Wayang iku
Wewayangan kang satuhu
Lelakoning janma ing alam janaloka
Titenana wong cidra mangsa langgenga
Dalam kebudayaan Jawa memang seperti berlaku apa yang pernah dilakoni oleh seorang Ronggawarsita: nakal tapi gemar bertirakat. Maka, terkadang, orang akan sedikit ngungun pada orang yang ketika dewasa menjadi seseorang yang sukses dan memiliki nama besar di dunianya meskipun saat mudanya kondang dengan “kenakalan.”
Terkadang, saya melihat kehidupan para dalang dan anak keturunannya laiknya para kyai dan anak keturunannya di pesantren: memiliki privilege tertentu di lingkungannya. Jadi, seandainya mereka, para dalang dan kyai beserta anak keturunan mereka itu “nakal,” akan mendapatkan pemafhuman: “Maklum, anak dalang” atau “Wajar, anak kyai.”
Dalang pun, sejauh yang saya tahu, hidup dengan sistem kekerabatan laiknya para kyai pula. Garis keturunan atau trah seolah tampak penting di dunia pedalangan. Maka, seperti halnya para kyai dan anak keturunannya, tak jarang mereka memiliki nama-nama trah tertentu yang menunjukkan senioritas atau “awu tuwa”-nya. Barangkali, dari perspektif ini, dapat dimengerti kenapa Ki Manteb Soedarsono memanggil Ki Anom Suroto dengan sebutan “Mas,” meskipun dari sisi pengaruh dan ketenaran mereka sepadan. Hal ini berlaku pula buat Gus Miek yang memanggil Gus Dur dengan sebutan “Gus Durrahman.”
Ada pertalian apa sehingga saya membawa-bawa nama Gus Miek ataupun Gus Dur ketika mencoba memperbincangkan Ki Manteb Soedarsono yang baru saja tilar? Tentu bukan karena nama panggung “Manteb” pada “dalang setan” itu yang ndilalah-nya nunggak semi dengan nama jamaah Gus Miek, “Jantiko Mantab,” yang konon berarti jamaah anti-koler ataupun majlis nawaitu tarak brata yang juga dapat berarti orang-orang yang bertobat.
Yang pasti, dalam sebuah keterangan, Ki Manteb pernah menjadi seorang mualaf dan ketika belum mengucap syahadat secara syar’i pernah bertanya pada Gus Dur, bagaimana hukum seorang non-muslim yang membangun sebuah masjid. Maklum, latar-belakang Ki Manteb yang ketika itu belum tahu-menahu soal syari’at memang tak mengurangi kepercayaannya pada apa yang dalam budaya Jawa disebut sebagai “sasmita” atau isyarat.
Sebagai seorang Jawa tulen, meskipun saat itu Ki Manteb belum tahu-menahu tentang syari’at Islam, ia bukanlah seorang yang jauh dari hakikat Islam. Taruhlah salah satu narasi yang kerap ia ucapkan ketika sang raja dalam pagelaran wayang purwa hendak bersemadi: “Wauta kaya mangkana, laju tindakira sang nata arsa mahas ing asamun, ngisep sepuhing sopana, nggayuh geyonganing kayun, kayungyun eninging tyas, mrih pana pranaweng kapti.”
Bagi kalangan muslim yang terlalu syari’ah-oriented atau wis wani wirang tentu narasi itu sama sekali tak ada dasarnya dalam agama Islam. Dan justru, karena kegoblokan itu, akan dibid’ahkan atau bahkan dikafirkan. Narasi itu sebenarnya adalah sebuah pakem yang diambil dari Serat Wedhatama dimana ketika seorang raja hendak mengambil sebuah keputusan mestilah dalam keadaan bening dan tak bingung. Sebab dalam sebuah kaidah fiqh disebutkan bahwa dalam kondisi kebingungan seorang pemimpin itu tak boleh mengambil sebuah keputusan.
