KHUTBAH I
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي امْتَنَّ عَلَى الْعِبَادِ بِأَنْ يَجْعَلَ فِي كُلِّ زَمَانِ فَتْرَةٍ مِنَ الرُّسُلِ بَقَايَا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ، يَدْعُونَ مَنْ ضَلَّ إِلَى الْهُدَى، وَيَصْبِرُونَ مِنْهُمْ عَلَى الأَذَى، وَيُحْيُونَ بِكِتَابِ اللَّهِ أَهْلَ الْعَمَى. أَشْهَدُ أَنْ لَاۧ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ . اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى سَيِّدِنَا مَحَمَّدٍ الْمُجْتَبٰى، وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ التُّقٰى وَالْوَفٰى. أَمَّا بَعْدُ، فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى. فَقَالَ اللهُ تَعَالٰى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ.
الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ رَبَّنَآ اِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ اَخْزَيْتَهٗ ۗ وَمَا لِلظّٰلِمِيْنَ مِنْ اَنْصَارٍ
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Mengawali khutbah ini, tidak bosan-bosannya, khatib mengajak kepada diri khatib pribadi dan seluruh jamaah untuk senantiasa bersyukur pada Allah swt atas segala anugerah nikmat yang kita terima dalam kehidupan ini. Dan juga mari kita terus meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt, bukan hanya diucapkan melalui lisan kita saja, namun terlebih dari itu ditancapkan dalam hati dan diwujudkan dalam perbuatan kita sehari-hari. Di antara wujud komitmen bertakwa itu adalah senantiasa menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala yang dilarang-Nya.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang menjadi panutan kita dan tiap sunnahnya selalu kita teladani.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Manusia merupakan makhluk yang sempurna diciptakan oleh Allah dengan berbagai potensinya. Manusia dibekali dengan potensi insting (rasio atau akal), dan rasa (kalbu atau hati nurani). Inilah perbedaan yang paling nyata sekali dengan mahluk-mahluk lainnya. Dalam pandangan hidup kita sehari-hari, kedua alat ini harus dapat dipakai secara seimbang dan memiliki peranan yang sama pentingnya.
Potensi yang ada dalam diri manusia adalah akal pikiran (rasio) dan rasa (kalbu atau hati nurani) yang sehat. Di mana dengan akal (rasio) yang sehat manusia bisa menggunakannya dengan optimal, agar lebih maju dalam berbagai bidang, dapat membuka cakrawala pikiran yang ilmiah, serta dapat digunakan untuk menimbangkan sesuatu pekerjaan mana yang baik dan mana buruk. Dengan rasa (kalbu atau hati nurani) manusia bisa memilih secara langsung mana yang lebih baik dan mana yang lebih buruk, terhadap berbagai masalah yang sedang dihadapinya, kemampuan rasa (kalbu atau hati nurani) itu tergantung kepada dirinya seseorang.
Ibnu Athaillah mengatakan, “Berpikir itu adalah perjalanan hati di dalam semua lapangan kehidupan makhluk”. Berpikir itu pelita yang hidup di dalam hati manusia. Ia merupakan jalannya perasaan yang dikirimkan melalui otak untuk dilaksanakan oleh anggota badan dan panca indera. Hamba Allah yang suka berpikir, akan menghidupkan ruhaninya, menyegarkan otaknya dan menyegarkan pelaksanaan ibadahnya. Oleh karena itu Islam menganjurkan mempergunakan akal pikiran untuk menganalisa, meneliti semua makhluk dan alam semesta ciptaan Allah, agar iman dan keyakinan makin hidup dan makin meningkat kualitasnya. Saat melihat semua alam dan ciptaan-Nya yang ditangkap oleh penglihatan, diproses di dalam alam pikiran, dirasakan kebesaran-Nya dalam hati, sebagai anugerah Tuhan yang perlu dimanfaatkan sebagai ibadah.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Berpikir yang dianjurkan Allah kepada makhluknya ialah memperhatikan kebesaran kekuasaan Allah yang telah dijelmakan pada makhluk yang diciptakannya di alam ini.
Semua yang ada di alam semesta ini adalah tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang yang berpikir, sebagaimana yang tersurat dalam Q.S. Ali ‘Imran ayat 191-192
الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ رَبَّنَآ اِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ اَخْزَيْتَهٗ ۗ وَمَا لِلظّٰلِمِيْنَ مِنْ اَنْصَارٍ
Artinya: (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Mahasuci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya orang yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka Engkau benar-benar telah menghinakannya dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang yang zalim.(Qs. Ali Imran: 191-192)
Menghidupkan pikiran untuk memikirkan, menganalisa, menelitinya untuk mendapat keyakinan yang kokoh diwajibkan dalam melaksanakan amal ibadah dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Selama manusia masih mampu berpikir, selama itu pula ia berkewajiban memikirkan semua ciptaan Allah dan mengambil manfaat bagi kehidupan manusia.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Memikirkan ciptaan untuk menghidupkan rasa beragama dan berke-Tuhan-an dalam hati dan jiwa manusia, timbul dari perasaan iman. Memikirkan alam sekitar dengan makhluk ciptaannya yang dapat menimbulkan ilmu pengetahuan yang dikembangkan bagi kesejahteraan lahir dan batin manusia, Apabila akal tidak digunakan untuk merenungkan kebesaran kekuasaan Allah, maka akan menjadi gelap, karena dipenuhi oleh kebodohan dan tipu daya.
