اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ أَمَرَنَا بِتَرْكِ الْمَنَاهِيْ وَفِعْلِ الطَّاعَاتِ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِي بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْهَادِيْنَ لِلصَّوَابِ وَعَلَى التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْمَآبِ أَمَّا بَعْدُ، فَيَااَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلَاتَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْـتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ
ٱلۡحَجُّ أَشۡهُرٞ مَّعۡلُومَٰتٞۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلۡحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي ٱلۡحَجِّۗ وَمَا تَفۡعَلُواْ مِنۡ خَيۡرٖ يَعۡلَمۡهُ ٱللَّهُۗ وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيۡرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٱلۡحَجُّ أَشۡهُرٞ مَّعۡلُومَٰتٞۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلۡحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي ٱلۡحَجِّۗ وَمَا تَفۡعَلُواْ مِنۡ خَيۡرٖ يَعۡلَمۡهُ ٱللَّهُۗ وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيۡرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Mengawali khutbah ini, tidak bosan-bosannya, khatib mengajak kepada diri khatib pribadi dan seluruh jamaah untuk senantiasa bersyukur pada Allah swt atas segala anugerah nikmat yang kita terima dalam kehidupan ini. Dan juga mari kita terus meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt, bukan hanya diucapkan melalui lisan kita saja, namun terlebih dari itu ditancapkan dalam hati dan diwujudkan dalam perbuatan kita sehari-hari. Di antara wujud komitmen bertakwa itu adalah senantiasa menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala yang dilarang-Nya.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang menjadi panutan kita dan tiap sunnahnya selalu kita teladani.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Walaupun pelaksanaan Ibadah Haji telah berlalu, namun penulis rasa, momentum ibadah tersebut masih membekas cukup kuat di dalam benak para jamaah yang dalam pekan ini akan pulang ke negara masing-masing. Mengapa penulis katakan demikian? Karena ibadah yang satu ini, tidak semua umat muslim mampu melakukannya, baik kemampuan secara finansial, maupun kemampuan lain yang menjadi penyokongnya. Allah berfirman di dalam al-Qur’an:
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ
“Adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”. (QS. Ali Imran, 03:97).
Secara bahasa, haji berasal dari kata “Hajja-Yahujju” yang berarti berziarah dan bermaksud. Dalam istilah fiqih, haji adalah melakukan suatu pekerjaan khusus yang dilakukan di tanah haram, Mekkah di waktu-waktu tertentu dengan niat tertentu pula. Dengan demikian, seseorang yang melakukan ibadah haji, pada hakikatnya ia melaksanakan kewajiban mengunjungi Baitullah al-Haram diiringi ibadah-ibadah lain yang berkenaan dengannya dan di waktu-waktu tertentu. Allah s.w.t. berfirman:
ٱلۡحَجُّ أَشۡهُرٞ مَّعۡلُومَٰتٞۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلۡحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي ٱلۡحَجِّۗ وَمَا تَفۡعَلُواْ مِنۡ خَيۡرٖ يَعۡلَمۡهُ ٱللَّهُۗ وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيۡرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٱلۡحَجُّ أَشۡهُرٞ مَّعۡلُومَٰتٞۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلۡحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي ٱلۡحَجِّۗ وَمَا تَفۡعَلُواْ مِنۡ خَيۡرٖ يَعۡلَمۡهُ ٱللَّهُۗ وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيۡرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.
Di dalam sebuah hadits, Rasulullah s.a.w. menegaskan:
مَنْ حَجَّ، فلَمْ يَرْفُثْ، وَلم يَفْسُقْ، رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدْتُهُ أُمُّهُ
Barang siapa yang melakukan ibadah haji, ia tidak berkata kotor, dan tidak melakukan sesuatu yang dapat merusak ibadah hajinya, maka ia kembali pulang (dihapuskan segala dosanya) seperti pada hari di mana ia dilahirkan oleh ibunya. (HR. Bukhari Muslim).
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam, yang menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk melaksanakannya. Walaupun begitu, kewajiban tersebut dibatasi oleh istithoah atau kemampuan sebagaimana kita pahami dari firman Allah di atas. Al-Baghawi di dalam tafsirnya mengomentari kata istithoah pada ayat di atas dengan mengklasifikasinya ke dalam dua dari besar. Pertama, istithoah li nafsihi atau kemampuan bagi dirinya sendiri, maksudnya adalah kemampuan dirinya untuk pergi ke baitullah, adanya bekal, dan kendaraan. Kedua, istithoah li ghairihi yaitu kemampuan yang bisa dilakukan oleh orang lain untuk melaksanakannya. Maksudnya, seseorang mempunyai harta dan bekal yang cukup untuk bisa pergi melaksanakan ibadah haji, namun tidak mampu melaksanakan karena keterbatasan atau kelemahan fisiknya. Jadi yang bersangkutan memberangkatkan orang lain dengan hartanya untuk melaksanakan ibadah haji untuk dirinya.
