia Allah yang halal yang diridhoi oleh Allah SWT. 

Kelima, tampak ada tanda-tanda bekas atau dampak shalatnya dalam penampilan kepribadian sehari-hari. Tidak lain dampak itu adalah mencegah perbuatan keji dan mungkar. Apabila seseorang telah terpelihara dari perbuatan keji dan mungkar maka ia telah mendapati tanda-tanda bekas sujud di wajahnya (simahum fi wujuhihim min atsaris sujud).

Ma’asyiral Muslimin, Rahimakumullah,

Pada saat umat Islam telah memiliki kekuatan, Rasulullah SAW bersama sahabatnya melakukan pembebasan kota Makkah atau Fathu Makkah dari para tiran yang mengeksploatasi penduduknya dalam kehidupan jahiliyah. Peristiwa itu terjadi pada Bulan Ramadhan tahun 8 H (630M).

Ada satu hal yang sangat menarik, bahwa setelah umat Islam dapat membebaskan kota itu, Nabi Muhammad SAW mengumpulkan semua penduduk Makkah lalu disuruh berdiri berbaris. Mereka mengira segera dieksekusi dengan hukum pancung sebagaimana lazimnya mereka melakukannya terhadap tawanan perang.

Akan tetapi, sama sekali di luar dugaan mereka, karena tak setetes darah pun mengucur. Malah Rasulullah SAW menyampaikan pidato singkat dan tegas,

“Aku sampaikan kepada kalian sebagaimana perkataan Yusuf kepada saudaranya: ‘Pada hari ini tidak ada cercaan atau dendam atas kalian. Allah mengampuni kalian. Dia Maha Penyayang.’ Pergilah kalian! Sesungguhnya kalian telah bebas!’ ‘Antum At-Thulaqa’, Dan hari ini adalah hari kebebasan tanpa syarat.”

Ma’asyiral Muslimin, Rahimakumullah,

Lihatlah! Tiada dendam, tiada cercaan, tiada makian, meskipun bertahun-tahun beliau SAW beserta sahabatnya diboikot, diembargo, diranjau, dimaki-maki selama itu, bahkan kemudia diusir keluar dari tempat tinggalnya setelah berkali-kali luput dari pembunuhan.

Sungguh mulia teladan Baginda Nabi Muhammad SAW buat kita yang masih ada dan masih sering dendam lalu membalas, dengan makian, umpatan, tawuran, perundungan atau bullying, bahkan kadang-kadang dengan gibah, secara langsung maupun lewat media sosial. Na’udzu billah!

Ma’asyiral Muslimin, Rahimakumullah,

Karena itu mari kita lebih mawas diri dan meningkatkan kesadaran bahwa makna hijrah yang sesungguhnya itu telah disampaikan oleh Rasulullah SAW. Beliau bersabda;

اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ، وَالمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ

Artinya, “Orang Muslim itu adalah mereka yang membuat orang lain damai dari gangguan ucapan dan perbuatannya. Dan yang dimaksud dengan orang yang berhijrah itu adalah mereka yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Semoga Allah SWT memberi kekuatan kepada kita untuk senantiasa menebarkan pesan damai dan selalu mencegah keburukan di mana pun kita berada, karena seperti itulah yang diteladankan oleh Rasulullah SAW kepada umatnya.

KHUTBAH II

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ

فيَآايُّهاالنّاسُ اتَّقُوا اللهَ تَعَالَى وَذَرُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَحَافِظُوْا عَلَى الطَّاعَةِ وَحُضُورِ الْجُمُعَةِ والْجَمَاعَةِ. وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ  فِيه بِنَفْسِهِ وَثَنَّى بِمَلائكةِ قُدْسِهِ. فَقالَ تَعَالَى ولَمْ يَزَلْ قائِلاً عَلِيمًا: إِنَّ اللهَ وَملائكتَهُ يُصَلُّونَ على النَّبِيِّ يَآ أَيّها الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وسَلِّمُوا تَسْلِيْمًا اللَّهمَّ صَلِّ وسَلِّمْ على سيِّدِنا محمَّدٍ وعلى آلِ سيِدِنَا محمَّدٍ  كَما صَلَّيْتَ على سيِّدِنا إِبراهِيمَ وعلى آلِ سيِّدِنَا إِبراهِيمَ في الْعالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ. اللَّهمَّ وَارْضَ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرّاشِدِينَ الَّذينَ قَضَوْا بِالْحَقِّ وَكانُوا بِهِ يَعْدِلُونَ أَبي بَكْرٍ وعُمرَ وعُثْمانَ وعلِيٍّ وَعَنِ السَتَّةِ الْمُتَمِّمِينَ لِلْعَشْرَةِ الْكِرامِ وعَنْ سائِرِ أَصْحابِ نَبِيِّكَ أَجْمَعينَ وَعَنِ التَّابِعِينَ وتَابِعِي التَّابِعِينَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسانٍ إِلَى يَومِ الدِّينِ. اللَّهمَّ لا تَجْعَلْ لِأَحَدٍ مِنْهُمْ فِي عُنُقِنَا ظَلَامَةً ونَجِّنَا بِحُبِّهِمْ مِنْ أَهْوَالِ يَومِ الْقِيامَةِ.

 اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامَ والمُسْلِمِيْنَ وأَهْلِكِ الْكَفَرَةَ والمُشْركِينَ، ودَمِّرْ أَعْداءَ الدِّينِ، اَللَّهمَّ آمِنَّا فِي دُوْرِنَا وأَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا، وَاجْعَلِ اللَّهُمَّ وِلَايَتَنا فِيمَنْ خافَكَ وَاتَّقَاكَ، اللَّهمَّ آمِنَّا فِي دُوْرِنَا وأَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا، وَاجْعَلِ اللَّهُمَّ وِلَايَتَنا فِيمَنْ خافَكَ وَاتَّقَاكَ.

اللَّهمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْياءِ مِنْهُمْ والْأَمْواتِ بِرَحْمَتِكَ يَا وَاهِبَ الْعَطِيَّاتِ. اللَّهمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ والوَباءَ والزِّنا والزَّلَازِلَ وَالمِحَنَ وَسُوءَ الفِتَنِ ما ظَهَرَ مِنْها وما بَطَنَ عَنْ بَلَدِنا هَذا خاصَّةً وعَنْ سائِرِ بِلَادِ الْمُسلمينَ عامَّةً يا رَبَّ الْعَالَمِينَ.رَبَّنا آتِنا في الدّنيا حَسَنَةً وَفي الآخرة حَسَنَةً  وقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

***

عِبادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ والْإِحْسان وإِيتاءَ ذِي الْقُرْبَى  ويَنْهَى عَنِ الْفَحْشاءِ والْمُنْكَرِوَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، فَاذْكُرُوا اللهَ العَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوهُ على نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْئَلُوهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ أَكْبَرُ


Oleh Prof. Dr. H. M. Darwis Hude, M.Si
(Dosen UIN Syahid, PTIQ dan IIQ)
___________

Editor: Hakim

https://www.laduni.id/post/read/517560/khutbah-jumat-makna-tersirat-hijrah-nabi-dalam-menebarkan-pesan-damai.html