Dalam pandangan Islam, iman adalah pengakuan kebenaran yang dilakukan oleh hati, dan pernyataan yang diutarakan oleh ucapan. Di sini, akal tidak memiliki tempat bagi bersemayamnya iman, karena sesungguhnya hati merupakan pusat berpusarnya seluruh rasa manusia. Hal ini perlu dicermati, karena sesungguhnya iman adalah sebuah cita rasa yang tinggi, sedangkan akal merupakan media penghantar menuju keimanan melalui fase-fase yang mengarah ke sana.
Hakikat-hakikat ilahiah yang diakui dan dibenarkan oleh akal pikiran, tetapi tidak disertai dengan pengakuan yang bersumber dari hati, tidak akan menghasilkan keimanan yang hakiki. Selama iman tidak bersemayam di hati, maka tidak akan diikuti dengan perbuatan, dan tidak pula melahirkan perilaku dan tindakan yang baik. Jika ini terjadi, maka amal perbuatan tiada artinya di sisi Allah Subhanahu Wata’ala. Orang-orang yang mengetahui hakikat-hakikat ilahiah tetapi tidak memahami dan menghayatinya (akibat kelalaian hatinya), dianggap sama dengan keledai yang memikul lembaran-lembaran kitab suci yang tebal. Allah SWT berfirman dalam Surat Al Jumu’ah ayat 5
مَثَلُ الَّذِيْنَ حُمِّلُوا التَّوْرٰىةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوْهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ اَسْفَارًاۗ بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ
Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang dibebani tugas mengamalkan Taurat, kemudian tidak mengamalkannya, adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab (tebal tanpa mengerti kandungannya). Sangat buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (Qs. Al Jumu’ah: 5).
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Jika manusia hanya mementingkan akal dan pikiran semata, mungkin ia menjadi manusia duniawi yang baik, yaitu manusia pragmatis (pencari keuntungan). Tapi agar ia menjadi mukmin yang sempurna, maka ia harus melatih hatinya yang merupakan pusat kesadaran dan perasaan, dengan pendidikan spiritual. Lalu hati harus menjadi pembimbing bagi akal, karena hati adalah pusat kesadaran yang mengarahkan akal untuk berpikir. Sementara berpikir diarahkan akal menuju kehendak. Bisa dikatakan bahwa sebab mendasar bagi munculnya perbuatan-perbuatan yang didasari oleh kehendak adalah hati, yang merupakan tempat di mana kesadaran menancap dan mengakar, maka menempatkan dan memantapkan hati dalam bingkai perintah-perintah Allah adalah hal yang paling penting dibanding anggota tubuh yang lain. Karena pemikiran rasional dalam kendali kehendak syahwat dan tanpa bimbingan dari hati yang sehat, serta di bawah kendali penyakit-penyakit hati seperti ujub dan sombong akan membuat pemikiran itu menyimpang dan membawa manusia ke dalam kesesatan dan penyimpangan seperti setan.
Jalaluddin Rumi berkata: “Andai setan tidak menjunjung tinggi akal pikirannya saja, tentu ia tidak akan terdegradasi ke dalam kondisi yang ia alami saat ini.” Artinya, akal tidak berguna dan tidak bernilai dengan sendirinya. Akal harus dikendalikan dengan cermat. Kesadaran spiritual dalam hati harus dimatangkan dan disempurnakan demi terwujudnya akal yang benar-benar lurus.
Menurut Imam Harist Al-Muhasibi rahimahullah bahwa “Di antara sebaik-baik ibadah adalah hati yang diisi dengan rasa cinta kepada ketaatan. Jika hatimu telah dilimpahi oleh perasaan seperti itu maka anggota badan akan beramal sesuai dengan apa yang ia lihat dalam hati. Sebab, boleh jadi anggota badan sedang sibuk beribadah, sedangkan hati diam menganggur.”
Lantas bagaimana “bentuk ibadah hati di luar anggota badan? Bagaimana ibadah yang dilakukan hati akan mengalir menuju pikiran dan anggota badan?” Imam Harist Al-Muhasibi menjelaskan bahwa “ketika hati menjadi wadah atau tempat bagi kerisauan dan kesedihan, rasa papa dan sangat membutuhkan, penyesalan, tawadu’, dan keterdesakan menuju Allah, sikap tulus kepada-Nya dan cinta pada apa yang Allah cintai, serta benci kepada apa yang Allah benci.”
Jika ia menyikapi Allah dengan keadaan hati semacam ini, maka anggota badan akan mengikuti gerak dan bangkit untuk melakukan ketaatan. Keadaan ini akan terwujud jika relung-relung hati telah diisi dengan dzikir kepada Allah dan ingatan terhadap hari Akhirat. Di sisi lain, hendaknya hati juga diisi dengan mengenali nikmat-nikmat Allah, gembira bersama-Nya, senang beribadah kepada-Nya, rindu kepada-Nya, selalu senang bersyukur kepada-Nya, serta berharap kepada ampunan-Nya. Jika hati, pikiran dan anggota badan mampu disinkronkan, maka pikiran beserta anggota badan akan melakukan ibadah dan amal kebaikan. Pikiran serta anggota badan akan beramal disertai rasa senang, gembira dan nikmat. Wallahu A’lam
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ بِاْلُقْرءَانِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ ِبمَا ِفيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهٗ هُوَ اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
KHUTBAH II
اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا، َأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
_______________________
Oleh: Ahmad Baedowi, M.Si.