Laduni.ID, Jakarta – Salah satu yang disepakati haram oleh semua ulama Ahlussunnah adalah takyif. Yang dimaksud takyif adalah memberikan kaifiyah alias gambaran teknis pada Dzat Allah. Takyif ini terjadi dengan cara misalnya seseorang berkata, “Dzat Allah itu begini, punya bagian ini dan bagian itu, posisinya di sini, di bawahnya ada ini, berpindah dari sini ke sini, dan seterusnya.” Ini semua disepakati haram karena merupakan cabang dari ajaran tajsim yang dianut para mujassim.
Imam Qadli Iyadl berkata:
وَاتَّفَقُوا عَلَى تَحْرِيمِ التَّكْيِيفِ وَالتَّشْكِيلِ
“Para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah bersepakat atas haramnya memberikan gambaran teknis (takyif) dan memberikan gambaran fisikal (tasykil) atas Allah.”
Yang sering disalahpahami dari bahasan ini adalah anggapan orang awam yang mengira takyif hanyalah menentukan ukuran Tuhan setinggi sekian meter, beratnya sekian kilo, warna kulitnya putih misalnya, dan sebagainya yang sangat khas ajaran sesat mujassimah.
Jadi, kalau tidak menentukan teknis seperti itu mereka kira bukan takyif. Padahal, takyif terjadi ketika Tuhan ditempatkan sebagai sosok fisikal yang mempunyai lokasi, arah, batasan, ukuran, volume dan sebagainya. Penentuan lokasi semisal berkata bahwa di sebelah atasnya langit ada Arasy lalu di sebelah atas Arasy ada Tuhan adalah salah satu bentuk takyif itu sendiri.
Demikian juga dengan meyakini bahwa Allah punya ukuran, nuzulnya dilakukan dengan berpindah dari atas ke bawah, kalamnya dilakukan dengan mengeluarkan gelombang suara dan semacamnya juga adalah takyif yang diharamkan. Meskipun tidak pernah menentukan seberapa besar ukurannya, bagaimana teknis turunnya dari atas ke bawah, seperti apa gelombang suara yang diucapkan dan semacamnya.
Tetap takyif juga meskipun orangnya berteriak kuat-kuat sambil sumpah-sumpah mengatakan bahwa dalam keyakinannya Allah tidak sama seperti makhluk. Pokoknya menetapkan unsur fisikal di atas, maka terjadilah takyif yang disepakati haram oleh semua ulama, baik itu sama dengan makhluk atau tidak sama dengan makhluk.
Sebab itu Qadli Iyadl juga mengungkapkan keherannya pada orang yang menetapkan arah tertentu bagi Allah tapi dia merasa tidak melakukan takyif. Dia berkata:
وَهَلْ بَيْنَ التَّكْيِيفِ وَإِثْبَاتِ الْجِهَاتِ فَرْقٌ
“Memangnya ada perbedaan antara takyif dan menetapkan arah?”
Tapi bagaimana lagi, beberapa orang memang terlalu bodoh untuk mencerna hal ini. Mereka tidak mampu memahami adanya entitas Tuhan yang tidak berarah dan tidak bertempa,t sebab pikirannya selalu terikat pada makhluk. Akhirnya, seperti disebutkan oleh Qadli Iyadl, beberapa ulama memaklumi orang semacam itu.
Senada dengannya, Imam Izzuddin bin Abdissalam menyatakan bahwa mereka yang meyakini Allah ada dalam arah tertentu (mu’taqid al-jihah) adalah salah tetapi masih dimaklumi (mukhthi’un khatha’an ma’fuwwan ‘anhu) sebab memang keberadaan entitas yang tidak di luar alam tapi tidak juga dalamnya adalah sesuatu yang sulit dipahami nalar standar. Jadi, anda tinggal pilih mau jadi orang yang cerdas dalam memahami bahasa hakikat atau orang yang “dimaklumi” karena memang nalarnya sudah mentok di batas nalar sempit “semua pasti ada tempatnya”.
Di bawah ini adalah SS tanya jawab seseorang dengan seorang Taymiy (pengikut Ibnu Taymiyah alias Wahabi) di Instagram yang dikirimkan ke lapak saya. Si Taymiy tampak melakukan takyif dengan membenarkan gambaran susunan tempat makhluk dan tempat Allah.
Andai Si Taymiy ini ada di sini, menarik untuk ditanyakan pertanyaan yang saya tulis sebelumnya di status, yang benar Allah di langit atau di Arasy sih? Kalau dianggap keduanya benar semua dengan alasan Allah ada di atas keduanya, maka boleh dong dibilang Allah di bumi atau di atas sumur?
Semoga bermanfaat.
Oleh: Kiai Abdul Wahab Ahmad
Dikutip dari unggahan Facebook Kiai Abdul Wahab Ahmad pada 22 Januari 2022
Sumber gambar: FB Kiai Abdul Wahab Ahmad
Editor: Daniel Simatupang
https://www.laduni.id/post/read/74148/kiai-abdul-wahab-ahmad-keharaman-takyif.html