Bekal yang cukup selama melaksanakan ibadah haji merupakan hal yang terpenting, agar ibadah yang dilakukannya berjalan dengan khusyuk yang nantinya akan menjadi haji mabrur. Rasulullah s.a.w. bersabda:
الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةَ»، قَالُوا: يَا نَبِيَّ اللهِ مَا بِرُّ الْحَجِّ الْمَبْرُورُ؟ قَالَ: «إِطْعَامُ الطَّعَامِ، وَإِفْشَاءُ السَّلَامِ
Haji yang mabrur, tidak ada balasannya kecuali surga. Para sahabat bertanya: Wahai Nabi Allah, apakah haji mabrur itu? Beliau menjawab: Memberikan makan, dan menyebarkan salam perdamaian”. (HR. Ahmad, 334).
Dari sabda Rasulullah di atas, kita memahami bahwa ciri dari haji mabrur berimplikasi pada nilai-nilai ibadah sosial, yaitu welas asih kepada sesama, yakni memberikan makan kepada mereka yang membutuhkannya, dan menyebarkan salam perdamaian. Islam sendiri mengajarkan bahwa perdamaian adalah tolok ukur dalam menjalin hubungan antar sesama manusia di dalam berbagai dimensinya. Dari sini kita memahami bahwa Islam menolak segala bentuk macam kekerasan yang mengarah pada peperangan antar sesama manusia, baik secara individu maupun antar kelompok dan komunitas tertentu. Penolakan Islam terhadap kekerasan yang mengarah pada peperangan sebagaimana dijelaskan bukan tanpa alasan, sebab perdamaian adalah kunci dalam membentuk masyarakat yang tenang, rukun, dan harmonis.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Apabila tercipta tatanan masyarakat yang rukun, damai, rukun, dan harmonis, maka segala bentuk ibadah bagi pemeluk agama apapun akan terlaksana dengan baik. Tidak ada intimidasi, intoleransi, dan persekusi kepada kelompok masyarakat serta pemeluk agama tertentu, karena kesejahteraan dan keadilan yang merata, berkat rasa aman dan damai. Implikasinya adalah nalai-nilai hak dan persamaan umat manusia akan terwujud dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tanpa membedakan suku tertentu. Kita semua merupakan anak cucu Nabi Adam, dan ia berasal dari tanah dan ke tanah pula nantinya kita akan menyatu.
Tentang nilai-nilai persamaan hak ini, Rasulullah s.a.w. memproklamirkan dalam Haji dan Khutbah Wada’nya.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى
Wahai sekalian umat manusia, ketahuilah sesungguhnya Tuhanmu satu (esa). Nenek moyangmu juga satu. Ketahuilah, tidak ada kelebihan bangsa Arab terhadap bangsa selain Arab, dan tidak ada kelebihan bangsa lain terhadap bangsa Arab. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit merah (putih) terhadap yang berkulit hitam, tidak ada kelebihan yang berkulit hitam dengan yang berkulit merah (putih), kecuali dengan taqwanya”. (HR. Ahmad, 22978).
Dari sabda Rasulullah s.a.w. di atas, penulis memahami bahwa manusia pada hakikatnya sama, baik hak dan kewajibannya. Persamaan inilah yang bagi penulis merupakan inti dari hak asasi manusia itu sendiri. Dalam konteks maqashid syariah, hak asasi manusia terbagi menjadi lima bagian, yaitu (1) hak asasi untuk melangsungkan hidup dan kehidupan, (2) hak asasi untuk memeluk agama dan keyakinan, (3) hak asasi untuk memberlangsungkan keturunan, (4) hak asasi untuk memiliki dan memelihara harta benda, dan (5) hak asasi untuk mengekspresikan intelektual. Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِير
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat, 49:13).
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Dengan demikian, semoga kita mampu mengambil ibrah dan pelajaran, bahwa ibadah haji tidak hanya ritual yang hanya mencakup individu. Ibadah haji merupakan momentum untuk menggali nilai-nilai sosial dan kemanusiaan, sehingga implikasinya tidak hanya dirasakan oleh kita sebagai muslim, namun lebih jauh dari itu mampu merambah dan dirasakan oleh semua umat manusia. Aaminn.. Wallahu A’lam bis shawab.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ بِاْلُقْرءَانِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ ِبمَا ِفيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهٗ هُوَ اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
KHUTBAH II
اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا، َأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
_____________________________
Oleh: Ustadz Mohammad Khoiron