Kebeningan pikir yang berbuah dapat memilah dan memilih kehendak (pana pranaweng kapti) dalam narasi itu merupakan buah dari ketenangan batin yang diungkapkan secara indah sebagai “mahas ing asamun,” “ngisep sepuhing sopana,” dan “nggayuh geyonganing kayun.” Ketepatan dalam memilih sebuah keputusan adalah laiknya kebenaran yang bersumber dari kebenaran ilahiah (haqq al-yaqin). Maka, dalam penemuan saya, pagelaran wayang purwa Jawa sebenarnya adalah sebuah kitab sekaligus laku sufistik yang memang terbukti terilhami dari Sang Syaikh al-akbar Muhyiddin Ibn ‘Arabi (Sangkan-Paran, Heru Harjo Hutomo, Bintang Pustaka Madani, Yogyakarta, 2021). Bukan karena para dalang banyak yang bertirakat terlebih dahulu sebelum menggelar pagelarannya, tapi secara epistemologis pun ia adalah sebentuk sufisme-praksis. Bukan pula karena banyak hal yang “khariqul adah” terkait dengan dalang dan pagelarannya, tapi eksistensi dalang yang merupakan representasi ruh idhafi cukup membuktikan pengaruh dari konsep wihdatul wujud sekaligus wihdatus syuhud.
Apalagi dengan latar-belakang kejawen yang kental dimana muara dari hampir keseluruhan aliran kapitayan adalah budi pekerti yang sepadan dengan akhlaq dalam agama Islam. Para dalang yang konsisten dan sejiwa dengan pagelarannya seakan menggaungkan kembali bahwa Kanjeng Nabi Muhammad diutus bukanlah untuk memintarkan orang atau membuat mereka kaya, tapi untuk menyempurnakan budi pekerti. Karena hal inilah terkadang saya sulit untuk menyimpulkan bahwa mereka jauh dari substansi Kanjeng Nabi Muhammad. Barangkali, sesekali orang patut berkaca pada kalangan kejawen ataupun kapitayan perihal akhlaq yang merupakan misi khusus Kanjeng Nabi Muhammad di dunia ini.
Kiprah Ki Manteb Soedarsono sendiri dalam seni pedalangan Jawa memang tak perlu diragukan lagi. Di samping pagelarannya yang spektakuler saat mewakili Indonesia di ajang yang diadakan oleh UNESCO, sejak dekade 70-80an ia adalah salah satu dalang yang mempopulerkan estetika realisme-humanisme yang mendekati estetika teater modern. Taruhlah misalnya lakon wayang Samba Juwing, di tangan seorang dalang realis-humanis seperti itu sepertinya para penikmat pagelaran wayang purwa akan kesulitan untuk menarik garis tegas antara yang mana yang baik dan mana yang buruk. Para karakter wayang dan masalahnya adalah seperti halnya para manusia yang tak mutlak dapat dihakimi sebagai baik ataupun buruk. Secara filosofis, di sinilah apa yang disebut sebagai “Urip” mendapatkan konteksnya. Maka, kata sebuah tembang yang menangkap substansi pagelaran wayang purwa Jawa, “Titenana wong cidra mangsa langgenga.”
Seperti lakon Kresna Pathok yang dianggap sakral, kehidupan seorang manusia ternyata memang unik, khas, dan tak dapat diwakilkan (dhewek). Kresna, setelah kerajaannya lenyap ditelan perang saudara dan tsunami, berupaya ikut Pandawa yang akan moksa. Tapi Wrekudara, yang kerap dicitrakan kecerdikan berpolitiknya jauh di bawah Kresna, justru menjadi “guru kematian” Kresna. Ksatria Pandawa yang hanya menyembah pada jatidirinya itu menyebutkan karma-karma Kresna yang menyebabkannya berakhir ngenas. Ia menyuruh titisan dewa Wisnu itu untuk menyepi di hutan untuk menebus segala dosanya dimana jalan kematiannya berada di tangan pemburu udik yang bernama Bambang Jaras yang secara tak sengaja akan memanah telapak kakinya.
Demikianlah pagelaran wayang purwa Jawa di tangan para dalang seperti Ki Manteb Soedarsono. Ia adalah sekeping cermin kehidupan, kehidupan yang bersifat tunggal, khas, dan tak dapat diwakilkan (dhewek). Tapi ternyata al-Qur’an tak semuram itu dalam memandang kehidupan. Kisah manusia yang sudah tilar, meskipun dhewek, tak akan berakhir. Setidaknya, ilmu yang bermanfaat, amal jariyah, dan anak yang sholeh dengan sendirinya akan membuatnya panjang umur. Barangkali, karena hal itulah dahulu, Ki Manteb Soedarsono mantab pergi berhaji untuk menyempurnakan keislamannya yang sebenarnya sudah gamblang ketika ia masihlah seorang kejawen.
https://alif.id/read/hs/ki-manteb-soedarsono-tentang-sebuah-kemantaban-b238814p/