Ki Hadjar Dewantara pernah belajar di STOVIA. Studi tak selesai. Ia tak pernah menjadi dokter. Di sekolah menjadi tempat bersejarah dalam pergerakan kaum muda, Ki Hadjar Dewantara membuat “ulah” memicu “salah tingkah”. Di buku berjudul 100 Tahun Ki Hadjar Dewantara (1989), Bambang Sokawati Dewantara mengisahkan: “… idenya untuk merayakan Idul Fitri di kampus atau waktu dia membacakan puisi Edward Douwes Dekker (Multatuli) merupakan aksi yang semata-mata bersifat kultural. Namun, oleh Direktur STOVIA dipolitikkan sehingga Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara) mendapat kesulitan.” Pemuda asal Jogjakarta itu dicap memilki anasir-anasir revolusioner.
Kita mengingat “ulah” itu berlanjut dengan penulisan brosur “revolusioner” pada 1913. Brosur mengantar Ki Hadjar Dewantara ke negeri penjajah selaku orang terhukum. Sosok membikin resah di tatanan politik-kolonial. Kita mengandaikan ia membaca puisi dengan suara lantang sebelum umat sastra di Indonesia menikmati pembacaan puisi oleh Chairil Anwar dan Rendra. Ki Hadjar Dewantara tak berlanjut menjadi penggubah fiksi. Ia memilih membuat tulisan dan aksi di pergolakan sejarah.
Pada 1922, Ki Hadjar Dewantara bergabung bersama Soerjopranoto, Haji Fakhruddin, dan Haji Agoes Salim dalam Komite Hidup Merdeka. Ia terus bergerak di arus sejarah penuh risiko. Darsiti Soeratman (1985) menjelaskan: “Komite tersebut bertujuan mendidik manusia-manusia Indonesia yang sebagian besar masih hidup dalam keadaan menggantungkan nasibnya kepada pemerintah kolonial menjadi manusia-manusia yang bebas dan merdeka.” Keberanian bergerak bersama Muhammadiyah dan Sarekat Islam itu menambah curiga pemerintah kolonial. Situasi tak keruan menimbulkan pertimbangan: Ki Hadjar Dewantara tak melulu mengajak raihan bahagia dan keselamatan di jalan politik. Ia memastikan menekuni pendidikan, berlanjut pendirian Perguruan Nasional Taman Siswa (1922). Di jalan pendidikan, ia tetap dihadapkan “lubang” dan “halangan”.
Pada masa 1950-an, Ki Hadjar Dewantara mengenang masa muda dan meresahkan pemerintah kolonial. Bambang Sokawati Dewantara dalam buku berjudul Ki Hadjar Dewantara: Ayahku (1989) mengisahkan kejadian saat menemaki Ki Hadjar Dewantara di Jakarta: “… bapak bersedih hati melihat bangunan tua yang pernah dihuninya selama lima tahun semasa kuliahnya itu kini kelihatan kumuh dan porak-poranda. Coreng-moreng pada tembok-temoknya tang di sana-sini sudah mulai lapuk terkikis usia. Engsel-engsel jendela yang melecit, tangga-tangga kayu dan bambu yang mencuat di jendela-jendela yang ternyata dijadikan jalan masuk-keluar penghuninya yang mengutamakan faktor praktis ketimbang sopan dan manis. Seluruhnya mencerminkan kehidupan yang menyedihkan.” Sosok itu mengerti sejarah telah “diremehkan” saat revolusi terus bergulir dengan pekik, bendera, dan pidato. Di tempat bersejarah, Ki Hadjar Dewantara sedih tanpa air mata.
Sosok bertambah tua mengenang masa-masa sekolah. Ia mengerti sekolah bukan sekadar tempat belajar. Di situ, ada penguatan ide dan imajinasi Indonesia. Ia bertemu dan bergaulan dengan kaum pelajar dari pelbagai daerah. Sekolah memang mengesankan selera Barat tapi menjadi tempat “menentukan” sejarah. Pada masa 1950-an, Ki Hadjar Dewantara bukan lagi pembuat “ulah” seperti masa muda. Ia dihormati dengan pengabdian-pengabdian di pendidikan, tak mula tanggap atas politik.
Pada suatu hari, Ki Hadjar Dewantara berada dalam sejarah besar. Bambang Sokawati Dewantara mengisahkan kejadian bertanggal 19 Agustus 1945: “Sekalipun larut malam itu bapak pulang dalam keadaan lelah, ia tak meninggalkan kebiasaan untuk menceritakan segala hal yang terjadi dan dialaminya hari itu kepada kami semua… Seharusnya, menurut kata ibu, malam itu kami harus makan dengan ekstra lauk-pauk. Tetapi sayang pagi itu di Gondangdia terjadi insiden yang menyebabkan pasar bubar. Maka, lauk-pauk di rumah serba kurang adanya. Dan untuk memperingati pelantikan bapak menjadi Menteri Pengajaran RI yang pertama, ibu memberikan kepadaku uang f 2 dengan perintah; kalau ada tukang bakmi lewat, sebaiknya bapak dibelikan bakmi saja.”
Sejarah itu diartikan dengan kumpul bersama. Di meja makan, keluarga itu mengadakan percakapan saat Indonesia membentuk sejarah, setelah 17 Agustus 1945. Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi menteri. Ia mendapat amanat besar untuk terus menggerakkan sejarah. Peran itu “disahkan” dengan makan bakmi bersama keluarga. Malam itu cerita dan kenikmatan tapi Ki Hadjar Dewantara sadar keesokan hari sejarah terus “membara” dan penuh pertaruhan.
Kita tentu tak cuma mengingat Ki Hadjar Dewantara dengan pembacaan puisi, kesedihan di depan STOVIA, atau makan bakmi. Sejak awal abad XX, Ki Hadjar Dewantara membuat tulisan-tulisan. Ia berjalan dengan “kaki kata-kata” untuk memuliakan Indonesia, memajukan pendidikan, meninggikan seni, dan membahagiakan keluarga.
Warisan tulisan Ki Hadjar Dewantara (1930) pantas dikutip sebagai bekal menilik sejarah dan perkembangan pendidikan di Indonesia: “Pendidikan nasional ialah pendidikan yang beralaskan garis-hidup dari bangsanya dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya agar dapat bekerja bersama-sama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia dan seluruh dunia.” Tulisan dari masa lalu itu terlarang “dieremehkan” atau bernasib seperti gedung STOVIA pernah dikunjungi Ki Hadjar Dewantara pada 1950-an. Tulisan mengartikan kata-kata terus bergerak menghampiri kita agar insaf sejarah. Begitu.
https://alif.id/read/bandung-mawardi/ki-hadjar-dewantara-sekolah-dan-sejarah-b247656p/